Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Jakarta masih menyisakan lembap embun pagi, bahkan ketika matahari sudah menggantung di langit. Di kamar belakang yang dulu tersembunyi, aroma cat minyak dan kayu tua menggantikan bau rahasia. Aurora dan Tristan duduk berdampingan di bangku kecil, kuas di tangan mereka, mengusap warna-warna terakhir pada lukisan potret sang ibu.
"Kenapa kamu memilih warna ini?" tanya Tristan, menunjuk bayangan merah muda lembut di bawah mata sang ibu.
Aurora mengangkat bahu pelan. "Karena tidak semua duka harus gelap. Kadang, luka juga bisa tampak seperti cinta yang tertunda."
Tristan memandang hasil lukisan mereka. Jemarinya menyentuh tepian kanvas seakan mencoba mengenang sentuhan terakhir ibunya.
"Kamu tahu," gumamnya, "waktu kecil, aku pernah mencoret-coret wajah Ibu di foto keluarga karena kupikir dengan begitu aku bisa berhenti rindu. Tapi ternyata rindu tak bisa dihapus, hanya bisa diajak duduk berdampingan."
Aurora diam, lalu tersenyum tipis. "Dan kini kamu melukis wajah itu kembali. Itu bukan rindu yang ingin dihapus. Itu rindu yang telah kamu peluk."
Tawa kecil pecah saat Tristan tak sengaja menyenggol kaleng cat biru, menumpahkannya ke lantai kayu.
"CEO tapi buta warna dan ceroboh," ejek Aurora.
"Jangan berharap aku bisa membedakan teal dan turquoise," Tristan mengeluh. "Bagiku semua biru itu sama."
Mereka tertawa. Sejenak, rumah itu terasa seperti rumah, bukan benteng kenangan.
Namun kehangatan itu tak bertahan lama.
Pintu terbuka perlahan, disertai hentakan sepatu hak yang menusuk lantai kayu seperti martil pengadilan. Aroma parfum tuberose—semakin tajam ketika pemiliknya marah—mengisi ruangan sebelum sosok Clarissa benar‑benar muncul di ambang. Gaun satin burgundi membalut tubuh rampingnya; bros mutiara berbentuk phoenix berkedip di kerah, seolah menghakimi.
Ia menjejak masuk tanpa permisi, tatapan tajam menyapu Aurora seakan menilai noda di lukisan hidup. Lalu pandangannya berlabuh pada Tristan; suaranya teredam namun getarannya menelusup ke tulang.
“Sudah kubilang kamar ini dikunci for a reason, Tristan. Kau bebas percaya hantu masa lalu, tapi jangan seret istrimu ke drama murahan.”
Tristan berdiri perlahan, bahunya menegang—Aurora merasakan otot di bawah lengan kemejanya mengeras, seolah tubuh itu mencoba menjadi perisai. “Drama ini, seperti yang Ibu sebut, adalah kenangan Ibu kandungku. Bukankah wajar putranya ingin mengenangnya?”
Clarissa mengekang tawa dingin. “Yang wajar itu bergerak maju, bukan mengutip tragedi demi simpati. Dewan komisaris butuh kepala dingin, bukan hati lebam.”
Tristan mengatup rahang, nadi di lehernya berdenyut. Aurora melihat warna pucat merayap di pipinya—tanda tekanan batin yang tak punya jalan keluar selain kata‑kata. “Mungkin Dewan juga lupa, 49 persen saham perusahaan ini datang dari mahar Ibu kandungku. Kalau kenangan beliau dianggap sampah, Dewan sebaiknya cari investor baru.”
Clarissa mengerjap—tercengang sepersekian detik, lalu tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada marah. Ia melangkah ke lukisan, jemarinya yang berbalut sarung renda hampir menyentuh cat basah, lalu berhenti satu senti—membiarkan aroma terpentin menusuk hidung.
“Kematian membuat orang puitis,” bisiknya. “Tapi puitis tidak membayar dividen.”
Aurora maju satu langkah, menegakkan kepala. “Rindu juga tidak membayar dividen, Bu Clarissa. Tapi rindu menjadikan seseorang manusia—bukan mesin uang.”
Clarissa menoleh pada Aurora, pandangan tajam itu seperti pisau mengiris kulkas beku, tapi Aurora bertahan. Bibir Clarissa bergetar, entah oleh marah atau terkejut seorang gadis panti berani bicara. Ia menarik napas, menegakkan punggung.
“Pastikan cat ini tak menodai reputasi perusahaan,” desisnya. “Jika wartawan mencium bau ‘nostalgia murahan’, saham akan memerah dan kalian berdua akan menjawabnya di rapat umum.”
Tristan melangkah setengah langkah ke depan—sekecil itu tapi cukup memagari Aurora di belakang punggungnya. “Reputasi perusahaan akan kuselamatkan. Tapi bukan dengan mengubur Ibuku lagi.”
