Janetta Lee, dikhianati saat mengandung, ditinggalkan di jalan hingga kehilangan buah hatinya, dan harus merelakan orang tuanya tewas dalam api yang disulut mantan sang suami—hidupnya hancur dalam sekejap.
Rasa cinta berubah menjadi luka, dan luka menjelma dendam.
Ketika darah terbalas darah, ia justru terjerat ke dalam dunia yang lebih gelap. Penjara bukan akhir kisahnya—seorang mafia, Holdes Shen, menyelamatkannya, dengan syarat: ia harus menjadi istrinya.
Antara cinta yang telah mengkhianati, dendam yang belum terbayar, dan pria berbahaya yang menggenggam hatinya… akankah ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya, atau justru terjebak lebih dalam pada neraka yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Janetta ditarik paksa keluar dari mobil oleh salah satu lawan. Tangannya dicengkeram kasar, membuat tubuhnya sedikit terseret. Sementara itu, Bowie ditodong oleh beberapa laras pistol yang menempel di dekat pelipisnya. Jumlah lawan jauh lebih banyak dibandingkan dengan anggota Holdes.
“Holdes Shen, hari ini kau kalah telak dari kami. Wanitamu kini ada di tanganku,” ucap pria itu sambil menodongkan pistol tepat ke pelipis Janetta. Senyumnya sinis, penuh kemenangan. “Aku ingin tahu… apa yang akan kau lakukan untuk bisa lolos?”
Holdes menatap lurus tanpa gentar, wajahnya tetap tenang meski suasana mencekam. “Kau yakin dengan apa yang kau lakukan?” suaranya terdengar dingin. “Menyentuh istriku… sama saja kau sedang menggali kuburanmu sendiri.”
Janetta, meski ditodong dan ditahan kasar, tidak menunjukkan rasa takut. “Hanya pengecut yang berani mengancam wanita,” ucapnya tenang, seolah mengabaikan moncong pistol di kepalanya.
“Diam, dasar jalang!” bentak pria itu, mendorong kepalanya lebih keras dengan pistol.
“Lepaskan tanganmu darinya,” suara Holdes berubah berat, penuh ancaman.
Pria itu tertawa pendek. “Holdes Shen… aku tahu kau mafia yang tak kenal takut pada maut. Tapi pertanyaannya… apakah wanita ini kelemahanmu?” Ia menekan moncong senjatanya lebih erat ke kepala Janetta.
Janetta tak gentar sedikit pun, bibirnya terangkat dalam senyum tipis yang membuat pria itu sedikit terkejut. “Lebih baik lepaskan tanganmu… sebelum kau yang menyesal.” Suaranya tenang.
Tak lama kemudian, deru mesin terdengar dari kejauhan. Puluhan mobil hitam melaju kencang dan berhenti mendadak, membentuk barisan kokoh yang langsung mengepung lokasi. Pintu-pintu mobil terbuka serentak, dan anak buah Holdes keluar dengan gerakan terlatih.
Dalam hitungan detik, puluhan pistol teracung, moncongnya mengarah tajam ke para musuh yang kini terkepung rapat.
Suasana mendadak hening, hanya terdengar desahan napas dan suara senjata yang terkokang. Para lawan melirik ke sekeliling, menyadari jumlah mereka kalah telak.
Namun pria yang masih menahan Janetta semakin kalut. Tangannya mencengkeram lengan Janetta lebih keras, sementara moncong pistolnya menempel makin erat di sisi kepala wanita itu. Wajahnya pucat tapi matanya penuh nekat.
“Kalau kalian berani bertindak… dia akan mati!” teriaknya dengan suara serak, mencoba menutupi rasa gentar.
Holdes maju satu langkah, tatapannya tajam bagai belati. “Kalau kau melepaskan istriku… aku akan membiarkanmu hidup.” Suaranya tenang, tapi dingin, membuat beberapa anak buah lawan menelan ludah.
“SEMUA lepaskan senjata!” seru salah satu anggota Holdes, suaranya lantang memecah keheningan.
