Pahit nya kehidupan yang membelengguku seolah enggan sirna dimana keindahan yang dulu pernah singgah menemani hari-hari ku terhempas sudah kalah mendapati takdir yang begitu kejam merenggut semua yang ku miliki satu persatu sirna, kebahagiaan bersama keluarga lenyap, tapi aku harus bertahan demi seseorang yang sangat berarti untuk ku, meski jalan yang ku lalui lebih sulit lagi ketika menjadi seorang istri seorang yang begitu membenci diri ini. Tak ada kasih sayang bahkan hari-hari terisi dengan luka dan lara yang seolah tak berujung. Ya, sadar diri ini hanya lah sebatas pendamping yang tak pernah di anggap. Tapi aku harus ikhlas menjalani semua ini. Meski aku tak tahu sampai kapan aku berharap..
Adakah kebahagiaan lagi untuk ku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cty S'lalu Ctya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
POV Yuga
Bunyi ketukan pintu menggema di ruang kerjaku, dengan cepat aku menyuruh masuk, tak lama terlihat Alana masuk ke dalam. Dia berjalan ke arah ku dan berdiri di depan meja kerja.
"Ada apa?" tanya nya pada ku. Aku yang masih fokus pada beberapa file yang dikirim oleh Bagas dengan sedikit mendongak lalu menatap nya datar.
"Jam tujuh kau dan anak mu ikut aku!" kata ku memberitahunya, terlihat dia mengernyit.
"Kemana?" tanya nya kemudian. Aku menghela nafas kasar, seraya kembali beralih pada file yang harus segera ku tandatangani.
"Pakai barang yang ku berikan!" bukan jawaban yang ku berikan tapi sebuah perintah yang ku berikan, dia masih diam seraya menatap ku mungkin masih bingung, tapi aku seolah tak menanggapi, selain itu pekerjaan ku juga begitu menumpuk. Dia pun berlalu meninggalkan ruangan ku. Dengan segera ku mengambil ponsel ku dan mengirim pesan pada pak Presdir.
Pukul setengah tujuh, aku dan Emir menunggu Alana di ruang tamu.
"Kita mau kemana pak?" tanya Emir yang sudah siap dengan stelan yang ku belikan kemarin ternyata pas di tubuh nya.
"Nanti ke oma dan opa" jawab ku seadanya.
"Emir punya Oma dan opa?" tanya polos Emir membuatku mengangguk.
"Hem, nanti Emir kenalan ya sama Oma dan opa" balas ku. Emir pun mengangguk seraya menatap ke arah tangga dimana ada ibunya yang turun dari tangga.
"Wah, ibu cantik kayak plinces" celetuk Emir menatap ibunya, segera ku beralih mengarah ke tangga. Dan memang benar Alana sangat cantik dengan gaun yang ku belikan, dia tampak begitu elegan. Pandangan kita pun bertemu sejenak, dengan cepat aku menetralkan debaran jantung ku.
"Ayo cepat!" ajak ku beralih mengambil kunci mobil di atas meja. Kami bertiga segera masuk ke dalam mobil.
"Ibu Emil di belakang aja boleh" pinta Emir saat hendak masuk ke mobil.
"Tapi Emir nanti jatuh nak" tolak nya sedikit khawatir. Emir terlihat menggeleng.
"Tidak Bu, Emil kan udah besal, Emil janji akan diam dan tidak beltingkah" ucap nya terlihat memohon. Dia menatap ku seolah meminta pertimbangan.
"Ok, tapi Emir harus pakai sabuk pengaman!" timpal ku, Emir mengangguk dengan senyum mengembang.
"Siap"
Satu jam perjalanan sudah sampai di kawasan perumahan elit yang ada di kota ini. Ku hentikan mobil di sebuah rumah yang berpagar cukup menjulang tinggi. Tak lama pintu gerbang terbuka, segera ku melajukan mobil memasuki area rumah tersebut dan berhenti di carport.
"Turun!" ajak ku. Dia pun segera turun, lalu membantu Emir membuka pintu mobil yang ada di jok belakang.
"Mas Yoga" sapa pak Beni security menghampiri ku.
"Selamat malam pak" balasku.
"Tuan dan nyonya sudah menunggu anda mas!" ujar Pak Beni pada ku, aku mengangguk seraya memberikan kunci mobil pada pak Beni.
"Ayo!" ajak ku pada Alana dan Emir yang sudah turun dari mobil. Sampai di depan pintu ternyata pintu sudah terbuka terlebih dahulu sebelum aku mengetuknya disana terlihat wanita paruh baya yang begitu anggun dan masih cantik meski usianya sudah hampir kepala enam menyambut kami bertiga dengan seulas senyum.
"Yonya, apa kabar?" sapa ku lembut pada nyonya Maryam.
