Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 30
Azhar mendudukkan Berliana di samping Nisa yang masih lemah berbaring. Tangan mungil anak itu langsung menggapai tangan Nisa.
“Mama jangan sakit lagi…” suaranya lirih, penuh ketakutan.
Nisa mengusap pipi putrinya dengan jari gemetaran. Senyum tipisnya berusaha menenangkan.
“Insya Allah Mama nggak akan sakit lagi, Sayang. Ada Berliana di samping Mama, Mama jadi kuat,” bisiknya.
Lalu pandangannya beralih ke Azhar. “Mas… Bilqis gimana? Siapa yang jagain di rumah?”
“Aku minta tolong sama Bu Retno untuk sementara,” jawab Azhar pelan, takut membuat Nisa khawatir.
“Alhamdulillah…” Nisa menghela napas lega.
“Aku takut dia kenapa-kenapa sendirian. Dia anak yang keras, tapi aku tetap sayang…” Ia berusaha bangun, punggungnya terasa panas.
“Rebahan saja,” cegah Azhar lembut, tangannya refleks menopang bahu istrinya.
“Aku baik-baik saja, Mas. Duduk bersandar lebih enak,” tolak Nisa, berusaha tersenyum.
Azhar pasrah, tak ingin memaksa. Ia mengatur bantal agar nyaman. Tatapannya penuh cinta dan cemas.
“Mas… anak kita baik-baik saja kan?” tanya Nisa, kedua tangannya mengusap perut yang mulai membuncit.
Azhar menahan napas sejenak sebelum menjawab. Lalu bibirnya melengkung dalam senyum yang penuh arti.
“Alhamdulillah… anak-anak kita kuat. Mereka tangguh, seperti mamanya.”
Nisa mengerutkan kening. “Anak-anak kita?” ulangnya.
Azhar menggenggam tangan Nisa, mengecup punggungnya. “Alhamdulillah, kita dikaruniai tiga calon bayi laki-laki. Usia kandunganmu sudah empat bulan,” suaranya bergetar.
Nisa langsung menutup mulutnya, air mata menetes deras. “Allahu Akbar… Alhamdulillah… terima kasih, ya Allah…” ia menunduk, memeluk perutnya. “Maafkan Mama, Nak. Mama nggak sadar ada kalian bertiga di sini…”
Azhar menatapnya, ikut basah matanya. “Mungkin karena kamu terlalu sibuk mengurus Berliana dan Bilqis… kamu selalu mendahulukan anak-anak suamimu.”
Nisa mengangkat wajahnya, menatap Azhar serius. “Jangan bilang ‘anak-anak suamiku’. Mereka anak-anakku juga. Mereka sama di hatiku. Aku nggak mau Mas berpikir aneh-aneh tentang perhatianku pada mereka,” katanya lembut, tapi tegas.
Azhar tersenyum kecut. “Aku tahu… aku cuma kagum sama ketulusanmu. Pepatah bilang, pasak lebih besar dari tiang… tapi sebesar-besarnya pasak, masih lebih besar cintaku ke kamu. Aku bahagia memilihmu jadi istriku meskipun perjalanan kita nggak mudah.”
“Tak ada cinta hebat tanpa perjuangan hebat pula,” balas Nisa dengan mata berkaca-kaca. “Aku ini wanita paling beruntung mendapat lelaki yang mau meratukan aku…”
Beberapa menit kemudian perawat memindahkan Nisa ke ruang perawatan. Nisa sempat ngotot pulang malam itu, tetapi Azhar membujuknya.
“Sayang… tolong dengar aku. Tiga bayi kita butuh pengawasan medis. Aku mohon…”
Nisa akhirnya luluh. Ia berwudhu dan shalat Isya di ranjang dengan posisi berbaring. Azhar menjadi imam. Mereka bergantian berdoa, suara mereka lirih tapi penuh harap.
