Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA22
Alan mencondongkan wajah, jemarinya menyentuh pipi Maya dengan belaian lembut. Maya membalas sentuhan itu, seolah ada rindu yang lama tertahan. Perlahan, Alan bergerak mendekat, hendak mencium bibir Maya. Namun, Maya menoleh, menghindar dengan tenang.
"Maaf, Alan... Aku tidak bisa," ucap Maya lembut. "Hubungan kita sudah berakhir. Lebih baik kita bertemu sebagai teman saja."
"Teman?" Alan terkekeh pelan, seperti tak percaya.
"Kecuali… kau menikahi ku," lanjut Maya, menatapnya teduh. "Kalau itu terjadi, mungkin segalanya bisa kembali seperti dulu."
Alan terdiam sejenak, lalu tiba-tiba memperbaiki posisi duduknya. “Menikah? Oke,” jawabnya cepat dan mantap.
“Aku akan bicarakan ini dengan Key!"
"Kamu bercanda?" tanya Maya lirih, nyaris tak percaya.
"Soal pernikahan, aku tidak pernah bercanda," sahut Alan tegas, sambil membetulkan posisi meja makan Maya.
“Aku akan jadwalkan khusus pertemuan mu dengan Key.” Dia akan atur semuanya,” ucap Alan dengan serius.
Maya menatap Alan dengan sorot bahagia, nyaris bersorak saking gembiranya. Akhirnya… Alan akan menikahinya, pria yang ia cinta dan kagumi. Ia janji akan memberikan seluruh cinta dan kasih sayangnya untuk Alan.
Kondisi Maya pun semakin membaik. Di sudut sofa, mereka duduk berdua, saling bersandar, saling bermanja. Tatapan penuh cinta di antara mereka dipenuhi rindu yang menggunung. Tawa mereka lepas, kebahagiaan sederhana itu membuat dunia serasa milik berdua. Dalam kehangatan itu, Alan kembali terbakar oleh hasrat.
“Aku ingin kamu malam ini…” bisiknya lembut, penuh keinginan.
Maya tersenyum kecil, mengelus rambut Alan penuh manja. “Alan, ini rumah sakit… Suster bisa keluar masuk. Lagipula, kondisiku belum benar-benar pulih, maaf ya sayang” ucapnya halus.
“Hehehe… Baiklah, soalnya kamu imut banget sayang,” ujar Alan sambil mencubit lembut pipi Maya.
Alan tiduran di pangkuan Maya. Dengan penuh kelembutan, Maya mencubit pelan dagu, hidung, dan pipi Alan, lalu mengecup keningnya dengan kasih.
“Kamu pasti capek seharian,” bisiknya sambil memijat kepala Alan dengan lembut, memanjakannya seperti seorang anak kecil. Cinta dan kasih sayang Maya menyusup tenang, seperti cahaya hangat yang menenangkan kegelisahan hati Alan, pria yang sejak kecil tak pernah benar-benar merasakan hangatnya kasih seorang ibu.
Setelah puas bermanja-manja, mereka melanjutkan waktu bersama dengan bermain ular tangga, kartu Uno, hingga game online. Tawa mereka pecah berulang kali, candaan kecil mengisi ruang dengan kehangatan. Ada kekompakan dan kemesraan yang tak dibuat-buat.
Maya berbeda dari wanita-wanita yang pernah singgah di hidup Alan. Ia tidak hanya hadir, tapi juga benar-benar menemani, menyukai hal-hal sederhana yang Alan sukai. Dalam momen-momen kecil itu, Alan merasakan sesuatu yang belum pernah ia temukan sebelumnya: kenyamanan yang utuh, tulus, dan tak mengikat.
Saat kantuk mulai menyerang, Alan mengangkat Maya dengan lembut dan membaringkannya di tempat tidur pasien.
"I love you. Good night," ucap Alan pelan, mengecup dahi Maya penuh kasih.
"I love you too," balas Maya dengan senyum manisnya.
"Terima kasih, Alan..." bisiknya bahagia.
Alan membalas dengan anggukan tenang. Ia tidak langsung tidur. Ia hanya duduk memandangi Maya, memastikan wanita itu benar-benar terlelap. Kepalanya penuh dengan bayangan tentang pernikahan. Setelah beberapa lama, ia merebahkan diri di sofa penjaga.
Namun malam itu, Alan tidak benar-benar tidur nyenyak. Di alam bawah sadarnya, mimpi buruk kembali menghantui.
**
Ia berdiri di balik pintu, menyaksikan pertengkaran orang tuanya. Suara gelas pecah membuyarkan keheningan.
