NovelToon NovelToon
Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Perjodohan Berdarah Menantu Misterius

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Mafia / Percintaan Konglomerat / Identitas Tersembunyi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Portgasdhaaa

Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Upaya Penculikan

Sementara semua orang sibuk dalam peperangan bisnis, sebuah ancaman mengintai di sebuah lorong rumah sakit tanpa mereka sadari.

Dini hari...Hujan semakin deras.

Langkah-langkah berat menyusuri lorong belakang rumah sakit, pelan tapi pasti.

Empat pria berpakaian gelap menyusup masuk lewat pintu darurat lantai dua. Tak ada suara maupun komunikasi. Hanya isyarat tangan dan sorot mata yang dingin.

Air hujan yang menetes dari jas mereka membuat lantai rumah sakit licin. Bau disinfektan yang menyengat bercampur dengan aroma tanah basah dari sepatu mereka yang lembap. Di kejauhan, terdengar suara roda ranjang berderit samar–entah petugas, entah pasien–tapi keempat orang itu tetap melangkah cepat. Waktu mereka terbatas. Semakin lama mereka di dalam, semakin besar pula resiko kegagalannya.

Mereka bukan preman pasar, tapi juga bukan tentara bayaran elit. Gerakan mereka cepat, tapi kasar. Seperti binatang berburu yang hanya mengandalkan insting.

“Target di kamar 207,” bisik pria berkepala plontos yang tampak paling senior. “Dua orang ke ruang kontrol. Dua sisanya ikut aku. Kita harus melakukannya dengan cepat.”

Ketiga orang lainnya mengangguk dan mereka pun mulai berpencar.

Salah satu dari mereka sempat menyalakan pemindai kecil di pergelangan tangan, memantau jalur patroli dan rotasi shift. Sepertinya semua terlihat aman. Tak ada penjaga malam, tak ada petugas keamanan di titik ini. Lorong ini gelap, dan sangat sepi.

Di tangga darurat, dua orang yang bertugas ke ruang kontrol berhenti sejenak.

“Sudut ini mati,” bisik salah satunya sambil menyemprotkan cairan pembeku ke kamera CCTV, menciptakan kabut beku di lensa.

Langkah mereka semakin ringan saat menyusuri lorong belakang.

Mereka nyaris berhasil.

Tak ada satu pun tanda bahwa malam ini akan gagal.

Tak ada suara.

Tak ada firasat.

Sampai…

Mereka sadar…

Lorong itu terlalu sunyi.

Terlalu sunyi… bahkan untuk malam sepetang ini.

_____

Di lorong menuju ruang CCTV, dua pria bergerak cepat. Salah satunya menyalakan senter kecil.

“Eh? Kenapa lampunya mati?” gumamnya.

Tapi tidak terdengar jawaban dari rekannya. Hanya sunyi, dan suara hujan yang menetes dari atap.

Ia pun menoleh, namun, sebelum matanya sempat bereaksi, pria di depannya tiba-tiba menghilang begitu saja. Seolah ditelan oleh kegelapan.

“Eh? Bro?”

Rasa panik perlahan merayap di tubuhnya. Bahkan tanpa ia sadari, kakinya telah melangkah ke belakang.

Pelan dan gemetar.

Hanya suara embusan napas yang terlalu dekat.

Sampai...sesuatu menghantam tengkuknya dari belakang.

____

Di sisi lain gedung, dua pria lainnya telah berhasil mendekati kamar 207. Pintu terbuka sedikit, cukup untuk mengintip ke dalam. Lampu ruang rawat menyala redup. Seorang pasien perempuan tengah tertidur pulas di dalamnya.

“Kamu...Jaga belakang.” Ucap salah seorang dari mereka sembari mengeluarkan sebuah pisau yang berkilat singkat.

Saat tangannya baru menyentuh gagang pintu, kesadarannya perlahan menangkap kejanggalan. Suasana yang terlalu sunyi, udara yang terlalu dingin, dan aroma logam samar.

Ia menoleh ke belakang. Tak menemukan apa pun di antara mereka.

“Eh, kamu mera...?”

Suaranya tak pernah selesai. Kabel nilon menjerat dari atas, menahan lehernya ke dinding. Kakinya mengayun sesaat sebelum tubuhnya dihempaskan ke lantai.

Pria yang yang menyaksikan kejadian itu mencoba kabur dengan panik. Tapi langkahnya goyah. Dari balik lorong, dua sosok hitam muncul—membentuk bayangan panjang yang perlahan menutup jalannya. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, sebelum, tendangan menghantam ulu hatinya.

Seketika gelap.

_____

Di sebuah gudang terbengkalai, jauh dari hirup pikuk kota. Bau karat, debu, dan tanah basah menyatu dalam udara yang pengap. Lampu kuning temaram menggantung rendah, bergoyang pelan setiap kali angin menyusup dari celah jendela pecah.

Arka duduk bersandar santai di kursi kayu.

Satu kakinya diangkat dan bertumpu di atas lutut kaki satunya. Kedua tangannya menyatu, jari-jari saling mengunci di atas lutut yang terangkat.

Di hadapannya, empat pria berpakaian gelap, terikat dan bersimpuh di lantai. Napas mereka terdengar berat. Beberapa menunduk dalam upaya menahan rasa sakit. Sisanya mencoba menatap Arka, tapi hanya bisa bertahan beberapa detik sebelum mengalihkan pandangan. Sorot mata itu terlalu berat untuk ditahan.

Hujan masih terdengar di luar. Tapi di sini... tekanan jauh lebih mencekam.

Salah satu dari mereka memberanikan diri bicara.

“Si-siapapun kau… ma-maaf… Sungguh... kami hanya disuruh…”

Arka sedikit memiringkan kepala, lalu menjawab pelan, nyaris seperti menggumam.

“Lalu?”

Suaranya terlalu dingin.

Arka menatap kuku jarinya sejenak, lalu mendesah pelan. Seolah tak tertarik dengan permohonan mereka. Lalu matanya menatap kembali memancarkan aura dingin dan mematikan.

Napas keempat orang itu tercekat.

Bahu mereka gemetar, wajah tertunduk. Namun, tak cukup menumbuhkan simpati di mata Arka.

Ia tidak bergeming.

Tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun terhadap permohonan mereka. Mereka bicara panjang lebar, memohon, mengaku, menyebutkan nama-nama yang mereka kira bisa menyelamatkan nyawa mereka.

Tapi Arka... tetap diam.

Sorot matanya datar. Jari-jarinya hanya bergerak pelan, membentuk jembatan di antara lututnya yang terangkat. Ia tidak sedang mendengarkan. Bagaimana pun dia sudah tahu semuanya.

Nama mereka, rute pelarian, bahkan riwayat pekerjaan kotor yang mereka anggap rahasia.

Semua... sudah ia kantongi jauh sebelum mereka masuk lorong rumah sakit itu.

Dan ketika salah satu dari mereka akhirnya bersujud, berteriak,

“Tolong… kami bisa bantu! Kami bisa kasih info! Kami Cuma disuruh!”—

Arka hanya menghela napas pendek.

Ia berdiri. Tenang. Tak tergesa.

Langkahnya mendekat seperti bayangan.

Hujan di luar makin deras, tapi di dalam gudang ini, tak ada suara yang lebih keras dari detak jantung keempat orang itu.

Arka berhenti tepat di depan mereka. Matanya menatap ke bawah sejenak. Lalu, ia berbicara.

“Kalian adalah orang-orang yang terbiasa bekerja dengan nyawa orang lain…”

Suaranya rendah. Tapi cukup untuk membuat semua orang membeku.

“Seharusnya kalianlah yang paling siap… ketika nyawa kalian diambil orang lain.”

Nadanya tidak mengandung kemarahan. Tidak juga emosi. Itu hanyalah vonis mutlak.

Dan saat kalimat itu selesai, suara langkah pelan muncul dari belakang. Bayangan-bayangan hitam mulai masuk ke gudang. Beberapa mengenakan penutup wajah, beberapa membawa tas dan peralatan yang tidak ingin diketahui isi pastinya.

Arka menatap mereka sebentar. Lalu berkata.

“Jangan bunuh mereka. Kirimkan saja setiap satu tangan mereka ke keluarga Lim.”

Salah satu dari bayangan itu mengangguk.

Empat pria yang tadi mencoba berbicara... sekarang hanya bisa menangis dalam diam. Mereka sadar—apa pun yang akan terjadi, tak ada jalan keluar lagi.

Atau setidaknya mereka harus bersyukur hanya dengan satu tangan.

Arka melangkah pelan ke sisi ruangan. Meninggalkan keempat orang itu dalam ketakutan.

Langkahnya teratur, dan sekali lagi tidak ada emosi. Itu hanyalah langkah kepastian.

Arka meraih sesuatu dari saku dalam jasnya, ia mengeluarkan sebuah ponsel hitam.

Tidak terlalu canggih, tapi sangat aman. Benda yang tak pernah dipakai kecuali untuk sebuah kepentingan.

“Mereka sudah berhasil bertahan sejauh ini...Keluarga Wijaya sudah berjuang dengan baik.” Ada senyum kecil di wajahnya.

“Yah...itu cukup.”

“Sekarang saatnya keluarga Lim menuai apa yang mereka tanam”

Jarinya menekan satu nama di layar.

Tak perlu menunggu lama. Panggilan itu langsung tersambung. Suara di ujung sana tidak begitu jelas, tapi Arka tidak memberi ruang untuk salam.

Ia hanya berkata—datar dan dingin.

“Aurelius.”

“Hancurkan keluarga Lim.”

_________

Makasih banget udah baca sampai sini.

Perjalanan Arka dan Laras belum selesai. Kalau kamu suka ceritanya, bantu support lewat komentar, like, atau share ke temanmu ya.

Dukungan kalian layaknya bahan bakar Author buat terus nulis sampai akhir 🖤

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!