“Ya Allah, jadikanlah anak kami sehat, sempurna, berakal cerdas, berilmu, dan beramal. Panjangkanlah umurnya, sehatkanlah jasadnya, dan baguskanlah akhlaknya,” doa Nisa sambil menengadahkan tangan.
Azhar mengaminkan, lalu melanjutkan, “Ya Allah, jagalah anakku selama ia berada dalam perut istriku. Sehatkanlah ia. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penyembuh…”
Mereka membaca Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas, lalu surat Yusuf dan Al-Insyirah. Setiap selesai, Azhar meniupkan ke perut Nisa, mengusapnya penuh sayang. “Jadilah anak yang penurut, berhati lembut, jagoan Papa…” ucapnya pada perut istrinya.
Sekitar jam delapan malam, Bella, Bu Nurul, dan Hafsah datang. Untung mereka memberi kabar dulu, sehingga Nisa bisa menyiapkan diri. Bu Nurul berjalan lebih dulu, wajahnya berbinar.
“Selamat atas kehamilanmu yang indah, Nisa!” ia langsung memeluk Nisa. “Doa kami agar kesehatanmu dan janinmu terlindungi…”
“Allahumma amin… makasih Bu. Kenapa repot-repot datang?” Nisa mencium tangan ibu mertuanya, hatinya tergetar.
Bella meletakkan parcel buah dan beberapa paperbag. “Kami senang kamu hamil. Karena kamu jauh dari suami dan keluarga, kami yang akan menjagamu…” imbuh Bu Nurul sambil mengusap perut Nisa.
Air mata bahagia kembali mengalir di pipi Nisa. “Aku bersyukur Allah kirim orang-orang baik sekelilingku,” gumamnya.
“Kehamilan itu awal petualangan baru,” ujar Bella. “Semoga Allah memberkati perjalananmu dengan kesehatan dan kebahagiaan… doakan aku juga cepat nyusul punya baby…”
“Amin ya Rabbal ‘Alamin. Aku sepuluh bulan menikah baru ketahuan hamil, langsung tiga bayi kembar…” balas Nisa sambil tersenyum.
“Doakan aku juga ya Mbak,” Hafsah memeluknya erat. “Aku ingin punya momongan entah cowok atau cewek…”
“Amin, Mbak Hafsah pasti segera diberi keturunan,” canda Nisa. “Yang penting tetap proses, jangan kendor gas pol…” Mereka semua tertawa kecil mendengarnya.
Bu Nurul memperhatikan wajah Nisa lekat-lekat. “Ya Allah, andaikan dia menantuku, pasti hatiku bahagia…” batinnya.
Hafsah juga diam-diam berbisik ke Bella, “Aku merasa Abang Azhar sama Mbak Nisa ada hubungan yang lebih dari sekadar majikan–asisten entah kenapa aku malah berharap mereka resmi saja…”
Mereka masih bercakap sampai Azhar datang. Berliana bersorak, “Papa!” lalu berjalan pelan menyambutnya. Azhar jongkok memeluknya.
Bu Nurul sempat melirik interaksi Azhar dan Nisa. Hatinya hangat sekaligus curiga.
Bella berkomentar lirih, “Untung ada Abang Azhar waktu Bilqis kelewatan. Kalau nggak, entah nasib Nisa dan bayi-bayinya…”
“Mama juga heran kenapa Bilqis makin sulit diatur,” tambah Bu Nurul.
“Aku rasa semua ini karena pola asuhnya Mbak Dianti dan Bu Retno,” kata Bella.
“Nisa sudah berniat baik mengajarkan doa-doa harian, tapi Bilqis malah menolak…”
Hafsah menatap mereka. “Aku juga takut kalau ini dibiarkan. Anak-anak itu amanah, bukan sekadar dimaklumi.”
Semua terdiam. Nisa menggenggam tangan Berliana, hatinya campur aduk.
