Keira hidup di balik kemewahan, tapi hatinya penuh luka.
Diperistri pria ambisius, dipaksa jadi pemuas investor, dan diseret ke desa untuk ‘liburan’ yang ternyata jebakan.
Di saat terburuk—saat ingin mengakhiri hidupnya—ia bertemu seorang gadis dengan wajah persis dirinya.
Keila, saudari kembar yang tak pernah ia tahu.
Satu lompat, satu menyelamatkan.
Keduanya tenggelam... dan dunia mereka tertukar.
Kini Keira menjalani hidup Keila di desa—dan bertemu pria dingin yang menyimpan luka masa lalu.
Sementara Keila menggantikan Keira, dan tanpa sadar jatuh cinta pada pria ‘liar’ yang ternyata sedang menghancurkan suami Keira dari dalam.
Dua saudara. Dua cinta.
Satu rahasia keluarga yang bisa menghancurkan semuanya.
📖 Update Setiap Hari Pukul 20.00 WIB
Cerita ini akan terus berlanjut setiap malam, membawa kalian masuk lebih dalam ke dalam dunia Keira dan Kayla rahasia-rahasia yang belum terungkap.
Jangan lewatkan setiap babnya.
Temani perjalanan Keira, dan Kayla yaa!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.Cinta Pertama
Keira melangkah keluar dari kamar dengan penampilan baru. Rambut panjangnya kini terpotong sebahu, membingkai wajah pucat yang mulai berwarna lagi. Langkahnya ragu, seolah tubuh asing yang harus ia biasakan.
Di ruang tamu, Pak Mahendra dan Aldi tertidur dalam posisi duduk. Selimut yang melorot dibiarkan begitu saja, seakan mereka takut beranjak kalau-kalau Keira kembali menghilang. Garis di wajah Pak Mahendra tampak lebih dalam dari biasanya, beban cemas menua dalam semalam.
Perlahan, Keira mendekat. Jemarinya membetulkan selimut di bahu ayahnya. Suara bergetar lolos dari bibirnya, “Maaf ya, Pak… aku bikin Bapak khawatir.”
Mata Mahendra terbuka pelan. Ada lelah, ada cemas, tapi juga cahaya lega yang langsung menyapu tatapannya. Tangannya terulur gemetar, ingin meraih tapi takut Keira kembali menjauh.
Aldi bangun, segera menggenggam bahu Keira. Tanpa banyak kata, ia menuntunnya ke teras. Udara pagi masih lembap, aroma tanah basah menyapu ringan. Aldi menatapnya, suaranya rendah namun mantap.
“Jangan kunci dirimu lagi, Keira. Kalau lelah, kalau takut… datanglah padaku. Kita bisa pergi ke mana saja, asal kamu tidak melawan dirimu sendiri.”
Keira menunduk, bahunya bergetar. “Tapi kamu bahkan nggak tahu siapa yang aku takuti…” bisiknya.
Aldi terdiam, lalu mengulurkan kelingking. “Aku nggak peduli siapa pun dia. Aku cuma peduli kamu baik-baik saja. Janji lah, jangan hilang lagi.”
Keira memandang lama, lalu mengaitkan jarinya. “Janji,” suaranya pelan, tapi tegas.
Ketika mereka kembali masuk, Pak Mahendra terjaga sepenuhnya. Ia tertegun melihat putrinya berdiri di sana, lalu tanpa pikir panjang langsung merengkuhnya. Pelukan itu erat, hangat, seolah menegaskan bahwa dunia ini belum sepenuhnya merebut Keira darinya.
“Akhirnya kamu keluar juga, Nduk…” suaranya bergetar, menahan air mata.
Keira membalas pelukan itu. “Maaf, Pak…”
Mahendra mengusap rambut baru Keira, tersenyum kecil. “Cantik sekali kamu sekarang.”
Keira tersipu. Untuk pertama kalinya setelah lama, dadanya terasa penuh. Ia menatap sekeliling rumah tua itu—dinding kayu, cahaya yang menyusup dari jendela, bau tanah basah—dan dalam hatinya berbisik:
"Ini mungkin bukan hidupku… tapi mulai sekarang, inilah tempatku."
$$$$$$$
Tok… tok… tok…
Tiga ketukan singkat, tegas, terdengar dari balik pintu kantor Leo.Pintu perlahan terbuka. Hembusan wangi floral menyeruak masuk, lembut namun menusuk, membuat ruangan seketika berubah atmosfernya. Vina melangkah anggun.Senyum profesional merekah di bibirnya. Ia menunduk hormat, lalu menatap Leo lurus tanpa berkedip.
“Selamat pagi, Pak. Saya Vina. Sekretaris baru yang ditugaskan oleh Pak Arga untuk membantu Bapak di kantor ini.”
Leo hanya mengangkat kepala sebentar. Pandangannya datar, menelusuri Vina dari ujung kepala hingga kaki, dingin tapi penuh perhitungan. Ia lalu melirik ke Arga yang berdiri satu langkah di belakang.
“Kau sudah memastikan dia cukup kompeten?” suaranya rendah, tajam, seperti bilah tipis yang siap mengiris.
Arga mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Dia kandidat terbaik yang kami temukan.”
Leo menggeser kursinya sedikit. Ketukan jarinya di atas meja terdengar teratur, menekan suasana hingga terasa menyesakkan.
