NovelToon NovelToon
Jawara Dua Wajah

Jawara Dua Wajah

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Identitas Tersembunyi / Pemain Terhebat / Gangster / Idola sekolah
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Aanirji R.

Bima Pratama bukan sekadar anak SMK biasa.
Di sekolah, namanya jadi legenda. Satu lawan banyak? Gaspol. Tawuran antar sekolah? Dia yang mimpin. Udah banyak sekolah di wilayahnya yang “jatuh” di tangannya. Semua orang kenal dia sebagai Jawara.

Tapi di rumah… dia bukan siapa-siapa. Buat orang tuanya, Bima cuma anak cowok yang masih suka disuruh ke warung, dan buat adiknya, Nayla, dia cuma kakak yang kadang ngeselin. Gak ada yang tahu sisi gelapnya di jalan.

Hidup Bima berjalan di dua dunia: keras dan penuh darah di luar, hangat dan penuh tawa di dalam rumah.
Sampai akhirnya, dua dunia itu mulai saling mendekat… dan rahasia yang selama ini ia simpan terancam terbongkar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aanirji R., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

War Kepaksa Bubar

Kerumunan udah buyar, kaki-kaki berhamburan ke segala arah begitu lampu biru polisi mulai mantul di dinding ruko. Suasana makin kacau, teriakan bercampur sama suara sirine yang makin dekat.

Di tengah hiruk pikuk itu, Bima masih ngamuk, darah netes dari mulutnya, tubuhnya goyah tapi sorot matanya masih liar. Raka langsung maju bantu Dodi nahan tubuhnya yang masih nyoba meronta.

“Bi! Sadar, anjing! Udah cukup!” Dodi bentak, tangannya nyekek bahu Bima.

Bima berusaha nepis, suaranya parau tapi keras, “Belum… selesai! Gua belum selesai sama dia!”

“Lu udah hampir remuk, Bi! Masuk lagi, lu cacat beneran ntar!” Raka ikutan teriak, suaranya jelas ketakutan. Tangan Raka nahan dada Bima biar gak nyelonong balik ke arena.

Tapi Bima masih maksa, badannya condong maju, “Lepasin gua, Rak! Lepasin! Jangan halangin gua!”

Dodi ngedorong keras, nadanya meledak, “Lu mau mati, hah?! Jangan bikin gua ikut nguburin lu gara-gara lu tolol!”

Bima ngedengus, napasnya berat, matanya merah kayak mau nyala. Dia masih liatin arah ke mana Bagas dibawa kabur sama anak-anak gengnya.

Sementara itu, Bagas juga sama-sama ngamuk. Dua orang gengnya nahan tangan, satu lagi narik badannya dari belakang. Bagas ngeronta kayak banteng liar, teriakannya kasar, “Lepasin gua! Jangan tahan gua! Gua belum jatuhin tuh bocah!”

“Gas! Udah, cukup! Polisi udah dateng!” salah satu temennya panik.

“Cukup pala lo! Gua abisin dia sekarang juga!” Bagas melotot, ngedengus marah, masih nyoba lepas.

Temennya yang lain maksa nahan, hampir jatuh karena tenaga Bagas. “Anjing, ini orang keras kepala banget!”

Suara sirine makin deket, lampu biru mulai nyapu ke arah mereka. Dodi teriak dari sisi lain, “Cepet cabut! Jangan sampe ada yang keangkut polisi!”

Akhirnya, dengan paksa, Raka dan Dodi nyeret Bima masuk ke lorong gelap, Bima masih maksa maju tapi akhirnya goyah, tenaganya melemah karena udah babak belur.

Sedangkan di sisi lain, Bagas bener-bener harus ditarik rame-rame sama gengnya ke arah berlawanan. Dia masih ngeludah darah ke tanah, matanya nggak lepas dari bayangan Bima di kejauhan.

Dan di detik terakhir, sebelum keduanya bener-bener dipisahin jauh, tatapan mereka masih ketemu. Singkat, tapi tajam. Seolah ada janji tak terucap di balik sorot mata mereka: ini belum selesai.

***

Bima akhirnya dijatuhin ke bangku panjang di belakang ruko tua, napasnya ngos-ngosan. Mukanya babak belur, pelipis sobek, darah udah ngebekas di dagu. Raka sama Dodi masih berdiri depan dia, kayak pagar, takut kalau tiba-tiba Bima nekat balik lagi nyari Bagas.

“Lu gila ya, Bi?” Raka ngomong dengan suara bergetar, setengah marah setengah panik. “Lu udah babak belur gini, masih aja maksa masuk! Mau gua bilangin ke nyokap lu, hah?”

Bima ngeludah darah, nyengir miring, tapi matanya masih tajem, “Lu kira gua takut cacat? Selama Bagas masih bisa berdiri, gua nggak bakal berhenti.”

“Anjing lu!” Dodi langsung nendang tiang besi di samping, suaranya nyaring. “Gua sama Raka nahanin lu tadi bukan buat gaya-gayaan, Bi. Lu bisa ancur beneran kalau terus maksa. Bagas itu udah gila, tenaganya kayak mesin. Lu nggak liat badan lu udah remuk gini?!”

Bima diam sebentar, napasnya berat, tapi masih ketawa dingin. “Justru itu. Kalau gua berhenti sekarang, berarti gua kalah.”

Raka langsung jongkok depan Bima, matanya serius, “Denger, Bi. Lu udah buktiin kalau lu nggak gampang jatuh. Tapi kalau lu paksain lagi, lu bukan nunjukin keberanian—lu nunjukin kebodohan. Lu mau hidup pake kursi roda?!”

Bima cuma nutup mata sebentar, masih nahan amarah yang mendidih di dalam dada. Genggaman tangannya keras, kuku jarinya putih.