“Mereka masih anak-anak… mungkin lingkungan yang salah…” ujarnya pelan.
“Justru karena mereka masih anak-anak, kita harus tegas. Abang mau ada korban lagi?” Bella menatap Azhar tajam.
Azhar menunduk, menelan ludah. Ia tahu ucapan mereka benar. “Aku akan coba lebih tegas. Terima kasih sudah peduli…”
Satu per satu mereka berpamitan. Bu Nurul secara khusus menatap Azhar, “Jaga Nisa baik-baik. Dia nggak punya siapa-siapa di Makassar.”
Setelah pintu tertutup, Azhar menatap istrinya. Mereka saling berpandangan, sama-sama mengerti beratnya rahasia yang mereka simpan. Azhar memeluk Nisa dan Berliana sekaligus.
“Ya Allah,” batinnya, “Engkau titipkan amanah besar padaku. Beri aku kekuatan menjaganya…”
Di luar sana, berita kehamilan itu sudah sampai ke telinga bapaknya Nisa di kampung. Tapi di kamar itu, hanya doa dan air mata syukur yang mengalir.
Di rumah panggung sederhana di Takalar, Pak Daud duduk di beranda sambil menatap hamparan sawah yang mulai menguning.
Angin sore berembus lembut, menggoyangkan rambutnya yang memutih. Laela keponakannya datang membawa kabar dari Makassar kalau Nisa, putri semata wayangnya, sedang dirawat di rumah sakit dan ternyata hamil kembar tiga laki-laki. Kebetulan hpnya pak Daud rusak terkena air hujan.
Pak Daud terdiam. Sejenak ia berhenti bernafas. Bibirnya bergetar. “Syukur alhamdulillahi rabbil ‘alamin…” lirihnya. Air matanya meleleh di pipi keriputnya. Tangannya yang kasar karena bertahun-tahun mencangkul sawah menutup wajahnya.
“Ya Allah…” suaranya pecah. “Anakku… Nisa… Engkau titipkan tiga anak laki-laki sekaligus…”
Ia menatap foto Nisa yang tergantung di ruang tamu wajah putri kecilnya yang dulu ia antar mengaji, kini akan menjadi ibu dari tiga bayi laki-laki.Pak Daud bangkit pelan, mengambil sajadahnya. Di atas lantai kayu, ia sujud lama, berulang-ulang membaca tasbih dan tahmid.
“Ya Allah… terima kasih atas nikmat yang tak terhingga ini. Sehatkanlah anakku, selamatkanlah cucu-cucuku dalam kandungannya. Jadikan mereka anak-anak yang sholeh, penyejuk mata bagi orang tuanya…” doanya lirih di sela isakan.
Sepupunya, Laela dan Amir yang ikut mendengar kabar itu, mendekat. Laela memegang bahu pamannya, “Pak, ini kabar baik sekali. Nisa butuh doa dan dukungan lta’.”
Pak Daud mengangguk dengan mata masih basah. “Iya, Nak. Sejak ibunya meninggal, Nisa selalu kuat. Saya sering khawatir dia sendirian di kota besar. Ternyata Allah jaga dia. Allah kirim orang-orang baik di sekitarnya…”
Ia berdiri, menatap langit senja yang mulai merah. “Saya harus segera ke Makassar. Anakku butuh saya. Meskipun saya cuma orang desa, saya mau ada di sampingnya, mengusap keningnya, mendoakan cucu-cucu saya sejak dalam kandungan,” ucapnya penuh tekad.
Amir tersenyum haru. “Insya Allah kita sama-sama ke Makassar, Pak. Kita sambut cucu-cucu kecil itu dengan doa.”
Pak Daud kembali menengadah, tangannya menutup wajah. Suaranya makin lirih, “Ya Allah, terimalah rasa syukur ini. Jangan biarkan kami lalai. Jadikan anak-anakku dan cucu-cucuku generasi yang Engkau ridhoi.”
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor