Aku pernah percaya bahwa cinta itu cukup.
Bahwa selama kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, ia akan tinggal. Bahwa kesetiaan akan dibalas dengan kesetiaan. Bahwa pengorbanan akan membuka jalan menuju kebahagiaan. Aku percaya, sampai kenyataan memaksaku membuka mata: tidak semua cinta menemukan jalannya, dan tidak semua istri benar-benar menjadi pilihan.
Namaku Nayla. Seorang istri di atas kertas. Di kehidupan nyata? Aku lebih sering merasa seperti tamu dalam rumahku sendiri. Aku memasak, mencuci, merapikan rumah, menyiapkan segala kebutuhan suamiku. Tapi tak sekalipun aku merasa dipandang sebagai seseorang yang ia banggakan. Tak pernah aku lihat binar di matanya ketika menatapku. Tidak seperti saat ia menatap layar ponselnya, tersenyum kecil, membalas pesan yang tak pernah kutahu isinya.
Aku dan Raka menikah karena keadaan. Aku menyukainya sejak lama, dan saat kami dipertemukan dalam sebuah kesempatan yang kelihatannya takdir, aku langsung mengiyakan tanpa banyak berpikir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yullia Widi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Langkah yang Tak Lagi Menoleh
Langit sore itu berwarna jingga, seperti mengirimkan pesan lembut kepada hati Nayla yang masih belajar sembuh. Ia duduk di teras rumah kontrakannya yang kecil namun tenang. Tak ada lagi suara perdebatan, tak ada tatapan sinis dari Laras, dan tak ada lagi bayang-bayang Arvan yang menyakitkan. Hanya ada dirinya sendiri, dan suara hatinya yang perlahan belajar untuk tidak gemetar.
Sudah dua minggu sejak reuni SMA itu. Dua minggu sejak Nayla bertemu lagi dengan mereka, dua orang yang pernah mengobrak-abrik hidupnya tanpa merasa bersalah. Tapi justru pertemuan itu seperti titik balik bukan untuk balas dendam, bukan pula untuk menyalahkan. Hanya untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak lagi ingin kembali.
Dan di sinilah ia sekarang. Memulai dari nol.
“Bu Nayla, ini suratnya,” sapa seorang tetangga kecil yang menyodorkan amplop putih ke tangannya. Nayla tersenyum dan mengucap terima kasih.
Amplop itu berisi surat penerimaan kerja. Lamaran yang ia kirimkan ke sebuah LSM pemberdayaan perempuan akhirnya diterima. Ada haru yang tak bisa ditahan. Ini bukan sekadar pekerjaan, ini adalah bentuk nyata dari keberanian yang ia perjuangkan sendiri tanpa bayangan Arvan, tanpa bayang-bayang status sebagai ‘mantan istri yang ditinggalkan’.
Di lain sisi kota, Arvan menatap layar laptopnya yang kosong. Ia mencoba fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya selalu kembali ke wajah Nayla di malam reuni itu. Wajah yang tidak lagi penuh luka, tapi justru menunjukkan kedamaian yang tidak ia temukan di rumahnya sekarang.
“Mas,” suara Laras membuyarkan lamunannya. “Nanti malam kita ke rumah Mama, ya?”
Arvan mengangguk malas. Ia sudah tahu ke mana arah pembicaraan itu. Laras pasti ingin pamer lagi di depan mertuanya, bahwa ia adalah istri yang lebih layak. Tapi Arvan sudah tidak peduli. Rumah bukan lagi tempat pulang yang ia rindukan, melainkan tempat yang membuatnya merasa... hampa.
Di perjalanannya pulang dari kantor malam itu, Arvan tanpa sadar memutar mobilnya ke arah taman dekat rumah kontrakan Nayla. Taman itu dulu sering mereka datangi saat baru menikah. Di sana, Nayla pernah membacakan surat-surat kecil yang ia tulis diam-diam puisi, harapan, dan doa-doa tentang rumah tangga yang ingin ia jaga.
Arvan berdiri mematung di depan bangku taman. Bangku yang kini kosong. Sama seperti hatinya.
Hari-hari Nayla terasa lebih sibuk sejak mulai bekerja. Ia bertemu dengan banyak perempuan yang pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga, yang diselingkuhi, yang ditinggalkan, yang dikucilkan. Dan ia merasa... ia tidak sendiri.
Ada seorang rekan kerja bernama Fadly. Seorang konselor muda yang hangat dan penuh empati. Nayla belum terbiasa dengan kebaikan yang datang tanpa maksud tersembunyi, tapi Fadly tidak memaksa. Ia hanya hadir, seperti pagi yang tidak pernah menuntut malam untuk menjelaskan kegelapannya.
“Kalau Ibu Nayla bisa bertahan sejauh ini, itu luar biasa. Saya tahu luka tidak mudah hilang, tapi setidaknya Ibu bisa memilih untuk tidak tinggal di sana selamanya,” kata Fadly suatu sore, ketika mereka sama-sama pulang terlambat.
Nayla terdiam. Kata-kata itu terasa seperti pelukan untuk batin yang nyaris lelah. Ia tersenyum tipis.
“Terima kasih, Pak Fadly. Tapi saya belum sehebat itu. Saya masih belajar.”
Fadly menatapnya lembut. “Orang yang mengaku masih belajar, biasanya justru yang paling kuat.”
Di tempat berbeda, Laras kembali melancarkan tekanan.
“Mas, Nayla itu sudah kerja, tahu nggak? Dia kerja di LSM, dan dekat sama laki-laki! Kamu senang lihat mantanmu jalan-jalan bawa pria lain, hah?!”
Arvan menatap Laras dingin. “Dia bebas melakukan apapun. Kita yang memutuskan berpisah, dan kamu yang memaksakan pernikahan ini.”
Laras terdiam, tapi amarahnya meluap-luap. Ia tidak suka melihat Arvan berubah tenang ketika membicarakan Nayla. Ia tahu, dalam diam Arvan, ada ruang yang belum ia miliki ruang yang masih menyimpan nama perempuan itu.
Malam itu, Nayla duduk sendiri di balkon kecil rumahnya. Ia menatap langit dan mengucap pelan,
“Terima kasih, ya Allah... untuk segala kehilangan yang ternyata menjadi pintu penyembuhan.”
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.
“Maaf ganggu malam-malam. Aku hanya ingin tahu... kamu baik-baik saja, Nay?”
Itu pesan dari Arvan.
Nayla menatapnya lama. Lalu ia mematikan ponsel tanpa membalas. Ia tahu, beberapa luka tidak perlu dibuka lagi hanya untuk tahu apakah masih sakit atau tidak.