Tegang. Sunyi. Semua laras senjata kini sudah menempel pada tubuh para musuh. Sekali salah gerak, darah bisa mengalir kapan saja.
Musuh yang tidak berdaya kini benar-benar berada di ujung tanduk, hanya tersisa keberanian nekat pria yang menodongkan pistol ke kepala Janetta sebagai perisai terakhir.
Salah satu musuh menatap Holdes dengan wajah getir. “Holdes Shen… jadi kau sudah merencanakannya sejak awal?”
Holdes tersenyum tipis. “Kalau aku tidak memasang jebakan, mana mungkin kalian berani muncul? Mengikuti kami selama beberapa hari… apa kalian tidak bosan?”
Pria yang menahan Janetta mendengus, matanya merah penuh dendam. “Walaupun kami tidak akan bisa lolos, wanitamu ini akan mati bersama kami!” teriaknya sambil menekan pistol makin kuat ke pelipis Janetta.
Namun sebelum ia sempat menarik pelatuk, suara tenang Janetta memotong. “Belum tentu.”
Dengan gerakan secepat kilat, Janetta memutar pergelangan tangannya, mencengkeram tangan pria itu hingga senjatanya sedikit bergeser. Bersamaan dengan itu, kakinya menendang keras tulang kering pria tersebut.
Pria itu meringis kesakitan. Dalam celah sepersekian detik, Janetta meraih pistol dari pinggangnya sendiri.
Dor!
Tanpa ragu, ia melepaskan tembakan tepat di kepala pria itu. Tubuh musuh itu terhempas ke tanah, tewas seketika.
Keheningan menyelimuti lokasi. Bahkan anak buah Holdes sempat terperangah. Bowie membelalakkan mata, sementara Holdes menatap istrinya dengan ekspresi terkejut bercampur bangga.
“Aku paling benci diancam,” ucap Janetta dingin.
Perlahan, senyum terukir di wajah Holdes. “Istriku… sungguh luar biasa.”
Janetta menoleh padanya, matanya masih tajam tapi bibirnya melengkung lembut. “Kalau aku tidak bisa melindungi diri… bagaimana aku pantas menjadi istrimu?”
“Tahan mereka semua! Jangan sampai ada yang kabur!” perintah Holdes lantang.
“Iya, Bos!” jawab anak buahnya serentak, langsung bergerak cepat melucuti senjata musuh dan mengikat mereka satu per satu.
“Bowie,” lanjut Holdes, suaranya dingin penuh wibawa. “Kirim pesan pada bos mereka. Katakan—kalau dia masih menginginkan nyawa anak buahnya, suruh dia datang menemuiku. Pastikan mereka tetap hidup untuk sementara. Tapi kalau dia tidak datang…” Holdes menyeringai tipis, “…dia hanya akan menerima mayat mereka.”
“Baik, Bos,” jawab Bowie patuh, segera menghubungi orang-orangnya untuk melaksanakan perintah.
Sementara itu, Holdes melangkah mendekati Janetta. Sorot matanya melunak begitu menatap istrinya. “Kita ke rumah sakit dulu, periksa kondisimu.”
Janetta menggeleng pelan. “Aku tidak terluka, tidak perlu.”
Holdes menatapnya lekat, seolah mencari celah dari ekspresi wajahnya. “Apa kau yakin baik-baik saja?”
“Iya, tenang saja,” jawab Janetta dengan senyum tipis, meski pistol di tangannya masih berasap.
Holdes terdiam sejenak. Senyum itu… wajah lembut seorang wanita yang dibesarkan dalam lingkungan penuh kasih. Ia mengingat kembali—Janetta adalah gadis yang tumbuh di tangan seorang dosen dan seorang guru, keluarga yang sama sekali jauh dari dunia kekerasan.
"Lalu kenapa…? batin Holdes mulai dipenuhi pertanyaan.
"Kenapa Janetta bahkan tidak ragu untuk membunuh?"
Tatapannya pada istrinya semakin dalam, antara kagum, bingung, dan curiga.
up lg dobel2.... lagii
semangatt thorr
Klo bnr wahh perang bathin si Holdes 🤭🤭🤭