“Pastikan kau tidak mengecewakan. Aku tidak menyukai orang yang membuat kesalahan.”
Senyum Vina tetap terpasang, meski garis tegang mulai tampak di rahangnya. “Tentu, Pak. Saya mengerti,” jawabnya, mencoba menahan nada suaranya agar tetap tenang.
Namun saat Leo menurunkan pandangan ke berkas CV di hadapannya, matanya tiba-tiba terhenti pada satu baris. Alisnya sedikit berkerut.
"SMA Harapan Bangsa."
Sekejap, napasnya terasa berubah ritmenya. Nama sekolah itu menohok memorinya, membawa sekelebat bayangan wajah lembut yang pernah ia cintai—Haruna. Senyum gadis itu, tawa yang dulu menemaninya, semua berkelebat tanpa diundang.
FLASHBACK
Saat itu, Leo baru pulang sekolah ketika ayahnya tiba-tiba memanggil.
“Leo, jemput Revan ke SMA Harapan Bangsa. Dia jatuh dari motor di gerbang sekolah. Nggak bisa jalan jauh,” ucap ayahnya tegas, tak memberi ruang untuk menolak.
Leo mendengus kesal. SMA Harapan Bangsa jelas bukan tempat yang ingin ia singgahi. Semua orang tahu, sekolah itu dan SMA Tunas Bangsa—sekolah Leo—bagaikan api dan bensin. Tawuran, perselisihan antar geng, sampai rebutan wilayah sudah jadi cerita lama yang terus berulang. Tapi kali ini, karena Revan merengek pada ayah mereka, Leo terpaksa menuruti.
Ia melangkah menyusuri lorong sekolah Harapan Bangsa dengan seragam putih abu khas Tunas Bangsa masih melekat di tubuh. Bahunya tegap, wajahnya dingin. Setiap langkahnya seperti menarik tatapan curiga dari siswa yang berpapasan.
Brak!
Tubuh Leo bertabrakan dengan seseorang di tikungan. Seorang gadis jatuh terduduk, buku-bukunya berserakan di lantai. Rambut hitam lurusnya tergerai, kacamata bundar nyaris melorot dari batang hidungnya. Sweater rajut abu yang kebesaran membuat tubuh mungilnya terlihat tenggelam. Ia meringis, tangannya memegangi lutut yang memerah karena terbentur.
Leo hanya menoleh sekilas. Wajahnya datar, acuh, sama sekali tidak tergerak untuk membantu. Ia bahkan hendak melanjutkan langkah, seolah tabrakan itu tidak berarti apa-apa.
Tapi sebelum ia sempat pergi, sebuah tangan kecil meraih pergelangannya. Cengkeramannya tidak kuat, namun cukup untuk menghentikan Leo.
“Kamu… anak SMA sebelah, ya?” tanyanya lirih, matanya menatap tajam pada seragam Leo.
Leo hanya diam. Tatapannya dingin, penuh meremehkan. Ia menghempas tangan itu kasar, tanpa bicara sepatah kata pun. Namun bukannya takut atau mundur, gadis itu justru kembali menahan. Kali ini ia menarik napas dalam, lalu membuka sweater rajut yang dikenakannya.
“Pakai ini.” Suaranya pelan tapi mantap. Ia menyodorkan sweater itu ke arah Leo.
Alis Leo berkerut. “Untuk apa?” tanyanya, suaranya berat, setengah tak sabar.
Gadis itu tersenyum tipis. “Aku nggak akan tanya apa tujuanmu ke sini. Tapi… lebih baik kamu nutupin nama sekolahmu. Anak-anak di sini nggak suka lihat anak Tunas Bangsa masuk ke wilayah mereka. Kalau ketahuan… kamu bisa kenapa-kenapa.”
Leo terdiam. Matanya menatap lekat wajah gadis itu—wajah teduh, lembut, tapi anehnya sama sekali tidak gentar menghadapi auranya. Perempuan ini bahkan sudah dua kali berani menyentuh tangannya, hal yang biasanya membuat orang lain mundur ketakutan.
Gadis itu beranjak, sempat beberapa langkah meninggalkannya. Namun sebelum benar-benar pergi, ia kembali menoleh.
“Kalau besok kamu mau balikin sweaternya, titip aja ke satpam depan. Bilang itu punya Haruna, kelas sepuluh IPA.”
Lalu ia benar-benar menghilang di tikungan lorong, meninggalkan Leo berdiri mematung dengan sweater abu di tangannya.
Leo menatap benda itu lama. Hatinya yang dingin sempat tergelitik. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu—dari keberaniannya, ketulusannya, dan tatapan mata yang tak mengenal takut.
Tatapan Leo kembali terarah pada Vina. Matanya menyipit, penuh selidik.
“Kau lulusan SMA Harapan Bangsa?” tanyanya pelan, nada suaranya lebih berat daripada sebelumnya.
Wajah Vina seketika menegang. Jemarinya saling meremas di pangkuan, napasnya memburu tak teratur. Ada kilatan panik yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum tipis yang nyaris tak terbentuk.
" Sial, dokumen itu… apa dia menyadarinya?" batin Vina , menatap Leo.
.
.
.
Bersambung.
Keira lebih baik jujur saja. tapi aku tau maksud dari diam mu.