Elena Ivor Carwyn hidup sebagai Duchess yang dibenci, dihina, dan dijadikan pion dalam permainan politik kaum bangsawan. Namun ketika hidupnya direnggut secara tragis, takdir memberinya kesempatan kedua kembali satu tahun sebelum kematiannya. Kali ini, Elena bukan lagi wanita naif yang mudah dipermainkan. Ia bertekad membalikkan keadaan, mengungkap pengkhianat di sekitarnya, dan melindungi masa depan yang pernah dirampas darinya.
Namun di balik senyuman manis para bangsawan, intrik yang lebih mematikan menanti. Elena harus berhadapan dengan konspirasi kerajaan, perang kekuasaan, dan rahasia besar yang mengancam rumah tangganya dengan Duke Marvyn Dieter Carwyn pria dingin yang menyimpan luka dan cinta yang tak pernah terucap. Di antara cinta, dendam, dan darah, Elena akan membuktikan bahwa Duchess Carwyn bukan lagi pion melainkan ratu di papan permainannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KazSil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalung Sang Duchess
Udara di butik seakan menahan napas bersamaan dengan semua orang yang ada di dalamnya. Elena berdiri kaku, gaun biru gelap yang membalut tubuhnya terasa terlalu indah untuk ia percayai, terlalu mewah untuk tubuh yang sering dipandang rendah. Jemarinya bergetar samar di samping tubuh, seolah takut sekadar mengangkat tangan akan merusak keanggunan yang tiba-tiba disematkan padanya.
Dia bisa merasakan tatapan itu. Tatapan yang berat, dingin, namun tak pernah lepas darinya sejak ia keluar dari ruang ganti. Elena tidak perlu menoleh untuk tahu Mervyn sedang melihatnya. Tidak seperti sebelumnya, kali ini tatapan itu begitu intens hingga membuat dadanya sesak.
Kenapa dia menatapku seperti itu…?
Elena menunduk, berharap bisa bersembunyi di balik helai rambut yang terurai lembut. Namun setiap langkah kecilnya justru membuat gaun itu semakin hidup, semakin berkilau. Setiap bisikan kecil dari para pelayan seakan menekan telinganya.
“Benar-benar menakjubkan…”
“Duchess Carwyn… tak kusangka dia bisa terlihat seperti ini.”
Kata-kata itu menusuk sekaligus menggetarkan. Bagian dari dirinya ingin percaya, namun bagian lain masih penuh dengan luka lama yang tak hilang.
Madame Isolde mendekat, senyum puas terpatri di wajahnya. “Yang Mulia Duke…” suaranya terdengar lantang namun penuh hormat, “bagaimana pendapat Anda?”
Elena terhenti. Dadanya menegang, napasnya tertahan. Ia tidak berani mengangkat kepala. Sebagian dirinya ingin sekali mendengar pengakuan, sekecil apa pun, dari pria yang kini duduk dengan sorot mata sulit tertebak. Namun di saat yang sama, ia takut… takut bahwa kata-kata dingin berikutnya akan meruntuhkan semua rasa percaya diri yang baru saja tumbuh.
Keheningan menggantung. Semua mata menunggu.
Dan Mervyn, dengan sorot matanya yang tak bergeser sedikit pun dari Elena, perlahan membuka mulutnya...
“Bagian yang sudah aku tandai di katalog, semuanya kirimkan ke Duchy Carwyn,” ucap Mervyn datar sambil menutup buku katalog. Ia bahkan tak menoleh, pandangannya kembali sibuk pada laporan-laporan di tangannya.
Elena terdiam. Matanya perlahan merunduk, menahan sesuatu yang menyerupai harapan-harapan kecil yang seharusnya tidak pernah ia tumbuhkan. Hatinya berdesir getir. Lagi-lagi, ia hanya membodohi dirinya sendiri. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kecewa.
...
Begitu semua urusan selesai, Elena segera melangkah kembali ke kereta kuda. Gaun indah yang masih melekat di tubuhnya mendadak terasa berat, seolah menekan dadanya dengan rasa yang tak bisa ia ungkapkan.
Mervyn, bersama Rowen, telah lebih dulu pergi untuk melanjutkan agenda-agenda pentingnya. Tak ada sepatah kata pun yang tertinggal untuknya.
Roda kereta perlahan berputar, meninggalkan butik mewah itu dan bersama deru kuda, ikut terbawa pula rasa kecewaan yang menyesakkan, meski hanya dirasakan oleh satu pihak saja.
...
Malam hari di Duchy Carwyn.
Taman yang luas diselimuti cahaya bulan perak, menyingkap keindahan bunga-bunga yang bermekaran meski malam kian larut. Di tengah taman berdiri sebuah bangunan kecil, semacam gazebo dengan atap melengkung, tempat orang bisa berteduh atau sekadar menikmati udara segar.
Di dalamnya, sebuah meja bundar sederhana tertata rapi. Beberapa kue kering tersusun di piring porselen, sementara teko teh beraroma lembut mengepul hangat, mengisi udara dengan wangi menenangkan.
Elena duduk dengan santai, kali ini tanpa harus menjaga sikap berlebihan. Di hadapannya, Mary yang setia menemaninya tersenyum lembut, seakan menjadi satu-satunya orang yang membuatnya bisa bernapas lega di kediaman ini.
