“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Palsu
“Memangnya aku minta?” Renaya menyeringai sinis, alisnya terangkat. Dalam hatinya mencibir, sejak kapan ia pernah meminta perhatian siapa pun?
“Hargai inisiatifnya!” sahut Kinasih, nada suaranya mulai meninggi, emosi terpantik kembali.
“Itu cuma omong kosong. Mas Bagantara mana mungkin nyari aku.”
“Wajar kamu berpikir begitu, Renaya.” Bagantara menyelipkan senyumnya yang tampak muram. “Karena kamu nggak pernah menerima kebaikan dariku. Pandanganmu ke aku selalu buruk, jadi kebaikan sekecil apa pun dariku nggak pernah kamu lihat. Tapi nggak masalah… aku nggak keberatan.”
Ucapan panjang Bagantara seketika membuat dada Renaya berdesir. Bukan karena terharu, tapi gemas… dalam artian paling buruk. Sementara Kinasih, matanya mulai berkaca-kaca, terenyuh oleh kelembutan hati suaminya.
“Sayang sekali… kebaikanmu malah jatuh ke orang yang salah.” Kinasih menatap tajam ke arah Renaya.
Bagantara mengangguk ringan. “Nggak apa-apa. Aku tetap bakal jaga keluarga kamu.”
“Makasih, Mas…” Kinasih membalas dengan lembut.
Renaya menggertakkan giginya pelan. Ia merasa ada yang harus dipatahkan di situ. Ia harus menunjukkan siapa Bagantara yang sebenarnya. Tangannya bergerak meraih ponsel dari saku celana, hendak memperlihatkan bukti foto yang ia dapatkan malam itu.
Namun begitu mendongak, ia mendapati Kinasih telah dituntun pergi oleh Bagantara.
“Aku belum selesai ngomong,” sergah Renaya, menahan langkah mereka.
Bagantara menoleh, wajahnya menebar pengertian palsu. “Udah larut, Renaya. Sudahi saja. Mbakmu capek.”
Renaya ingin membantah, tetapi lidahnya seakan beku. Hanya pandangannya yang mengantar kepergian mereka. Ia tidak melangkah ke kamar, malah berdiri terpaku, termangu dalam pertanyaan-pertanyaan yang semakin bergema di benaknya.
“Kenapa aku selalu lambat?” bisiknya. Mengapa ia tidak cukup sigap mengungkapkan semuanya?
“Kenapa aku nggak bisa membongkar semua ini?” Pertanyaan itu terus menggelayut di dadanya, membelit pikirannya seperti lilitan tali tak kasatmata.
Ia bertanya-tanya, mungkinkah ini karena dirinya yang kurang kuat? Atau barangkali karena bukti yang ia pegang masih rapuh?
Renungannya buyar ketika langkah berat Bagantara kembali bergema di belakangnya. Kali ini, ekspresi lelaki itu tidak lagi berpura-pura lembut, melainkan penuh bara.
“Ah, akhirnya tunjukkan juga belang aslimu,” desis Renaya, memandang tajam ke arah Bagantara yang mendekat cepat.
Tanpa banyak bicara, Bagantara mencengkram bahu Renaya, kuat, penuh tekanan. Tatapannya menusuk seperti bilah pisau ke dalam mata Renaya.
“Kamu tahu sesuatu, kan?” tudingnya tajam.
Renaya tidak bergeming. Alih-alih gentar, ia malah bersikap seolah tidak ada yang perlu ditakuti.
“Sesuatu? Lucu. Seolah kamu nggak punya ‘sesuatu’,” jawabnya enteng.
Senyuman tipis di bibir Renaya justru menyulut kemarahan Bagantara.
“Jangan bercanda, Renaya. Jawab aku! Apa yang kamu tahu?” suaranya meninggi, semakin menekan.
Dengan gerakan tenang, Renaya menepis cengkraman Bagantara dari bahunya. Tubuhnya condong ke dinding, tangan bersedekap, posturnya menantang.
“Pertanyaanmu justru membuktikan ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” sahut Renaya, datar namun menusuk.
Bagantara mengetatkan rahang. “Jadi… apa yang kamu tahu?”
Renaya memiringkan kepalanya, sinis. “Kamu pikir ‘sesuatu’ itu cuma satu? Kalau memang satu, harusnya kamu udah tahu persis apa yang aku tahu.”
Bagantara mengangkat tangan, seolah hendak menampar Renaya. Tapi ia menahan diri, mengepalkan tangannya dengan napas memburu.
“Kamu lihat aku sama Saras, kan?” Ia berusaha memancing, menebak sebesar apa pengetahuan Renaya.
Tak ada jawaban dari Renaya. Tapi diamnya cukup menjadi pengakuan.
Bagantara mendekat lebih dalam, telunjuknya teracung tajam di depan Renaya.
“Aku peringatkan… jangan ikut campur kalau kamu nggak mau berakhir kayak Sandrawi.”
Renaya mendengus, menatap dengan sinis. “Kamu bilang mau jaga keluarga? Kok malah ngancam?”
“Aku cuma ngingetin, kalau kamu ganggu aku… kamu bakal nyesel.”
Renaya menatap tajam. Ada keresahan yang mengalir di benaknya, tapi mulutnya tetap lantang, “Rahasia macam apa sih, sampai kamu takut begini?”
“Itu bukan urusanmu!” Bagantara membentak.
Renaya menarik napas panjang. Kelelahan mulai menjeratnya, tubuhnya seakan menuntut untuk segera rebah. Pertengkaran sejak tadi cukup menguras fisiknya.
Akhirnya, ia hanya mengangguk. “Oke.”
Namun, senyum tipis di wajah Renaya membuat Bagantara tidak percaya.
“Jangan main-main, Renaya. Konsekuensinya serius.”
Renaya membalas dengan tatapan tajam. “Kamu yang ngancam, Mas. Aku sih nggak takut.”
Bagantara semakin muak. Ia kembali mencengkram bahu Renaya dengan keras.
“Aku bilang jangan ikut campur!”
“Segitu takutnya?” sindir Renaya.
Bagantara menghela napas, menarik tangannya perlahan, mencoba menguasai dirinya. “Percaya saja… semua bakal baik-baik aja kalau kamu nggak usik.”
Renaya tertawa miring. “Omong kosong.”
“Jangan bikin masalah tambah panjang!” Bagantara kembali menggertak.
Renaya masih menyipitkan mata, menyelidik.
“Kamu pikir aku bakal takut?”
Bagantara menatapnya dalam-dalam. “Masuk ke kamarmu!”
Renaya memutar bola matanya, melangkah setengah ogah-ogahan. Namun sebelum kakinya menginjak ambang pintu, pekikan melengking dari kamar Kinasih membuat mereka berdua serempak menoleh.
“AAAHH!”