"Thalia! Kau berselingkuh dengan sahabatku sendiri?!" bentak Darrel, ayahnya.
“Iya! Soalnya dia jauh lebih perkasa di ranjang. Tidak seperti kamu, lemah, tua, dan menyedihkan!” balas ibunya, Thalia, dengan nada jijik.
“Kau… ku ceraikan!”
“Itulah yang kutunggu. Pembagian harta gono-gini!”
“Tidak! Kau berasal dari perempuan jelata, tidak akan mendapat lebih banyak. Itu hartaku!”
“Haha, Kau lupa, aku istri sah mu di mata hukum!”
Darrel terbatuk keras. Napasnya terengah.
"Jangan mendekatiku, pria tua menjijikkan!" teriak Thalia penuh benci.
Lalu mimpi itu berubah. Alan kembali menjadi remaja, berdiri di tengah kampus dengan wajah tertunduk malu. Foto perselingkuhan ibunya tersebar di media sosial. Kekasih ibunya kala itu adalah selebriti papan atas.
“Alan, rasanya gimana punya ibu tukang selingkuh?” ejek teman-temannya.
“Pistol bapakmu pasti lemah…”
“Atau… nggak bisa ngapa-ngapain!” tawa mereka meledak-ledak.
Alan depresi. Ia tidak sanggup keluar rumah. Mentalnya hancur, hatinya patah, kecewa berat dengan sikap seorang ibu yang seharusnya mengajarkan etika moral yang baik untuk anak-anaknya.
Kemudian mimpinya berpindah lagi. Kali ini ia menangis histeris di samping jenazah ayahnya.
“Daddy…! Daddy…!”
**
Alan terbangun. Nafasnya terengah, peluh membasahi wajahnya meski ruangan ber-AC. Ia tidak bisa kembali tidur. Alan melihat Maya tertidur pulas dan memperbaiki posisi selimutnya. Dengan langkah terhuyung-huyung, ia menuju balkon teratas rumah sakit.
Alan menyalakan rokok sebagai teman kesepiannya malam itu, ia menghembuskan asapnya ke langit, menatap bintang-bintang yang menggantung indah di malam sepi. Wajahnya terlihat tenang namun pikirannya berkecamuk.
Di dalam hatinya, tersimpan keraguan yang tak bisa ditepis, keraguan untuk menjadikan Maya sebagai pendamping hidup. Bukan karena Maya kurang sempurna, justru sebaliknya. Namun ada sesuatu dalam diri Alan yang belum siap, terbelenggu oleh prinsip dan luka masa lalu. Meski begitu, ia tidak bisa memungkiri satu hal: hasratnya pada Maya tetap menyala. Ia masih menginginkan Maya....
**
Pagi kembali cerah, Alan sudah kembali ke kantornya, sementara Maya berdiri di dekat jendela, menatap langit biru dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Senyumannya bahkan mengalahkan sinar mentari pagi itu.
Hatinya berbunga-bunga. Ia menari-nari kecil di tengah ruangan kosong, seolah dunia sedang bersorak bersamanya. Bagaimana tidak? Alan, pria yang selama ini ia impikan akan menikahinya.
Maya tidak sabar ingin segera membagikan kabar bahagia itu kepada keluarganya.
“Tapi nanti saja, setelah aku bicara dengan Kakak ipar,” gumamnya pelan, senyum masih menghiasi wajahnya.
Sementara itu, sesuai perintah Alan, Key mulai menyusun berbagai konsep dan rencana pembicaraan yang akan disampaikan kepada Maya.
Pukul 11.00 WIB
Alan muncul di ambang pintu ruang Maya. Ia datang spesial menjemput sang pujaan hati, membawa sebuket bunga segar yang harum semerbak. Maya menoleh dan terkejut melihatnya.
"Kamu kan sibuk?" tanya Maya heran.
"Buat kamu, semuanya bisa diatur," jawab Alan sambil tersenyum manis.
Ucapan itu membuat hati Maya bergetar. Ia makin tenggelam dalam pesona cinta Alan.
"Aku harus menjemputmu sendiri," lanjut Alan sambil menyerahkan bunga itu ke pelukan Maya.
"Kan ada supir, Alan?"
"Emang cinta bisa diwakilkan?" balas Alan dengan tatapan manja yang sulit ditolak.
Maya tersenyum, lalu memeluk Alan dari belakang. Pelukannya hangat, penuh cinta dan kasih.
"Thanks, Alan," bisiknya.
"Key sudah menunggumu aku harus segera mengantarkan mu," kata Alan pelan.
"Baiklah sayang, aku akan segera menemuinya!" jawab Maya antusias.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga