Wulan masih tidak percaya bahwa dia telah reinkarnasi ke dalam tubuh seorang perempuan yang cantik namun tidak bahagia. Dia adalah istri dari kapten yang tampan dan berkuasa, namun dingin dan tidak peduli dengan istrinya.
Wulan mempunyai janji dengan jiwa aslinya, yaitu mengubah takdir hidup sang kapten agar jatuh cinta dengan tubuh istrinya yang bermana Livia. Tapi bagaimana caranya? Kapten tersebut sangat dingin dan tidak peduli dengan istri.
.
Namun, semakin Wulan mencoba untuk mendekati sang kapten, semakin dia menyadari bahwa kapten tersebut memiliki luka yang dalam dan tidak mudah untuk diobati.
Wulan harus mencari cara untuk menyembuhkan luka tersebut agar sang kapten dapat membuka hatinya dan jatuh cinta dengan Livia.
Bagaimana kelanjutan cerita Wulan? Apakah dia berhasil mengubah takdir hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aira azahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22
"Iya, aku sudah menikah dengan seorang militer angkatan laut. Tapi aku mau berpisah dengannya," ucap Livia sambil memasang senyuman kecil di wajah. Entah itu untuk menyembunyikan rasa perih di hati, atau sekadar refleks pertahanan diri.
"Bercerai? Bukannya banyak wanita di luar sana yang justru mendambakan menikah dengan pria militer? Tapi kamu malah ingin berpisah," kata Marco sembari menatap Livia dengan raut wajah penuh kebingungan.
Livia menghela napas panjang sebelum menjawab, mencoba merangkai kata agar tidak terdengar terlalu rapuh. "Kami menikah karena ada yang menjebak kami. Malam itu, aku terbangun di ranjang yang sama dengannya, tanpa busana, dan pagi harinya kami dipergoki. Orang-orang langsung menarik kesimpulan. Awalnya, aku menyukai dia, bahkan mencoba menjadi istri yang perhatian, manja, seperti yang seharusnya. Tapi, aku mulai melihat wajah muaknya setiap kali aku mendekat. Dia ... bahkan keluarganya ... memfitnahku sebagai dalang jebakan itu. Aku dianggap telah menghancurkan reputasi mereka."
Sejenak, Livia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Hatinya memanas hanya dengan mengingat itu. "Pada suatu hari, aku memeriksakan diriku. Dan, Marco … aku ternyata masih perawan," ucapnya dengan senyuman pahit. "Itu berarti, malam itu tidak ada yang terjadi. Tidak ada! Semua kekacauan ini, pernikahan yang mereka paksa, hanya berdiri di atas kebohongan besar. Tapi aku ... aku malah terus berusaha seolah segalanya nyata."
Marco mengangguk pelan, seolah memproses setiap kalimat Livia. Matanya menyiratkan rasa prihatin, dan untuk pertama kalinya, Livia merasa tidak sedang dihakimi. "Pasti sulit untuk terus berjuang sendirian," ujarnya, nadanya penuh empati.
Livia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kepedihan yang baru saja terungkit kembali. "Iya, sulit sekali ..." lirihnya, hampir tak terdengar.
Marco menatap Livia dengan ekspresi serius. "Apakah kamu yakin ingin berpisah?" tanyanya.
Livia mengambil napas pelan sambil meraih gelas jus yang berada di hadapannya. "Iya, aku sudah membicarakan ini dengan keluarga. Mertuaku memang tidak setuju, mereka ingin kami tetap bersama. Tapi apa gunanya mempertahankan sesuatu yang sudah kosong? Perasaan itu tidak bisa dipaksakan, kan? Untungnya, ibuku mendukung keputusanku untuk berpisah," jawabnya sambil meneguk jus.
Marco memandang Livia dengan mata yang seolah dipenuhi rasa iba. "Pantas kamu kelihatan begitu bebas sekarang, sampai pergi ke club malam dengan teman-temanmu. Suamimu benar-benar tidak peduli, ya?" ujarnya perlahan.
Livia tersenyum kecil, meski di dalam hati ada rasa yang sulit dijelaskan. "Aku tidak terlalu memikirkan itu lagi. Rasanya aku justru lega. Aku malah tak sabar untuk mengubah statusku," katanya, mencoba terdengar santai.
Namun saat Marco terus memandang Livia, ia mulai merasakan beban dalam pembicaraan ini.
"Haruskah aku merasa bersalah karena merasa bahagia dengan keputusan ini?" batin Livia menepis pikiran itu cepat-cepat. "Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku, Marco. Sepertinya aku mau pulang sekarang," ucapnya seraya beranjak dari tempat duduk.
Marco tersenyum tipis dan menawarkan, "Mau aku antar?"
Livia menggeleng, sedikit terburu-buru. "Tidak perlu. Aku tadi naik taksi, jadi mudah untuk ke mana-mana. Lagi pula, aku juga mau ke tempat Kayla temanku. Kami mungkin akan membicarakan urusan bisnis. Aku pergi dulu ya," tambahnya, mencoba mengakhiri percakapan.
