Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Takdir Buruk
"Aurora, saya mohon, nak! Saya memiliki dua anak yang masih kecil. Mereka masih sangat membutuhkan kasih sayang ayah mereka," ucap Siti dengan suara parau, matanya basah penuh air mata. Sorotnya bergetar, wajahnya pucat pasi, seolah nyawanya tengah tergantung pada jawaban lawan bicaranya. Tubuhnya yang ringkih bergetar hebat, kedua tangannya meremas ujung kerudung lusuh yang menutupi sebagian wajahnya. Tangisan itu bukan sekadar air mata—tetapi jeritan jiwa seorang istri sah yang merasa perlahan dilucuti haknya.
Aura, yang kini terjebak dalam tubuh Aurora, hanya memutar bola matanya dengan malas. Napasnya berat, mencoba menahan kekesalan yang tiba-tiba menyembul. Batinnya bergaung, 'Adegan ini lagi? Salah satu adegan di bab novel yang sudah aku upload.'
Aurora terdiam. Ia menautkan kedua tangannya di atas meja, jemarinya saling mengunci, dan menundukkan kepala. Tatapan matanya kosong mengarah ke bawah, seakan sedang mempertimbangkan jalan hidupnya sendiri. 'Jika mengikuti alur cerita novel "Penderitaan Seorang Wanita" yang sudah memiliki draft tamat, dan kebetulan aku juga sudah menjadwalkan publish ke platform online, sepertinya memang hanya menunggu kemungkinan untukku mendapatkan ending buruk itu.'
---
Flashback
Plak!
Suara tamparan keras menggema, menghantam ruangan itu dengan dentuman yang memekakkan telinga. Pipi seorang pria paruh baya bernama Suryo berbalik ke samping, kulitnya langsung memerah.
Aurora berdiri di hadapannya, bahunya naik turun menahan amarah yang membara. Mata indahnya yang biasanya dipenuhi pesona, kini berubah menjadi kilatan tajam penuh kebencian. "Bodoh! Kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau tertular penyakit HIV?" bentaknya dengan suara melengking, nyaris merobek keheningan malam. Tangannya yang gemetar melemparkan selembar kertas—hasil medis—hingga melayang dan jatuh tepat di dada Suryo.
Suryo, dengan wajah kalut dan panik, mengulurkan tangan berusaha menenangkan amarah istrinya. "Sayang, tenang dulu! Mungkin itu bukan aku. Siapa tahu kau—"
Plak!
Tamparan kedua mendarat lebih keras. Kepala Suryo terhempas ke samping, rahangnya nyaris bergeser. Aurora menatapnya dengan mata berkaca-kaca, air mata mulai mengalir deras di pipinya yang memerah. "Tidak ada alasan lagi aku percaya pada ucapanmu!" teriaknya dengan frustasi. Suaranya pecah, penuh luka, tapi juga tegas dan menyayat. "Dokter sudah bilang padaku bahwa hanya dengan cara berhubungan intim aku bisa tertular penyakit kelamin itu!"
Aurora menggenggam dadanya, lalu menunjuk dirinya sendiri dengan jari bergetar, ekspresinya campuran antara amarah dan luka batin yang mendalam. "Meski aku seorang anak dari seorang gundik, perebut suami orang lain, tapi aku tidak pernah berhubungan seksual sembarangan karena aku tahu jelas resikonya sebesar ini!"
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar, menggetarkan ruangan hingga udara serasa menekan.
Namun, bukannya merasa bersalah, Suryo justru mendengus. Tatapannya dingin, suaranya sarat ejekan ketika ia melipat kedua tangan di dada. "Baiklah, jadi kalau sudah begini, kau mau apa?"
Aurora terdiam sejenak, lalu mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Bibirnya melengkung, membentuk senyum penuh percaya diri. Matanya berkilat tajam, sorotnya menusuk, menunjukkan bahwa ia tidak lagi menjadi korban. "Tentu saja aku ingin bercerai denganmu!" jawabnya dengan lantang, tanpa keraguan.
Langkahnya maju, jarinya yang lentik mendorong dada Suryo dengan santai, penuh penghinaan. Senyumnya melebar, dingin, dan angkuh. "Aku punya kekayaan, aku punya kecantikan, dan tentunya aku pandai merebut hati pria manapun. Aku tidak butuh dirimu lagi."
"Oh, pikirkan baik-baik, Aurora!" Suryo berjalan semakin mendekat, langkah kakinya terdengar berat namun penuh kepastian. Tubuhnya sedikit membungkuk saat wajahnya hampir menyentuh telinga Aurora. Suaranya berubah lirih, bagai bisikan iblis yang menyalakan bara di hati wanita itu. "Kau sekarang sudah tertular HIV. Memangnya masih ada pria bodoh yang mau menikah denganmu?"
Mata Aurora langsung membesar. Jantungnya berdegup kencang, seakan ingin meloncat keluar dari dadanya. Kedua tangannya bergetar hebat. Ia mundur perlahan, kursi yang tadi didudukinya bergeser dan menimbulkan suara berdecit menggores telinga. Mulutnya terbuka, tapi suaranya tercekat, hanya udara kosong yang keluar.
"Kenapa diam, Aurora? Bukankah yang aku katakan adalah benar?" Nada Suryo terdengar semakin mengejek, bibirnya menyeringai penuh kemenangan.
Aurora masih terpaku. Mulutnya tetap terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Hanya nafasnya yang memburu, membuat dadanya naik turun tak terkendali. Beberapa detik terlewati, seperti jarum jam yang mendadak bergerak begitu lambat. Hingga akhirnya suara lirih penuh getaran berhasil keluar dari tenggorokannya.
"Ka- kau! Kau brengsek! Kau menjebakku!"
Aurora menjerit dengan seluruh amarahnya. Ia mendorong tubuh Suryo dengan sekuat tenaga, membuat pria itu terhuyung lalu jatuh menghantam lantai. Tubuh besar Suryo berdebam keras, namun tawa kecilnya masih terdengar.
Aurora merasakan dadanya semakin panas, emosinya meledak tak terbendung. Pandangannya kabur diliputi merah. Tangan gemetarnya meraih sesuatu di atas meja—sebuah pisau buah berkilau. Dengan terengah-engah ia mengangkatnya tinggi-tinggi, seolah seluruh kebencian dunia terkumpul di genggaman itu.
"Kau sangat menjijikkan! Pergilah kau ke neraka!"
Dengan teriakan lantang, Aurora menghujamkan pisau itu tepat ke perut Suryo. Suara besi menembus daging terdengar jelas, disertai cipratan darah hangat yang langsung membasahi tangannya.
"Aurora..." suara Suryo bergetar. Tubuhnya mengejang, wajahnya pucat pasi. Darah mengalir deras dari perutnya, mewarnai lantai marmer rumah itu. "Kau akan menyesal melakukan ini padaku. Kau akan... masuk penjara."
Suara Suryo semakin lemah, namun teriakan berikutnya terdengar menggema, penuh kepura-puraan. "Pelayan... Penjaga... Siapa saja... Tolong ke sini!"
Panik melanda seisi rumah. Dalam hitungan detik, beberapa penjaga berlari masuk bersama para pelayan yang histeris. Mereka semua terpaku melihat tuan muda mereka terbaring bersimbah darah, sementara Aurora berdiri kaku dengan pisau yang masih berlumur darah di tangannya.
"Semua... Tangkap orang ini!" Suara Suryo bergetar, wajahnya penuh peluh dan darah. Namun telunjuknya masih sanggup terangkat, bergetar menunjuk Aurora. "Dia telah melakukan percobaan pembunuhan! Bawa dia ke pengadilan dan bawa saya ke rumah sakit!"
Para penjaga bergerak cepat. Dua pria bertubuh besar langsung memegang lengan Aurora, menariknya kasar hingga pisau terlepas dari genggamannya. Pisau itu jatuh dengan bunyi nyaring, meninggalkan noda darah di lantai yang licin.
"Tidak! Aku tidak berniat membunuhnya! Ini kecelakaan! Aku tidak mau dipenjara! Lepaskan aku!" teriak Aurora dengan suara parau. Tubuhnya meronta, matanya berlinang air mata, tapi genggaman para penjaga terlalu kuat.
Sementara itu, para pelayan berusaha menahan aliran darah di perut Suryo dengan kain seadanya. Suasana berubah kacau, teriakan bercampur tangis memenuhi ruangan.
Namun di tengah kekacauan itu, senyum licik melintas di wajah pucat Suryo. Meski nyawanya tergantung, bibirnya masih mampu melontarkan racun. "Kau akan masuk penjara, Aurora! Ayahmu yang seorang pejabat oposisi itu tidak akan bisa menolongmu. Uangku jauh lebih banyak. Aku bisa dengan mudah menyogok hakim."
Flashback off
'Ini buruk! Aku tidak mau mati mengenaskan di sel penjara sambil menderita HIV! Aku tidak mau! Tidak mau!' Aurora mengguncang kepalanya keras-keras, mencoba mengusir bayangan buruk itu. Tangannya mencengkeram meja erat, napasnya tersengal.
Siti yang berada di hadapannya tampak panik. "Aurora, ada apa? Apa kepalamu pusing? Kenapa geleng-geleng kepala dari tadi?"
Aurora terperanjat, kembali ke dunia nyata. Ia menatap Siti dengan sorot mata yang dalam, lalu tiba-tiba meraih kedua tangan wanita itu. Genggamannya erat, penuh tekad.
"Ibu Siti! Kau adalah wanita yang sangat baik! Tenang saja! Aku tidak akan mendekati suamimu lagi!"
"Benarkah itu?" Mata Siti berbinar, penuh harapan.
"Benar! Karena itu..." Aurora menarik tangan Siti, menyeretnya bangkit dari kursi. "Ayo kita cari pengacara! Kita ajukan cerai dari suamimu! Wanita baik hati seperti dirimu tidak pantas mempertahankan rumah tangga dengan pria patriarki misoginis otak selangkangan itu!"