“Mary,” Elena membuka percakapan, jemarinya mengusap bibir cangkir teh. “Kau tahu apa yang sedang terjadi di jalanan kota? Aku melihat banyak hiasan, meski sepertinya belum selesai dipasang.”
Mary segera mengangguk, ekspresinya ceria. “Ah, mungkin yang Yang Mulia maksud adalah persiapan Festival Musim Panas.”
“Festival?” Elena mengulang lirih, dahi mungilnya sedikit berkerut.
Ah, benar… saat ini akan diadakan festival besar di tengah kota. Sebelum aku mati dulu, aku bahkan belum pernah sekalipun menyaksikan festival… batinnya, getir sekaligus penasaran.
Mary menambahkan dengan semangat, matanya berbinar penuh antusias. “Benar, Duchess. Festival ini adalah acara terbesar di ibu kota. Semua orang turun ke jalan, menari bersama, menyanyi dengan gembira. Jalanan dipenuhi stan makanan, lampion, juga pertunjukan musik. Malam itu, seakan seluruh kota larut dalam tawa dan kebahagiaan.”
Elena terdiam, membiarkan bayangan itu menari di dalam kepalanya. Sebuah dunia yang terasa begitu jauh dari dirinya, namun entah mengapa hatinya merindukannya.
"Ceritakan padaku lebih detail, tentang festival itu" ucap Elena bersemangat
Mary dengan senang hati menceritakan tentang festival itu, Elena mendengarkan dengan semangat mereka tertawa bersama seolah olah mereka sedang berada di tempat ia mereka bicarakan.
...
Di jalan samping taman, dua orang pria tampak melangkah pelan. Langkah Mervyn mendadak terhenti ketika telinganya menangkap suara tawa ringan yang terbawa angin malam.
Ia menoleh sekilas. Di kejauhan, di bawah temaram cahaya bulan, Elena duduk bersama Mary di gazebo taman. Wajah Elena bersinar lembut, tawanya pecah begitu tulus dan lepas sesuatu yang belum pernah sekalipun ia saksikan darinya sebelumnya.
Untuk sesaat, Mervyn hanya berdiri mematung, membiarkan pandangannya terikat pada sosok istrinya yang terlihat berbeda dari biasanya. Bukan seorang Duchess yang kaku dalam aturan, bukan pula gadis yang selalu menunduk penuh kehati-hatian… melainkan seorang wanita muda yang benar-benar hidup dalam kebahagiaan sederhana.
Sekilas, sesuatu yang samar mungkin kekaguman, mungkin rasa lega muncul di wajah Mervyn. Ia tersenyum tipis tanpa sadar, senyum yang jarang sekali ia tunjukkan bahkan pada orang terdekatnya.
Namun, bukannya menghampiri, ia memilih melanjutkan langkahnya. Seolah tak ingin merusak momen itu, seolah senang hanya dengan menyimpannya dalam diam.
Ia baru saja pulang dari pekerjaan panjang yang melelahkan, namun entah mengapa, menyaksikan senyum Elena malam itu terasa lebih dari cukup untuk menghapus letihnya.
...
Esok hari menjelang malam, Duchy Carwyn dipenuhi hiruk pikuk persiapan. Seluruh pelayan sibuk memastikan segalanya sempurna untuk keberangkatan sang Duchess yang akan menghadiri pesta keluarga Valens salah satu keluarga tertua dan paling berpengaruh di kerajaan.
Tok… tok…
“Masuklah,” ucap suara tenang dari dalam ruangan.
Seorang pelayan wanita masuk dengan langkah hati-hati, kedua tangannya memeluk sebuah kotak perhiasan tua yang tampak kokoh meski sudah berumur. Ia menunduk dalam sebelum bicara, suaranya sopan namun penuh tekanan tugas.
“Yang Mulia Duke menitipkan kalung ini agar dikenakan oleh Duchess pada pesta malam ini. Beliau juga menyampaikan bahwa ia akan datang sedikit terlambat, dan mempersilahkan Yang Mulia berangkat lebih dahulu.”
Elena yang sedang duduk di depan meja rias hanya terdiam.
Begitu ya…
Batin Elena getir, semburat kecewa terlintas meski segera ia sembunyikan di balik wajah tenangnya.
Pelayan itu melanjutkan dengan ragu, “Tentang kalung ini—”
“Taruh saja di situ.” Elena memotong dingin, telunjuknya mengarah pada meja di samping cermin. Suaranya terdengar datar, nyaris tanpa emosi, seolah ia tidak peduli.
Pelayan itu menurut, meletakkan kotak dengan hati-hati. Ia menunduk lagi, namun sempat menatap sekilas wajah Elena, seakan ingin menjelaskan lebih jauh… namun tak berani.
Beberapa jam kemudian, pintu aula keluarga Valens terbuka lebar. Musik dan suara tawa terhenti sejenak. Semua kepala menoleh bersamaan.
Duchess Carwyn melangkah masuk, anggun dalam gaun malamnya… dan di lehernya berkilau kalung yang membuat para tamu terdiam, sebagian terkejut, sebagian lain berbisik penuh tanda tanya.
Malam itu, tak ada yang tahu bahwa dengan kalung itu, Elena baru saja menarik perhatian orang-orang yang seharusnya tidak.