NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 22

Pagi itu, Pondok Nurul Falah kembali hidup dengan rutinitas khasnya. Langkah-langkah tergesa para santri mengisi koridor, suara lantunan ayat Al-Qur’an dari kelas tahfidz terdengar bersahutan, dan bau nasi uduk dari dapur santri putri terbawa angin hingga ke halaman. Udara masih basah sisa hujan semalam, membuat halaman pondok agak becek dan licin.

Dilara baru saja selesai membantu Wulan menyelesaikan setoran hafalan. Wajah Wulan mulai tampak sedikit cerah, meski kantung matanya masih terlihat akibat qiyamul lail tiga malam berturut-turut. Dilara tersenyum puas, merasa sedikit lega karena sahabatnya itu mulai bangkit lagi.

Begitu kembali ke asrama, Dilara menjemur beberapa potong bajunya yang semalam masih basah. Jemuran bambu dipasang sederhana di halaman belakang asrama putri. Angin pagi yang agak kencang membuat kain-kain itu bergoyang, sesekali menampar wajah Dilara yang sibuk menata.

Ia berdiri dengan jilbab sederhana warna biru muda, lengan baju dilipat sedikit agar mudah bergerak. Kain sarung, gamis, dan kerudung tipis satu per satu ia gantung dengan penjepit seadanya. Tangannya terampil, tapi sesekali harus ia tahan karena angin semakin kencang.

“Ya Allah, jangan jatuh, ya…” gumamnya sambil menekan bambu jemuran.

Namun takdir berkata lain. Saat ia membenarkan lipatan salah satu kerudung, jemuran bergoyang keras diterpa angin. Dua potong baju gamis terlepas, jatuh tepat ke tanah becek. Dilara kaget dan berjongkok, buru-buru mengambilnya.

Dan seolah waktu ingin mempermainkannya, pada detik itulah seorang sosok lewat di jalan setapak belakang pondok—jalan kecil yang menghubungkan kediaman pengasuh dengan halaman.

Gus Zizan.

Ia baru saja dari ruang perpustakaan kecil, membawa beberapa kitab untuk diajarkan di kelas pagi. Langkahnya tenang, sorot matanya lurus ke depan, namun mendadak pandangannya tertahan.

Di hadapannya, Dilara tengah jongkok, jilbabnya sedikit miring tertiup angin, kedua tangannya sibuk memunguti baju dari tanah becek. Ujung kerudungnya sempat menyapu tanah, menambah kesan panik.

Dilara menoleh sekilas, dan pada detik itu, mata mereka bertemu.

Waktu seolah berhenti.

Ada percikan aneh yang menyambar, membuat dada Gus Zizan berdegup tak terkendali. Ia buru-buru mengalihkan pandangan, tapi tubuhnya justru berhenti melangkah. Jemari kirinya yang memegang kitab semakin erat, sampai-sampai buku-buku itu nyaris terlipat.

Dilara merasakan pipinya panas. Ia buru-buru berdiri, menepuk-nepuk gamis yang kotor lumpur, lalu menunduk. “A… astaghfirullah, jatuh lagi…” gumamnya lirih, entah ditujukan pada bajunya atau pada dirinya sendiri yang malu bukan main.

“Eh… itu… biar saya…” suara Gus Zizan akhirnya terdengar. Ia melangkah maju, meletakkan kitab di bangku kayu dekat pagar bambu. Dengan gerakan canggung, ia membungkuk mengambil satu kain yang jatuh ke tanah.

Dilara panik. “Gus! Jangan… itu kotor…” Ia hampir meraih lebih dulu, tapi tangan mereka nyaris bersentuhan di atas kain basah itu.

Sepersekian detik.

Jari-jari Gus Zizan berhenti tepat sebelum menyentuh punggung tangan Dilara. Jantungnya berdentum keras, sementara Dilara buru-buru menarik tangannya sambil menunduk dalam-dalam.

“Maaf, Gus… saya bisa sendiri…” suaranya kecil, hampir tak terdengar.

Gus Zizan terbatuk pelan, berusaha menutupi kekakuannya ia bahkan beristighfar berulangkali. Baru kali ini ia hampir bersentuhan langsung dengan seorang gadis yang bukan mahramnya. Ia mengangkat kain itu dengan dua ujung jari saja, seakan takut jika menyentuh lebih dalam akan membuatnya hanyut oleh perasaan yang tak seharusnya.

“Ini… pegang.” Ia menyerahkannya pada Dilara, matanya sengaja tak menatap.

Dilara menerima dengan tangan bergetar. “Terima kasih…”

Hening beberapa detik. Angin kembali bertiup, menggoyang sisa jemuran yang masih tergantung. Suasana itu begitu canggung, seakan seluruh pondok menyaksikan mereka meski di sana hanya ada dua orang.

Gus Zizan mencoba menata nafas. “Kamu… hati-hati. Kalau anginnya besar, jangan jemur di sini. Bisa jatuh lagi.”

Dilara mengangguk cepat. “I-iya, Gus. Saya nggak nyangka anginnya sekencang ini.”

Ada keinginan di hati Gus Zizan untuk berkata lebih, menanyakan apakah Dilara baik-baik saja, atau sekadar menenangkan bahwa itu bukan hal memalukan. Tapi lidahnya kelu. Semua kata tertahan, digantikan dengan detak jantung yang makin kencang.

Ia akhirnya hanya mengambil kembali kitab yang tadi ia letakkan, lalu menunduk sedikit. “Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam…” jawab Dilara pelan, menunduk, tangannya masih menggenggam erat kain basah itu.

Begitu langkah Gus Zizan menjauh, Dilara menutup wajah dengan kain kotor di tangannya. Pipinya merah, hatinya berdebar tak karuan. “Ya Allah… kenapa harus pas dia lewat…”

Sementara itu, Gus Zizan berjalan cepat menuju kediamannya. Nafasnya terasa sesak, bukan karena lelah, tapi karena perasaan yang semakin sulit ia kendalikan.

Ia meletakkan kitab di meja, lalu menunduk dalam-dalam. Tangannya menutup wajah, doa lirih kembali terucap:

“Ya Allah… lindungi aku dari perasaan ini. Aku takut, aku benar-benar takut kalau rasa ini menjerumuskanku.”

Namun bayangan itu kembali hadir—Dilara yang menunduk, wajahnya yang tersipu, tangannya yang hampir bersentuhan dengan dirinya. Semua begitu jelas, terlalu jelas untuk dihapus hanya dengan doa singkat.

Di asrama, santri lain mulai berdatangan. Beberapa melihat Dilara sedang menata ulang jemurannya, wajahnya masih merah padam.

“Eh, Dilara… kok wajahmu merah banget?” tanya Salsa sambil tertawa kecil.

“Nggak, nggak apa-apa,” jawab Dilara buru-buru.

Tapi bisikan-bisikan kembali muncul. Ada yang tadi sempat melihat Gus Zizan lewat, ada pula yang sengaja mengarang cerita lebih. Dalam hitungan jam, kabar itu sudah menyebar, jemuran Dilara jatuh, dan Gus Zizan yang membantu.

“Waduh, romantis banget, kayak di drama!” bisik Dewi sambil tertawa dan menyenggol Dilara.

“Ah, kalian jangan sembarangan. Gus Zizan itu nggak mungkin… Dia cuman mau nolongin aku aja” potong Dilara.

"Tolongin katanya..." Mita tersenyum menggoda, membuat Dilara tersipu malu.

"Mita..."

"Apa sih, Lara..."

"Jangan ngomong aneh-aneh, nanti jadi Fitnah."

"nggak kok, Ning Lara..."

"Mita!!!!"

"Iya, iya.."

Sisil dan Dewi tertawa terbahak-bahak melihat Dilara salah tingkah.

Tapi gosip adalah gosip. Sekali berhembus, ia tak bisa ditarik kembali.

Malam itu, Dilara sulit tidur. Bayangan jemurannya yang jatuh, tangan Gus Zizan yang hampir menyentuhnya, dan tatapan matanya yang canggung terus berputar di kepala. Ia menutup mata, membuka lagi, lalu menarik nafas panjang.

“Kenapa aku jadi begini…” bisiknya lirih.

Sementara di kediaman pengasuh, Gus Zizan kembali berlama-lama di sajadah. Shalat malamnya kali ini lebih lama dari biasanya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari.

“Ya Allah, Engkau yang paling tahu isi hatiku. Jika rasa ini salah, hapuskanlah. Tapi jika Engkau menakdirkan sesuatu… maka tuntunlah aku agar tetap berada di jalan-Mu.”

Namun doa itu, lagi-lagi, justru membuat sosok Dilara semakin kuat dalam pikirannya.

Keesokan harinya, suasana pondok kembali sibuk. Tapi di antara tumpukan kitab, setoran hafalan, dan jadwal pengajian, ada dua hati yang diam-diam diliputi gejolak.

Dilara—yang mencoba menepis perasaan dengan sibuk membantu Wulan.

Dan Gus Zizan—yang berusaha menutupi resah dengan memperbanyak ibadah.

Namun keduanya tahu, momen kecil di balik jemuran itu telah membuka pintu yang sulit ditutup kembali.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!