NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Tuan Davison

Istri Rahasia Tuan Davison

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Aliansi Pernikahan / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Rembulan Pagi

Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.

Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.

Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5. Sheina Dan Davison, Teman Aja Dulu

Sheina tampak sedikit ragu ketika Davison menurunkan kaca jendela mobilnya dan mengajaknya masuk.

“Ayo bareng,” ucap pria itu santai dari balik kemudi.

Sheina langsung menggeleng. “Maaf, Pak. Saya naik ojek online aja.”

“Ada sesuatu yang harus saya bicarakan.”

Ia menghela napas pelan. “Kan udah saya bilang semalam, Pak. Kalau ada masalah di rumah, saya nggak gubris lagi.”

“Bukan masalah rumah. Ini penting.”

Sheina terdiam, mempertimbangkan. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya membuka pintu mobil dan masuk ke dalam.

“Tujuanmu ke mana?” tanya Davison sembari membuka aplikasi peta di ponselnya.

“TK Cemara,” jawab Sheina tanpa menoleh.

“Kamu guru TK?”

Sheina mengangguk pelan, malas menanggapi lebih jauh. Ia masih menanti maksud sebenarnya dari ajakan pria itu.

Tak lama kemudian, Sheina membuka suara. “Pak, tadi katanya mau ngomong sesuatu?”

Davison mengangguk kecil. “Saya minta nomor kamu. Buat jaga-jaga, kalau nenek saya ngomong hal aneh-aneh ke kamu.”

Ia menyodorkan ponselnya. Sheina menerimanya dan mulai mengetik. Ia memasukkan nomornya di ponsel Davison, dan begitu pula sebaliknya.

“Udah, Pak.”

“Terima kasih, Sheina,” ujar Davison.

Sheina menoleh sekilas, lalu bertanya iseng, “Bapak kenapa belum mau nikah? Maksud saya, ngenalin pacar ke nenek Bapak? Bapak ganteng, mapan, pasti banyak cewek yang suka.”

Davison terkekeh pelan. “Saya rasa saya nggak cocok sama mereka. Dan saya belum siap untuk mulai hubungan baru. Masih ada hal yang belum selesai dari diri saya, bisa dibilang begitu.”

Sheina hanya mengangguk pelan. Ia bisa memahami posisi Davison meski tidak mengenalnya terlalu dalam.

Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan TK. Sheina turun, lalu Davison menurunkan kaca jendela lagi.

“Hati-hati,” katanya singkat.

Sheina tersenyum tipis. “Makasih, Pak.”

Baru beberapa langkah masuk ke halaman sekolah, salah satu wali murid menghampirinya.

“Ibu guru, itu pacarnya, ya? Ganteng banget,” ucapnya sambil tersenyum menggoda.

“Iya, pinter deh Bu Sheina nyari pacar. Ganteng, mapan, cocok banget,” sahut ibu yang lain menimpali.

Sheina tertawa garing. “Haha bukan pacar saya Bu. Itu cuma teman saya, Bu.”

Meski bibirnya tersenyum, dalam hati Sheina bergumam, Pacar? Aku nggak akan pacaran sama orang kayak gitu.

Sheina melangkah masuk ke ruang kelas, disambut dengan keriuhan tawa anak-anak yang sudah menunggunya. Beberapa dari mereka segera menghampiri, menarik-narik bajunya atau menggenggam tangannya erat.

Ia tersenyum, mengelus kepala mereka satu per satu. "Yuk, hari ini kita gambar keluarga, ya."

Tak lama kemudian, kelas dipenuhi warna-warna cerah dari crayon dan kertas gambar. Suara anak-anak mulai mereda, tenggelam dalam kesibukan mereka masing-masing.

Sheina duduk di kursinya, memperhatikan satu per satu wajah mungil itu dengan pandangan yang perlahan melayang.

"Saya belum selesai sama diri saya sendiri."

Kalimat itu kembali melintas dalam pikirannya.

Ia bisa memahami maksud Davison. Bahkan, tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut, ia tahu seperti apa rasanya. Ia sendiri belum selesai dengan masa lalu yang masih menggantung dan diam-diam menyakitkan. Namun Sheina tidak pernah mengakui itu, bahkan pada dirinya sendiri.

Ada sesuatu dalam keberanian Davison mengucapkan kalimat itu. Sederhana, tapi jujur. Dan entah mengapa, Sheina merasa sedikit kagum.

Siang hari, usai kegiatan mengajar, Sheina berjalan pulang. Namun baru beberapa langkah memasuki gang rumahnya, ia dibuat tertegun.

Rumah di seberang, rumah milik Davison ramai dengan aktivitas. Beberapa tukang tampak mengecat pagar, ada pula yang sedang memangkas rumput. Suara bor terdengar dari dalam rumah, menggetarkan udara.

Sheina hanya mendesah pelan, membuka gerbang rumahnya, dan masuk begitu saja.

Di dapur, ibunya sedang memasak. Aroma bumbu yang ditumis menguar lembut, menyambut kehadirannya.

“Sheina, kamu tau nggak, ternyata orang yang pindah di rumah depan bujangan,” ujar ibunya sambil tetap mengaduk masakan. “Nggak ada keluarga yang tinggal bareng dia. Pas ibu liat, ganteng banget, lho. Ada wajah-wajah bule sedikit. Ibu tanya, katanya dari kakek buyutnya, orang Belanda.”

Sheina mengangguk sambil bergumam kecil, “Oh.”

Dalam hati ia membenarkan. Ada sesuatu dari raut wajah Davison yang memang berbeda, dan kini masuk akal.

Ia tidak menanggapi lebih jauh, lalu naik ke atas untuk mengganti pakaian. Seusai itu, ia berjalan ke balkon. Dari sana, ia melihat rumah seberang.

Mobil Davison terparkir rapi di dalam halaman. Pria itu sedang berbicara dengan salah satu tukang, terlihat serius, sesekali mengangguk sambil menunjukkan sesuatu dengan tangan.

Sheina menatapnya diam-diam.

Dalam kondisi seperti itu, tanpa ketegangan, tanpa suasana canggung, wajahnya terlihat berbeda. Lebih santai, lebih menarik.

“Lihat, kalau dia normal kayak gini, kelihatan ganteng banget,” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar.

Tiba-tiba, suara dering dari ponsel memecah lamunan Sheina. Ia menoleh cepat, meraih ponsel yang tergeletak di atas meja. Layar menampilkan nama yang membuat napasnya tertahan, Nenek Davison.

Detik berikutnya, ia langsung beranjak, menuruni tangga dengan langkah terburu-buru, ponsel masih dalam keadaan berdering di genggamannya. Ibunya sempat menoleh heran, tapi tidak sempat bertanya. Sheina sudah lebih dulu membuka pintu dan berlari menuju halaman rumah seberang.

Napasnya memburu ketika ia sampai. Davison yang masih berbicara dengan tukang, segera menghentikan pembicaraannya dan menatap Sheina dengan dahi berkerut.

"Kenapa?" tanyanya cepat.

Sheina menunjuk layar ponselnya yang masih menyala. “Nenek Bapak nelpon.”

Davison segera menerima panggilan itu, lalu mengaktifkan speaker agar mereka berdua bisa mendengarnya.

"Halo Sheina?" terdengar suara perempuan tua di seberang sana, agak serak namun hangat. "Kalian di mana?"

"Di rumah, Nek," jawab Sheina cepat. "Rumah kami sedang direnovasi."

"Oh begitu, artinya kamu sibuk ya?"

Davison menyeletuk, santai, “Iya, istriku sibuk, Nek. Jangan ganggu.”

Sheina membelalakkan mata, sementara suara dari seberang telpon naik satu oktaf.

"Aku cuma mau melihat Sheina! Mengajaknya ke rumah ini!"

Tanpa berkata apa pun, Davison menekan tombol dan mematikan panggilan itu begitu saja.

Sheina menatapnya, tercengang. "Kenapa kasar sekali?"

"Itu nggak kasar," balas Davison tenang. "Kami memang biasa mematikan telpon kalau pembicaraannya udah nggak penting. Lagi pula nenek akan terus-terusan menghantui kamu kalau dibiarkan."

Sheina mengangguk pelan. Ia mengalihkan pandangan ke rumah yang sedang direnovasi.

"Warna catnya bagus," komentarnya pelan. "Abu-abu dan putih. Perpaduan kayak warna ‘taruh’. Tukangnya hebat juga."

Davison tertawa kecil. "Dulu saya kuliah arsitektur di luar negeri. Jadi ya saya cukup tahu warna yang cocok. Dan saya tahu soal rumah ini. Jadi saya nggak mau ditunjukin soal rumahnya, saya mau lihat sendiri. Makanya kamu nggak perlu bohong."

Sheina menoleh pelan. “Saya nggak akan berbohong,” gumamnya. “Membohongi orang lain itu nyakitin. Orang yang dibohongi bakalan ngerasain sakit luar biasa. Dan selama hidupnya, dia bakalan terus bertanya-tanya ‘kenapa aku dibohongi?’ ‘Apa aku memang pantas buat dibohongin?’ semacam itu.”

"Tapi kita membohongi nenek saya."

"Itu ide gila Bapak. Lagian nenek Bapak juga sakit."

Davison diam sejenak, menatap Sheina tanpa berkedip. Lalu perlahan, ia tersenyum.

Sheina melihat senyum itu. Untuk alasan yang tidak ia pahami, ia ikut tersenyum.

1
LISA
Menarik juga nih ceritanya
LISA
Aneh tp ntar kmu suka sama Sheina Dev🤭😊
LISA
Aku mampir Kak
Rian Moontero
lanjuutt thor,,smangaaat💪💪🤩🤸🤸
Rembulan Pagi: terima kasih kakk
total 1 replies
Umi Badriah
mampir thor
Rembulan Pagi
Bagi yang suka romance santai, silakan mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!