Dodi nunduk, suaranya lebih rendah, “Dendam lu sama Bagas bisa lu simpen. Tapi jangan bikin diri lu cacat cuma buat ngebuktiin siapa yang lebih kuat.”

Suasana sempet hening. Hanya suara sirine yang menjauh jadi latar.

Sementara itu, di sisi lain kota, Bagas dibawa masuk ke markas gengnya. Tubuhnya juga nggak kalah rusak—pipinya bengkak, bibir sobek, dada naik turun kayak habis lari maraton. Dia masih ngeronta, mukul meja, hampir mecahin kaca.

“Bangsat! Kenapa tadi lu tahan gua?! Dia udah tinggal gua abisin, ngerti nggak lu?!” Bagas ngelempar botol ke tembok, pecah berantakan.

Salah satu anak gengnya nyeletuk, “Gas, lu udah hampir ditangkep polisi. Kalau lu maksa, lu yang keangkut tadi.”

“Terserah! Lebih baik gua keangkut daripada gua biarin Bima berdiri lagi!” suara Bagas meledak, matanya merah. “Lu liat sendiri kan dia masih bisa berdiri meski udah gua bantai? Itu bikin gua makin muak!”

Anak-anak gengnya pada diem, nggak berani nyaut. Mereka tahu, kalau Bagas udah ngamuk kayak gini, percuma dibantah.

Bagas ngehentak tinjunya ke meja, nadanya rendah tapi penuh dendam, “Pertarungan tadi belum selesai. Dan gua sumpah, next time… gua pastiin dia nggak bakal bangun lagi.”

***

Malam itu, rumah Bima sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar, berpacu dengan perih yang masih terasa di sekujur tubuhnya. Lebam-lebam biru di pipi, tulang rusuk yang seperti ditusuk tiap kali ia bernapas dalam, semuanya seakan jadi pengingat nyata tentang pertarungan sore tadi. Tapi bukannya beristirahat, ia malah meraih ponselnya.

Jari-jarinya yang masih gemetar mengetik cepat di grup WhatsApp mereka.

Bima: "Besok kelewatan. Malam ini kita kumpul. Tempat biasa. UKS lama."

Tak butuh waktu lama, tanda centang biru muncul. Satu per satu anggotanya merespons.

Andre: "Otw bro."

Raka: "Serius malam ini? Lu masih babak belur, Bim."

Dodi: "Udahlah, jangan maksa. Lu butuh istirahat. Gue larang lu keluar. Besok juga bisa kan?"

Bima mengernyit, sedikit kesal membaca pesan itu. Ia mengetik balasan cepat.

Bima: "Gue nggak peduli sakit begini. Gue harus denger langsung suara kalian. Malam ini kita bahas."

Raka mencoba menimpali lagi, tapi Dodi lebih dulu mengirim pesan panjang.

Dodi: "Bim, lu jangan keras kepala! Gue serius, ini gawat. Gue takut lu makin parah. Kalau sampe cacat gimana? Lu pikir gue sama anak-anak nggak khawatir?!"

Bima berhenti sejenak. Nafasnya berat, rasa sakit di dadanya makin menusuk. Tapi sorot matanya dingin, penuh tekad. Ia mengetik dengan pelan, tapi mantap.

Bima: "Kalau gue diem aja, Bagas mikir dia menang. Gue nggak bisa tinggal diam. Malam ini, UKS lama."

Chat berhenti sejenak. Semua anak di grup tahu, kalau Bima sudah ngomong begitu, tidak ada yang bisa membendung. Raka hanya menghela napas di layar chat, meninggalkan sticker tangan menutup wajah. Dodi tidak membalas lagi, hanya membaca, entah pasrah atau marah.

***

Satu jam kemudian, ruang UKS lama itu kembali hidup. Lampu neon redup menggantung seadanya, aroma apek bercampur dengan bau rokok yang menyengat. Di sudut ruangan, Bima sudah duduk dengan jaket hitam, wajahnya masih bengkak, matanya sayu tapi berapi. Andre, Raka, dan yang lain berdatangan satu per satu.

“Lu gila, Bim. Badan lu masih kayak gitu, masih bisa jalan aja udah syukur,” kata Raka sambil menepuk pundaknya pelan.

Bima hanya tersenyum miring. “Kita nggak di sini buat ngomongin badan gue. Kita di sini buat bahas pertarungan tadi.”

Suasana langsung tegang. Andre menyandarkan punggung ke tembok, menyulut rokoknya. “Menurut gue, pertarungan tadi bisa dibilang seri. Lu sama Bagas sama-sama keras, nggak ada yang bener-bener jatuh. Jadi apa? Lu mau anggap itu kelar gitu aja?”

“Kelarin?!” Bima menoleh cepat, matanya berkilat. “Nggak. Gue nggak bakal berhenti di situ.”

Raka menghela napas berat. “Terus? Lu mau lanjut kapan? Kita semua liat tadi, kalau diterusin lagi lu berdua bisa ancur. Sumpah, gue aja nonton udah ngerasa ini bukan sekadar adu geng lagi, tapi udah adu nyawa.”

Andre menimpali, suaranya tenang tapi menusuk. “Kalau ada ronde selanjutnya, itu bukan lagi soal geng, tapi soal siapa yang siap kehilangan segalanya. Lu sadar nggak, Bim?”

Bima terdiam sebentar. Ia meraba bekas luka di pelipisnya, rasa perih itu seperti bensin yang menyulut api di dalam dadanya.

“Justru karena itu,” katanya lirih, tapi penuh tekanan. “Gue nggak mau Bagas mikir gue mundur. Pertarungan ini belum selesai.”

1
Amel
lnjuttt
Amel
Suka banget sama cerita aksi sekolah sekolah gini
Aanirji R.: siap kak😉
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!