NovelToon NovelToon
Menjadi Sekretaris Bos Mafia

Menjadi Sekretaris Bos Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Handayani Sr.

Xera Abilene Johnson gadis cantik yang hidup nya di mulai dari bawah, karena kakak angkat nya menguasai semua harta orang tua nya.
Namun di perjalanan yang menyedihkan ini, Xera bertemu dengan seorang pria dingin yaitu Lucane Jacque Smith yang sejak awal dia
menyukai Xera.
Apakah mereka bisa bersatu?? Dan jika Xera mengetahui latar belakang Lucane akan kah Xera menerima nya atau malah menjadi bagian dari Lucane??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Handayani Sr., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15

Malam itu, udara dipenuhi ketegangan.

Lucane berdiri di depan markas mafia yang selama ini membayangi gerak-geriknya. Di sekelilingnya, Juan, Max, dan Domanic bersiap bersama para anak buah yang sudah dilatih untuk momen seperti ini.

Mereka telah mengepung tempat itu dengan rapih. Tidak ada celah bagi musuh untuk kabur.

Begitu aba-aba diberikan, perlawanan pun dimulai.

Suara tembakan memecah malam, diselingi teriakan dan suara kaca pecah. Lucane memimpin serangan dengan ketegasan dan keberanian yang membuat semua orang di sisinya yakin malam ini mereka akan menuntaskan semuanya.

Jika kamu ingin saya bantu lanjutkan ke bagian aksi atau adegan pertempuran, atau memasukkan dialog antar karakter, tinggal bilang saja ya!

Berikut kelanjutannya, dengan nuansa aksi dan ketegangan yang tetap terasa kuat

Peluru beterbangan ke segala arah. Juan bergerak cepat, berlindung di balik tembok beton sebelum membalas tembakan dari dua anak buah mafia yang bersembunyi di lantai dua.

"Max! Naik ke atas, bersihkan lantai dua!" teriak Lucane sambil mengarahkan pistolnya ke arah jendela yang tiba-tiba terbuka.

Max mengangguk dan segera menyelinap masuk lewat pintu samping bersama dua orang lain. Di dalam, suara dentuman senjata terus menggema, bercampur dengan derap langkah kaki dan teriakan perintah.

Domanic menyisir sisi kanan gedung, memimpin pasukan kecilnya. Satu per satu penghalang dihancurkan. Di lorong sempit, dia berhadapan langsung dengan pria bertubuh besar yang membawa senapan laras panjang.

Tanpa ragu, Domanic bergulat dengannya. Dentuman senjata terhenti, digantikan oleh suara tubuh yang terhempas keras ke lantai.

Sementara itu, Lucane melangkah masuk ke ruang utama. Bau mesiu dan darah mulai memenuhi udara. Dia tahu, pemimpin mafia itu pasti bersembunyi di ruang belakang.

"Jaga pintu ini," perintah Lucane kepada Juan, lalu melangkah pelan, pistol di tangan kanan, pisau kecil di tangan kiri.

Pintu ruang belakang terbuka perlahan dan di dalamnya, sosok pria tua dengan tatapan tajam sudah menunggunya, ditemani dua penjaga bersenjata.

"Akhirnya kau datang juga, Lucane," gumam pria itu dengan suara parau.

Lucane menyipitkan mata.

"Kau sudah cukup lama jadi bayangan di belakangku. Sekarang waktunya kau menghilang."

Pria tua itu tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi aba-aba. Dua penjaga langsung mengangkat senjata mereka.

Namun Lucane lebih cepat.

DOR! DOR!

Dua peluru bersarang tepat di dada dan leher salah satu penjaga. Yang satu lagi berhasil berlindung di balik lemari besi, membalas tembakan secara membabi buta.

Lucane merunduk, meluncur ke samping, lalu melempar pisau kecilnya ke arah lemari. Pisau itu menancap di tangan si penjaga, membuatnya teriak kesakitan dan melepaskan senjata.

Dalam satu gerakan gesit, Lucane melompat maju dan membanting tubuh pria itu ke lantai. Suara tulang patah terdengar jelas.

Kini hanya tinggal pria tua itu dan Lucane, berdiri saling menatap di ruangan penuh asap dan darah.

"Beraninya kau menyerang tempat ini. Padahal aku yang menyelamatkan ayahmu dulu!" desis pria tua itu, kini wajahnya merah padam.

Lucane menghela napas pendek, lalu menatap lurus.

"Dan kau juga yang membuat mereka mati, karena kau menghianatinya. Kau pikir aku akan melupakan itu?"

Pria tua itu terdiam sejenak. Dia membuka laci kecil di meja di belakangnya dan menarik keluar pistol antik berukir emas. Tangannya gemetar.

"Tidak ada yang pernah bisa menumbangkan aku kau pikir anak kemarin sore bisa.."

DOR!

Peluru menembus dahi pria itu sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya. Lucane tidak memberi waktu, tidak memberi kesempatan.

Dia menatap tubuh yang kini rebah tidak bernyawa itu. Nafasnya berat, tapi matanya tenang. Pekerjaan telah selesai.

Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat. Juan masuk lebih dulu.

"Sudah bersih," lapor Juan. "Max menangani lantai dua. Domanic baru saja melumpuhkan sisa penjaga."

Lucane mengangguk. "Bakar semuanya. Tak boleh ada jejak yang tertinggal."

Juan tak bertanya. Dia hanya memberi isyarat ke anak buahnya yang langsung bergerak.

Lucane menatap ruangan itu sekali lagi sebelum berbalik. Di balik dinginnya malam, suara api mulai melahap dinding kayu dan arsip-arsip lama. Malam itu, satu babak kelam masa lalu akhirnya ditutup dengan darah dan bara.

* * * *

Udara malam masih dingin dan lengang. Di dalam mansion yang luas itu, hanya terdengar suara jam berdetak dan sesekali desahan angin dari jendela yang tidak tertutup rapat.

Xera terbangun. Tenggorokannya terasa kering, dan saat dia memeriksa botol air di samping ranjangnya, isinya sudah habis.

Dengan langkah pelan dan mata yang masih setengah terpejam, dia menyusuri lorong menuju dapur. Rambutnya tergerai berantakan, piyama sutra yang Xera kenakan pun tampak kusut.

Lampu lorong tidak sepenuhnya menyala hanya cahaya temaram dari lampu dinding yang menyinari jalan.

BRUK!

Tubuhnya menabrak seseorang. Xera pun tersentak dan mundur satu langkah ke belakang, tangannya refleks menyentuh dada.

"Hah... Siapa...?"

Matanya perlahan menyesuaikan cahaya remang-remang itu.

Lucane.

Tubuhnya masih beraroma asap dan mesiu. Jaketnya berlumur sedikit darah dan debu. Wajahnya keras, mata tajamnya menatap Xera dalam diam. Tapi hanya sebentar, sebelum tiba-tiba dia memeluknya.

Bukan pelukan yang hangat, tapi erat. Seolah dia memerlukan itu untuk tetap berdiri. Xera terkejut dan langsung mendorong bahunya, memberontak kecil.

"Lucane… lepaskan aku… apa yang"

Namun pria itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya memejamkan mata sejenak, napasnya berat, panas tubuhnya menyusup di antara ruang dingin itu.

Pelukannya penuh luka yang tudak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Xera akhirnya berhenti melawan. Tidak membalas, tapi juga tidak menolak.

Beberapa detik berlalu. Lalu Lucane perlahan melepaskannya.

Dia menatap Xera, matanya kini sedikit redup. "Tidurlah lagi. Sudah larut."

Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah melewatinya. Naik ke lantai atas, menuju kamarnya. Langkahnya berat, tapi mantap.

Xera masih berdiri di tempat.

Dadanya naik turun perlahan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Lalu dia melirik ke arah punggung Lucane yang menjauh seakan membawa beban dunia yang tidak bisa dia bagi.

Di tangan kirinya, botol air yang Xera ambil dari dapur masih menggantung lemah.

Dan di hatinya, muncul satu perasaan aneh. Campuran dari khawatir, marah, dan mungkin... iba.

* * * *

Cahaya matahari mulai menembus tirai kamar, menyinari lorong-lorong panjang mansion yang kini kembali sunyi. Aroma kopi segar menguar dari dapur, bercampur dengan bau roti panggang yang baru keluar dari oven.

Xera duduk di ruang makan, mengenakan cardigan tipis di atas piyamanya. Rambutnya masih terikat longgar, wajahnya tampak sedikit lebih segar, meski pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian tadi malam.

Dia menggenggam cangkir hangat di tangannya, menatap kosong ke luar jendela.

Langkah kaki terdengar mendekat. Lucane masuk ke ruang makan dengan pakaian rapi seperti biasa kemeja hitam lengan panjang yang digulung sampai siku, celana panjang gelap, dan jam tangan di pergelangan kiri.

Tanpa banyak bicara, dia mengambil duduk di seberangnya.

"Apa kamu tidur nyenyak?" tanyanya datar, suaranya pelan tapi jelas.

Xera mengangkat alis. "Setelah seseorang memelukku tanpa peringatan tengah malam? Tidak juga."

Lucane tidak membalas dengan kata-kata. Dia hanya mengambil cangkirnya dan menyeruput kopi pelan, matanya menatap meja, lalu kembali menatapnya sebentar.

"Maaf."

Itu saja. Singkat, sederhana, tapi membuat Xera mendongak dengan ekspresi heran. Dia tidak terbiasa mendengar kata itu dari pria seperti Lucane.

"Ada apa sebenarnya tadi malam?" tanya Xera, suaranya kini lembut tapi serius. "Baju kamu kotor, bau mesiu, dan kamu terlihat"

"Berantakan?" Lucane memotong dengan senyum tipis. "Mungkin sedikit. Tapi semua sudah selesai."

"Apa ada yang mengejar mu lagi, apa mereka yang dulu menyerang mu kembali??." Xera menatapnya dalam

Lucane meletakkan cangkirnya perlahan. I

Dia tudak langsung menjawab.

"Tidak, hanya saja ada sedikit urusan dan aku terlibat perkelahian oleh bebebrapa preman. Dan soal aku memeluk mu, Aku hanya butuh memastikan kamu masih di sini. Itu saja."

Xera terdiam. Tidak ada kata yang bisa mengimbangi kalimat itu.

Dia menarik napas dalam, lalu mengangguk pelan. "Kamu harus ganti baju. Bau kamu kayak sisa peperangan."

Lucane tersenyum kecil. Kali ini lebih hangat, walau hanya sebentar. "Nanti. Aku suka saat kamu protes."

Kemudian seperti biasa Lucane dan Xera akan pergi ke kantor saat Juan sudah menjemput.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!