Istrimu, Tapi Tak Pernah Jadi Pilihanmu
Aku duduk di sisi ranjang yang dingin, memeluk lutut, dan menatap pintu kamar yang tertutup rapat. Tak ada jejak langkah. Tak ada suara napas yang menandakan ia pulang. Dan seperti malam-malam sebelumnya, aku bertanya dalam hati: Apakah aku benar-benar tinggal serumah dengan seorang suami, atau hanya menumpang hidup bersama orang asing?
Namaku Nayla Amara. Usia 25 tahun. Sudah tiga tahun menikah dengan Arvan Mahendra, pria yang sejak awal tak pernah mencintaiku. Pernikahan kami bukan karena cinta, tapi karena restu keluarga tepatnya, karena wasiat almarhum ayah Arvan.
Aku ingat jelas detik-detik menjelang akad. Tanganku dingin, lutut gemetar, dan jantungku berdetak kacau. Tapi bukan karena bahagia. Karena aku sadar, lelaki yang akan menjadi suamiku bukan pria yang menginginkanku dalam hidupnya.
“Aku menikah karena Papa. Bukan karena aku menginginkanmu.” Itu kalimat pertama yang ia ucapkan setelah tamu terakhir meninggalkan pesta.
Sejak hari itu, aku tahu tempatku. Bukan di hatinya. Mungkin juga bukan dalam hidupnya. Tapi hanya sebagai nama dalam kartu keluarga. Sebagai pelengkap dalam narasi hidup yang tak ia kehendaki.
Pagi ini pun tak ada yang berbeda. Aku bangun lebih dulu, seperti biasa. Menyiapkan sarapan, menyetrika kemeja kerjanya, dan menyusun berkas yang ia butuhkan di meja. Semua kulakukan tanpa suara, karena sudah tahu: keberadaanku tak pernah diminta, jadi aku belajar untuk tidak merepotkan.
Tapi tetap saja, ia selalu pulang tanpa senyum dan berangkat tanpa pamit.
Sarapan yang kubuat masih utuh. Telur dadar kesukaannya dingin tak tersentuh. Kopi hitamnya bahkan tak disentuh. Dan itu membuatku bertanya-tanya: Masih pentingkah aku di rumah ini?
Hari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ketiga. Tak ada bunga. Tak ada pesan. Bahkan tak ada kehadiran. Arvan pergi sejak fajar, seperti biasa.
Kupandangi meja makan yang sepi. Kupaksakan senyum yang tidak sampai ke mata. Tak ada yang peduli, dan aku pun berhenti berharap.
Malam menjelang. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan. Arvan belum pulang. Aku tak meneleponnya, karena sudah tahu jawabannya: “Jangan ganggu. Aku sibuk.”
Akhirnya aku tertidur di sofa, masih mengenakan daster dan selimut tipis.
Aku terbangun oleh suara pintu depan dibuka. Arvan masuk dengan langkah berat. Aku berpura-pura tidur, hanya agar tak harus menatap wajahnya yang dingin. Tapi telingaku tak bisa bohong. Aku dengar deru napasnya. Lelah, tapi tak pernah hangat.
Dia melewati ruang tamu tanpa kata. Hanya suara kakinya yang menyentuh lantai. Lalu pintu kamar tertutup. Dunia kami tetap seperti biasanya: sunyi dan tak saling menyapa.
Kadang aku bertanya-tanya, apakah semua pernikahan seperti ini?
Aku tahu jawabannya: tidak.
Banyak pasangan saling menyayangi, tertawa bersama, bahkan menangis bersama. Sementara kami? Kami seperti dua orang asing yang tinggal di rumah yang sama tapi hidup di semesta berbeda.
Aku mencoba bertahan. Tapi pelan-pelan, diriku seperti menghilang. Aku tidak tahu siapa diriku lagi. Aku bukan Nayla yang ceria seperti dulu. Aku bukan Nayla yang punya mimpi dan semangat. Aku hanya... perempuan yang menunggu cinta dari suaminya, dan terus kecewa.
“Nayla... sampai kapan kamu akan begini?”
Pertanyaan itu berputar di kepalaku seperti kaset rusak. Tapi jawabannya selalu sama: Aku tak tahu.
Yang aku tahu, setiap kali aku hendak pergi, bayangan ibuku yang tersenyum bahagia saat pernikahan kami menghantuiku. Dan aku kembali diam. Bertahan. Dalam pernikahan yang tidak pernah menjadi pilihanku dan jelas-jelas bukan pilihannya juga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
mr.browniie
Menggetarkan
2025-07-20
1