Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya
bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Api putih murni pada pedang Wijaya bukanlah api sihir, melainkan manifestasi dari kepercayaan mutlak yang baru ia temukan. Itu adalah cahaya tekad yang menghilangkan bayangan keraguan yang selama ini merasukinya dan, secara tidak langsung, merasuki Ratih.
Serangan Wijaya, yang sebelumnya terperosok dalam asap tebal, kini menembus langsung perisai bayangan yang mengelilingi Juru Bayangan. Sosok berjubah hitam itu mengeluarkan raungan yang tidak manusiawi saat ujung pedang putih menyentuh jubahnya, tepat di atas jantung.
"Kau berani memilih!" geram Juru Bayangan, suaranya kini terdengar seperti pasir yang bergesekan. Ia melompat mundur, menghindari tusukan maut itu, tetapi di tempat pedang itu menyentuh, jubah hitamnya menghilang, memperlihatkan kulit yang gelap dan keriput, seolah-olah dia adalah bayangan yang telah membusuk.
"Aku tidak memilih sisi," ulang Wijaya, suaranya tenang, kontras dengan gemuruh amarah di hati Juru Bayangan. "Aku memilih dia."
Juru Bayangan mengangkat kedua tangannya. Kali ini, ia tidak mencoba menghalangi pedang. Sebaliknya, ia memanggil kekuatan yang lebih besar.
Pusaran hitam kecil di udara, yang semula hanya sebatas tiruan, tiba-tiba membesar dengan cepat. Energi Void murni mengalir dari retakan dimensi itu, membanjiri ruang perpustakaan. Gulungan-gulungan tua di rak mulai layu, dan batu-batu di lantai retak seolah-olah ditarik ke dalam kehampaan.
Dia menciptakan lubang hitam minatur! pikir Dara dengan ngeri. Kekacauan energi itu mencekiknya, dan dia terpaksa berlutut, berusaha keras menahan tongkatnya agar tidak tertarik.
"Ini adalah kehampaan sejati, Wijaya!" teriak Juru Bayangan, matanya, yang kini terlihat samar di bawah kerudung, memancarkan cahaya ungu. "Liontin Ungu-Api di dalamnya akan beresonansi dengan kehancuran ini! Jika kau membunuhku, energi ini akan melahap kita semua, dan yang terpenting: melahap Ratih!"
Jurus Juru Bayangan sangat cerdik. Dia mengikat keberadaannya dengan kehancuran yang akan ditimbulkan Void, menempatkan Wijaya dalam dilema antara kemenangan dan penyelamatan Ratih.
Wijaya terhenti. Cahaya putih pada pedangnya berkedip-kedip. Sebuah bayangan keraguan kecil melintas, dan pada saat itu juga, Juru Bayangan menyerang balik.
Juru Bayangan tidak menggunakan senjata. Dia hanya menembakkan ledakan energi murni dari Void, pusaran hitam pekat yang melesat menuju Wijaya.
Wijaya mengangkat pedangnya, bukan untuk menangkis, tetapi untuk menyerap. Dia tahu, dia tidak bisa mengalahkan kehampaan dengan api, tetapi dengan tekad yang lebih besar dari kehampaan itu sendiri.
"Liontin Ungu-Api adalah stabilisator!" raung Wijaya, mengulang kesimpulan awalnya. "Ia mencari keseimbangan! Dan aku adalah keseimbangan Ratih!"
Desing!
Wijaya menembakkan gelombang api putih ke Void. Itu adalah pertarungan yang mustahil: cahaya yang mencoba menolak kegelapan total. Ledakan itu begitu kuat sehingga Jaya dan Dara terlempar ke dinding, sementara kristal di pilar perpustakaan meledak menjadi debu.
Ketika asap mereda, Wijaya masih berdiri, tetapi pakaiannya compang-camping, dan asap hitam tipis keluar dari lukanya. Energi Void telah melukainya, tetapi api putihnya tidak padam.
Juru Bayangan, sebaliknya, tampak semakin lemah. Energi yang ia curi dan serap tidak dapat menahan intensitas tekad Wijaya.
"Liontin itu telah menelanmu, Wijaya," desis Juru Bayangan, suaranya mulai memudar. "Kau adalah kelemahan Wadah itu. Dan sekarang, kau akan menjadi... kehancuranku."
Wijaya tidak membuang waktu dengan kata-kata. Dia maju, mengabaikan rasa sakit yang membakar di dadanya. Dia tahu ini adalah kesempatannya—ketika Juru Bayangan mengikat dirinya pada Void, dia mengikat dirinya pada kerapuhan.
"Liontin ini ada di dalam diriku!" teriak Wijaya, menusukkan pedang api putihnya, menembus pusaran Void kecil itu dan menancap ke jantung Juru Bayangan.
"Tidak ada keraguan lagi!"
CRAAAKKK!
Pusaran Void meledak dalam semburan energi negatif yang memekakkan telinga. Juru Bayangan tidak hanya mati; ia hancur. Tubuhnya berubah menjadi debu halus dan terserap kembali ke dalam kehampaan.
Di saat yang sama, pusaran hitam di tengah ruangan runtuh. Tidak dengan ledakan, tetapi dengan keheningan. Energi itu menyusut, memutar, dan menghilang, meninggalkan lubang kecil di lantai batu.
Wijaya terjatuh, pedangnya terlepas dari genggamannya. Api putih itu meredup dan mati. Dia terengah-engah, tubuhnya terasa berat, dan luka di dadanya mengeluarkan darah yang gelap dan tidak wajar.
Dara dan Jaya segera merangkak mendekatinya.
"Wijaya! Kau baik-baik saja?" tanya Dara, air mata mengalir saat melihat luka itu.
"Aku... baik," bisik Wijaya, mendongak. Matanya tertuju pada tempat Juru Bayangan tadi berdiri.
Di lantai, di tengah debu yang tersisa, ada sebuah benda kecil yang bersinar—gulungan yang tadinya dirobek, yang kini telah menyatu kembali, berdenyut dengan cahaya ungu lembut. Juru Bayangan telah berusaha menghancurkannya, tetapi tekad Wijaya telah mengikat kembali benang-benang informasi itu.
Jaya mengambil gulungan itu. Itu bertuliskan aksara kuno yang hanya bisa dibaca oleh garis keturunan Wijaya.
"Ini dia," kata Jaya, menopang Wijaya agar duduk. "Cara untuk membuka Pintu Kosmik Batin."
Wijaya mengangguk, memaksa dirinya fokus. "Catatan... catatannya benar. Juru Bayangan hanyalah bayangan yang mengikuti keraguan. Selama aku bertekad, aku bisa mengalahkannya."
Dia menatap gulungan itu. Gulungan itu tidak menjelaskan ritual, melainkan prinsip.
Pintu Kosmik Batin tidak dibuka oleh mantra, tetapi oleh Penyatuan Hati. Hanya penjaga yang benar-benar memahami dan mengakui wadah, dapat memasukkan esensi mereka ke dalam jejak Liontin yang tersisa, membuka jalan melalui Void yang Ditolak.
"Aku harus pergi sendiri," kata Wijaya, suaranya serak. "Aku harus memproyeksikan diriku melalui jejak emosi Ratih yang tersisa... Liontin Ungu-Api telah menciptakan zona netral yang menolak Void, dan aku harus melewatinya."
Di Pusara Air Mata Batin
Di dalam dimensi batin yang terbentuk dari perpaduan Liontin Ungu-Api, Ratih melayang.
Dimensi itu, Pusara Air Mata Batin, bukanlah tempat yang kosong. Itu adalah ruang tanpa batas yang diselimuti kabut ungu-hitam. Pilar-pilar kristal yang tak terhitung jumlahnya melayang, dan di ujung setiap pilar kristal itu tergantung setetes air mata murni yang tidak pernah jatuh.
Liontin Ungu-Api telah menyatu dalam dirinya. Liontin itu kini bukan benda; itu adalah kulit, tulang, dan pikirannya.
Ratih tidak merasa kedinginan atau ketakutan. Dia tidak merasakan apa-apa.
Ingatannya telah tersegel di bawah lapisan energi hitam yang tebal. Energi yang bukan berasal dari Void, tetapi dari keraguan yang ditanamkan Natan, yang disuburkan oleh penyesalan dan kelambanan Wijaya.
Dia melihat dunia melalui kacamata kehancuran. Dia adalah wadah, dan tujuannya adalah memecah Entitas Tunggal—memisahkan Penciptaan dan Ketiadaan.
Dia melayang menuju pusat dimensi, di mana sebuah kristal besar berputar. Di permukaan kristal itu, tercetak wajah seorang wanita yang diselubungi bayangan. Itu adalah Natan. Natan tidak ada di sana, tetapi pesannya telah merasukinya.
"Engkau adalah Liontinnya. Tugasmu adalah mengakhiri penderitaan semesta ini. Biarkan kehancuran membebaskanmu dari janji palsu dan kewajiban itu."
Di sekitarnya, kristal-kristal air mata mulai bergetar. Liontin itu mengendalikan Ratih, menyalurkan energinya untuk memecah dimensi batinnya sendiri. Jika dimensi ini pecah, ia akan menciptakan kekacauan sejati.
Ratih tidak tahu siapa Wijaya, Dara, atau Jaya. Dia hanya tahu tentang Tujuan.
Dia mengangkat tangannya, dan cahaya ungu menyebar, siap menghancurkan pilar-pilar air mata itu.
Namun, tepat sebelum dia melepaskan energi itu, di kejauhan, sebuah retakan tipis muncul. Retakan itu bukan hitam. Itu adalah celah putih yang terang, diikuti oleh suara yang lembut, bergema—suara yang seharusnya tidak bisa didengarnya.
"Ratih!"
Meskipun Ratih tidak mengingat nama itu, energi hitam di sekelilingnya mendesis. Keragu-raguan kecil muncul.
Siapa itu?