Marco mengangguk pelan, seolah memahami ketergesaan langkah Livia. "Hati-hati di jalan, Livia," katanya dengan nada lembut.
Livia hanya tersenyum singkat sebelum meninggalkan meja. Ada banyak yang ingin dikatakan, tetapi rasanya bukan di sini dan bukan pada Marco. Ada tempat lain, dan waktu yang lebih tepat untuk memikirkan semuanya lebih dalam. Saat ini, ia hanya ingin melangkah.
"Iya, selamat malam. Aku pergi dulu," kata Livia pelan sebelum melangkah menuju lift. Saat pintu tertutup, aia menekan tombol ke lantai satu dan menghela napas panjang. Hati ini terasa sesak, tapi ia mencoba untuk tetap terlihat tenang. Ketika langkahnya sampai di luar gedung dan masuk ke taksi, pikirannya sudah mulai berkecamuk.
"Alex ... bagaimana mungkin aku harus menghadapi semua ini sendirian?" gumam Livia dalam hati.
Beberapa menit kemudian, aku tiba di kediaman Kayla. Dari kejauhan Livia sudah melihat Alya yang menunggu di depan pintu.
Ayla langsung mendekat, merangkul pundak Livia erat. "Baru datang? Wajahmu kusut sekali, Livia. Ada apa?" tanyanya, sorot matanya penuh kekhawatiran.
Livia mencoba menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada pelan tapi penuh beban, "Aku sudah bertemu dengan Alex."
Reaksi Alya begitu cepat, matanya membelalak penasaran. Setelah sedikit didesak, Livia mulai menceritakan semuanya—perceraian yang masih menggantung, dan pertemuan tadi di jalan ketika Alex bersama wanita lain. Semua itu terasa seperti pukulan telak di dadanya.
"Gila! Dia mengira dua tahun itu tidak lama?" nada Alya meninggi. "Terus kamu mau tetap begini saja?" tanyanya dengan sorot penuh emosi.
Livia menunduk, mencerna semua ini dalam-dalam. "Aku harus masuk ke rumah ibu mertuaku ... diam-diam mencari buku nikah kami. Baru setelah itu aku bisa mengajukan surat perceraian," katanya perlahan, lebih pada diriku sendiri daripada pada Alya.
"Tapi ..." Livia mendongak, menatap Alya dan Kayla yang sejak tadi diam mendengarkan, "apa ada bukti kuat kenapa aku harus berpisah? Apa aku bisa menghadapi ini?" Keraguan kembali melandanya, memenuhi pikiran dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban. Tidak ada yang terasa mudah. "Bagaimana aku bisa keluar dari lingkaran tak berujung ini?" Pikirnya dalam hati.
"Kami berdua sebagai saksinya, di mana suamimu tidak peduli sama sekali. Iyakan?" sahut Kayla langsung, tiba-tiba Ayla mendorong lengannya.
"Gila! Kita berhadapan dengan seorang kapten, Kayla. Sayang sekali, Livia tidak mengabdikan momen pertemuan kamu dan suami. Itu bisa jadi bukti perselingkuhannya," kata Ayla memainkan kedua alisnya.
"Jangan gegabah dengan masalah itu, kalau bukan selingkuhannya gimana? Siapa anak atasan suamimu? Atau teman dekatnya?" sahut Kayla menggeleng kepalanya. "Kamu tidak bisa menuduh suamimu selingkuh, Livia."
"Dia beberapa kali menelpon tadi, tapi tidak mengangkatnya dan malah mematikan ponselku. Aku juga, memblokir semua nomor suamiku. Muak dengan pria itu!" Livia bersandar pada sofa, mengusap rambut ke belakang.
"Kalau begitu, kamu diam-diam mencuri buku nikah kalian. Mungkin pilihan lain, yaitu menunggu dua tahunan lagi. Memangnya yakin buku nikah ada di sana?" tanya Ayla menyipitkan bola matanya, ragu suami temannya ketat menyembunyikannya.
"Tidak tahu, pasti suamiku ketat menjaga buku nikah kami. Dia tahu, aku tengah mencari buku nikah itu. Menyebalkan!" Suara Livia terdengar sangat kesal, tidak ada solusi sekarang ini.
Livia dan kedua temannya sibuk berdiskusi masalah ini. Malam semakin larut, sudah waktunya mereka pulang ke rumah masing-masing.
Dengan langkah gontai, Livia memasuki kediamannya yang sepi. Ia tahu, suaminya sudah pergi berlayar atau bersama wanita lain.
"Halo, ada apa Zyan?" tanya Livia, sudah menduga Zyan mau mengajaknya berkumpul. "Sepertinya aku tidak bisa bergabung malam ini, kepalaku sangat pusing sekali. Pekerjaan benar-benar banyak sekali."
Livia segera mematikan ponselnya, waktunya membersihkan diri dan membutuhkan air dingin.
Malam yang sepi ini, Livia hanya seorang diri dan tidak ada menemaninya. Ia tengah menikmati mie instan, sambil menonton film.