Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Tangan Marvel masih mencengkram keras pergelangan Maura saat ia diseret keluar rumah. Wanita itu berusaha meronta, tapi tenaga Marvel jauh lebih kuat. Suara bantingan pintu mobil terdengar keras ketika Marvel mendorongnya masuk ke kursi penumpang.
“Lepaskan aku! Kamu gila! Marvel, kamu mau membawaku ke mana!” Maura menendang pintu, tangannya menghantam dashboard, tetapi tak ada gunanya. Marvel menyalakan mesin, wajahnya tanpa ekspresi, kecuali rahang yang terkatup erat.
Mobil melesat meninggalkan halaman.
“Diam!” desis Marvel dengan suara rendah, penuh peringatan.
“Aku tidak mau ikut! Kamu pikir aku boneka yang bisa kamu seret seenaknya?!” Maura masih mencoba melawan, tubuhnya condong ke arah pintu seolah ingin kabur.
Sekejap, Marvel menoleh, sorot matanya berkilat. “Satu kata lagi, Maura, saya bisa membuatmu menyesal sepanjang hidupmu.”
Ancaman itu berhasil membuat mulut Maura terkatup rapat, napasnya memburu dan tangannya terkepal di pangkuan.
Tidak lama kemudian Mobil berhenti di sebuah vila yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Neni. Tanpa memberi kesempatan Maura untuk lari, Marvel menyeretnya masuk.
“Marvel, hentikan! Jangan lakukan ini—”
Maura berhenti meronta saat punggungnya membentur dinding kamar. Nafasnya tercekat saat tubuh tinggi itu menekan maju, mendesaknya tanpa celah. Tangan Marvel mengunci pergelangan tangannya di atas kepala, membuatnya tidak berdaya.
“Kenapa kamu selalu mencoba menguji batas kesabaranku, hah?” desisnya, menggelegak hampir gila. Bibirnya menyambar kasar, mencuri ciuman penuh paksaan.
Maura meringis, tubuhnya menegang dan berusaha memalingkan wajah. “Lepaskan!”
Marvel tidak menggubris. Jemarinya menelusuri sisi wajahnya, lalu turun ke lehernya dengan cengkeraman yang membuat Maura sulit bernapas. “Sudah berkali-kali kuperingatkan untuk tidak bermain-main, tapi kamu justru menantangku.”
“Marvel, tolong—” Suara Maura tercekat.
Pria itu menunduk lebih dekat, menekan tubuh Maura semakin keras ke dinding. Hawa panas napasnya membakar kulit wajah wanita itu. “Hari ini, kamu akan belajar bahwa setiap kata yang keluar dari mulutmu ada harganya.”
Dengan kasar ia melepaskan kancing baju Maura, membuatnya terperanjat. Maura meronta, menendang, menggeleng kuat, tetapi Marvel tidak bergeming. Semakin ia melawan, semakin kerasMarvel menekannya.
Suasana semakin panas. Maura hampir putus asa ketika—
Drrt! Drrt!
Suara getar ponsel memecah atmosfer. Marvel berhenti seketika. Tangannya masih mencengkeram bahu Maura, dadanya naik-turun cepat, tatapannya melirik ke saku celananya. Kemudian iaeraihnya d gan kasar. Nama yang terpampang di layar membuat rahangnya mengetat.
Jesica.
Ponselnya kembali bergetar, mendesak nyaring. Dengan geram, Marvel melepaskan Maura dan meraih ponselnya. “Apa?” bentaknya.
Di seberang sana terdengar suara isakan. “Marvel, aku—aku tidak tahu harus bagaimana …..” Suara Jesica bergetar. Wanita itu menangis.
Marvel menahan napas panjang, jemarinya mencengkeram ponsel begitu erat seolah bisa meremukkan benda itu. Suara tangis Jesica terdengar semakin keras di seberang. “Jesica, berhenti menangis dan bicara yang jelas,” desisnya kesal. “Apa yang sebenarnya terjadi di sana?”
Namun, bukannya menjawab, Marvel malah mendengar suara gaduh terdengar samar di belakang Jesica. Ada suara bentakan seorang pria, lalu teriakan Jesica yang tertahan.
“Marvel! Tolong aku!” Jesica menjerit panik.
Marvel terdiam sejenak, tubuhnya tegang. Ia bisa mendengar suara barang pecah, lalu langkah tergesa-gesa di sekitar Jesica.
“Brengsek!” gumamnya, matanya menyipit penuh amarah. “Siapa itu, Jesica?! Siapa yang berani menyentuhmu?!”
Jesica semakin terisak, suaranya pecah-pecah. “A-aku tidak tahu harus bagaimana, Marvel, aku hamil.”
Ruangan itu seketika membeku.
Marvel tertegun. Napasnya seakan berhenti di tenggorokan, matanya membelalak tak percaya. Kata-kata Jesica bergema di kepalanya, membuatnya kehilangan kendali sepersekian detik.
“Kamu … apa?” tanyanya dengan nada rendah, nyaris berbisik
Jesica menangis lebih keras. “Aku mengandung anakmu, Marvel.”
Ponsel di tangan Marvel nyaris terlempar ke sembarang arah. Namun, ia menahannya dan justru mengeluarkan tawa cukup keras. Maura yang masih berada di dekatnya pun dibuat merinding ketakutan.
Marvel kembali mengangkat ponselnya ke telinga. “Gugurkan saja,” ucapnya dengan nada lembut, tetapi wajahnya terlihat kaku dan tegang. “Kamu bisa melahirkannya kalau kamu yakin itu bukan anakku. Dengar, aku sudah memperingatkanmu ribuan kali agar semua ini tidak terjadi. Kalaupun terjadi, itu salahmu dan kamu harus bertanggung jawab. Gugurkan dia!”
Tanpa menunggu reaksi Jesica, ia mematikan panggilan sepihak. Ia berbalik, tatapannya langsung tertuju pada Maura. Sedangkan Maura yang sedari tadi diam tidak berkutik menelan ludah, ia bisa merasakan hawa panas dari tubuh Marvel.
“Marvel…” suara Maura pelan, ragu-ragu. “Apa yang terjadi?”
“Tutup mulutmu!” hardiknya sembari berjalan mendekat, amarahnya semakin berkobar setelah melihat wajah wanita itu. “Kamu puas? Jesica mengaku hamil anakku.”
Maura belum sempat membalas ketika tubuhnya sudah kembali dihantamkan ke dinding. Sorot mata tajam pria itu membuat tubuhnya bergetar takut.
“Bukankah itu lucu, kalian seperti ingin menghancurkanku dengan cara yang berbeda.” Marvel menatap Maura dalam-dalam, tatapannya gelap campuran marah dan putus asa. Wajahnya begitu dekat hingga Maura bisa merasakan embusan napas beratnya.
“Kamu tahu kenapa aku marah padamu?” tanyanya lagi dengan nada rendah dan pelan. “Karena saya tidak bisa melepaskanmu, Maura. Seharusnya saya bisa, tapi setiap kali mencoba menjauh, kamu selalu membuat ulah, selalu menarikku kembali ke titik ini.”
Maura tertegun, matanya bergetar. “Itu bukan salahku, Marvel,” lirihnya
“Tutup mulutmu!” Marvel mencengkeram rahangnya lebih keras. “Kamu pikir aku butuh pengingat tentang masa lalu? Tentang ibuku, ayahku? Tidak! Tapi kamu terus saja menyeretku, terus saja membuka luka yang seharusnya terkubur. Apa dengan cara ini kamu balas dendam, huh? Kamu ingin membuatku gila?”
“Kamu memang gila, Marvel, kamu gila!”
Detik kemudian Maura menjerit karena Marvel membanting tubuhnya ke sofa, menindihnya tanpa memberi ruang. Napasnya memburu, mata tajamnya tak lepas dari wajah cantiknya.
“Kamu pikir saya bisa membencimu? Saya sudah mencoba. Tapi justru karena saya tidak bisa melepaskanmu, saya ingin menghancurkanmu. Kalau saya tersiksa, maka kamu pun harus ikut tersiksa.”
maaf kak, ini hanya saran dariku, tapi penyusunan kalimat kakak sdh sangat bagus, hanya muter2 ya itu saja
terimakasih kakak 😍