Clarissa menatapnya lama—mata dua karat berlian yang tak memantulkan hangat apa pun—sebelum berbalik. “Kunci ruangan ini diganti. Dan Tristan… ingatlah: saham tak punya rasa kasihan. Jangan membuatku mengajari pelajaran lama.”
Begitu gaun satin itu lenyap di lorong, udara berdesis keluar dari paru‑paru Tristan, seolah ia menahan napas sepanjang konfrontasi. Bahunya turun, tapi jari‑jarinya masih gemetar. Aurora menyentuh jemarinya; Tristan mengepalkannya, lalu membuka, membiarkan tangannya digenggam.
“Setiap kali dia menatap begitu,” bisiknya, “aku serasa kembali jadi bocah yang menanti hukuman.”
Aurora memandang mata itu—ada pasir kelelahan menggenang, ada bara murka terpendam. “Tak apa lelah,” katanya lembut, “asal jangan padam.”
Tristan menutup mata sejenak, mengembus pelan. Lukisan sang ibu di belakang mereka memantulkan cahaya lampu meja—seolah ikut menyaksikan perlawanan kecil putranya setelah bertahun‑tahun bisu.
“Luka lama tak akan sembuh kalau kita tutupi debu,” Tristan mengulangi kata‑katanya tadi, tapi kini suaranya retak, nyaris doa.
Aurora meremas tangannya. “Kalau debu menebal lagi, kita lap, berdua.”
Begitu suara langkahnya menjauh, Aurora menyentuh lengan Tristan. Ia bisa merasakan tubuh pria itu kembali menegang.
"Apa kamu selalu seperti itu saat berbicara dengannya?"
"Tidak. Dulu aku hanya diam. Kini... aku mulai lelah diam."
Mereka meninggalkan kamar itu menjelang siang. Di lorong menuju kamar, Aurora memanggil Tristan yang berjalan di depannya.
"Tunggu."
Tristan berbalik. Aurora menunjuk bekas merah di leher bajunya. "Boleh aku tahu... itu luka lama atau baru?"
Tristan ragu sejenak. Lalu, dengan lirih, ia berkata, "Itu sisa dari masa kecil. Ayah tiriku punya sabuk kulit yang lebih sering ia pakai di tanganku daripada pinggangnya."
Aurora tercekat.
"Aku... maaf."
Tristan tersenyum samar. "Kau tak perlu minta maaf. Aku hanya... tak ingin kau tahu semua bagian burukku."
"Kalau aku memilih tinggal, itu artinya aku siap tahu semuanya."
Tristan menatapnya. Matanya tampak lebih tua, lebih dalam. Tapi juga lebih lembut.
Siang itu, sebuah jamuan disiapkan di ruang utama. Para direksi berdatangan dengan jas rapi dan senyum sinis. Aurora duduk di samping Tristan, menyapa tamu-tamu itu dengan anggukan tenang.
"Jadi, Anda istri muda sang CEO?" celetuk salah satu pria paruh baya. "Beruntung sekali Tuan Tristan. Cantik dan... pendiam."
Aurora tersenyum. "Pendiam hanya saat menyusun strategi. Saat menyerang, saya bisa sangat vokal."
Beberapa orang tertawa kecil, termasuk Tristan yang mencuri pandang padanya.
"Kurasa aku harus memperpanjang kontrak humas kita," bisik Tristan. "Ternyata istri CEO lebih ampuh dalam krisis image."
"Aku hanya menjaga citramu agar tak terlalu kusam," Aurora membalas pelan.
Malamnya, Aurora terbangun oleh suara resah dari kamar sebelah. Ia menemukan Tristan terduduk di tepi ranjang, napasnya memburu, tubuhnya gemetar.
"Tristan?"
Ia menoleh dengan mata merah. "Aku... hanya mimpi buruk."
Aurora duduk di sisinya, menyentuh punggungnya pelan. "Tarik napas... satu, dua, tiga... tahan... lalu buang perlahan."
Mereka duduk dalam diam. Ketika napasnya mulai tenang, Tristan berkata lirih, "Kenapa kau masih di sini?"
"Karena anak yang menangis di usia sembilan tahun tak boleh menangis sendirian di usia tiga puluh."
Tristan menoleh. Wajah mereka begitu dekat.
"Terima kasih," bisiknya.
Aurora menggenggam tangannya. "Aku tak berjanji akan menyembuhkanmu. Tapi aku bisa duduk di sampingmu, sampai kau kuat berdiri sendiri."
Di lorong gelap rumah itu, sebuah bayangan mengamati dari balik rak buku. Sebuah buku catatan terbuka—tulisan tangan mencatat kode brankas dan tanggal.
Malam itu, cinta tumbuh diam-diam di satu sisi rumah, dan konspirasi diam-diam dirangkai di sisi lainnya.
.
.
.
Bersambung.