"Mama baik nak" jawab nyonya Maryam. Ya beliau adalah istri dari pak Presdir Johan. Nyonya Maryam beralih menatap ke arah Alana dan Emir bergantian.
"Dia.." tanya nya mengarah pada ku, aku pun mengangguk. Sebuah senyuman terpancar dari bibir nyonya Maryam.
"Hai sayang" sapa lembut nyonya Maryam pada Alana dan Emir. Alana segera mencium punggung tangan nyonya Maryam begitu juga Emir.
"Selamat malam nyonya, saya Alana" ujarnya memperkenalkan diri.
"Panggil mama sayang, karena Yoga sudah kami anggap anak sendiri" balas nyonya Maryam. Alana tersenyum kikuk.
"Hai jagoan, sini sama Oma" kini nyonya Maryam beralih pada Emir, Emir pun terlihat malu-malu, tapi nyonya Maryam berhasil membujuk Emir dan mengajak Emir masuk terlebih dahulu.
"Ayo kalian juga masuk, papa sudah menunggu!" ajak nyonya Maryam pada kami. Aku pun mengajak Alana masuk di dalam ruang makan sudah ada pak Johan duduk menunggu kami.
"Papa, lihat lah, Yoga membawa cucu untuk kita" ujar nyonya Maryam menghampiri pak Johan seraya memperlihatkan Emir. Pak Johan terlihat tak percaya, tapi dia menyambut Emir dengan baik.
"Wah, lama tak kesini ternyata ini kejutan yang kamu berikan pada kami" tukas pak Johan padaku.
"Apa kabar pak" balas ku.
"Sudah ku bilang panggil papa dan mama!" ujar pak Johan menegur ku, yang masih sungkan memanggil sebutan mama dan papa. Mereka berdua adalah orang yang begitu baik pada ku. Ketika aku berjuang merekalah yang selalu mendukung ku, sehingga aku bisa mewujudkan semua impian ku. Ku lihat Pak Johan memperhatikan Alana sejenak.
"Dia Alana pa, istri Yoga" ujar ku memperkenalkan Alana. Alana segera menyalami pak Johan, seulas senyum di berikan.
"Selamat datang di rumah kami nak" sambut pak Johan.
"Dan ini cucu opa, siapa namamu boy?" kini pak Johan terlihat memeluk Emir, ternyata Emir tidak begitu takut pada pak Johan.
"Emil" jawab Emir. Pak Johan mengajak kami segera duduk dan menyantap hidangan makan malam.
"Nak Alana semoga kamu menyukai hidangan nya!" ujar nyonya Maryam lembut pada Alana. Alana hanya mengangguk, terlihat dia agak canggung. Tapi beruntung nyonya Maryam mengerti beliau pun berhasil membuat Alana menjadi nyaman.
"Sudah malam, kalian menginap lah, biar nyonya Susi menyiapkan kamar mu" mohon Bu Maryam padaku, terlihat Emir juga mulai nyaman dengan Oma dan opa nya. Aku pun mengangguk tak tega menolak orang yang ku anggap sebagai ibuku sendiri. Terlihat senyum bahagia terpancar.
"Segera siapkan kamar untuk mas Yoga!" seru nyonya Maryam pada kepala pelayan.
"Baik Bu"
"Emir, ayo kita main sama Oma dan opa!" ajak nyonya Maryam pada Emir, Emir sempat meminta persetujuan dari ibu nya baru dia mengikuti nyonya Maryam ke ruang tengah dimana pak Johan sedang menonton TV.
"Ajaklah Alana berkeliling!" seru nyonya Maryam padaku sebelum berlalu bersama Emir.
Suasana terasa canggung antara kita berdua, lalu aku memilih mengajak Alana ke roof top. Alana nampak terpukau dengan pemandangan malam di atas rumah ini, suasana begitu teduh juga terlihat gemerlap lampu seolah menjadi lentera berjejer indah. Meski tak ada kata yang keluar tapi kami menikmati malam ini dengan diam.
"Yoga" sebuah panggilan dari belakang membuat kami serempak menoleh ke belakang. Nyonya Maryam menghampiri kami.
"Kamu di panggil papa di ruang kerja" ujar nyonya Maryam memberitahu.
"Dimana Emir?" tanya Alana.
"Emir sudah tidur nak, biarkan malam ini Emir tidur sama mama dan papa" balas nyonya Maryam.
"Tapi apa tidak merepotkan-"
"Kamu tenang saja, hal ini adalah impian kami nak bisa menikmati bagaimana rasanya punya cucu" terang nyonya Maryam pada Alana, Alana pun hanya diam.
"Papa sudah menunggu lho Yoga!" tegur nyonya Maryam padaku, kini aku beranjak meninggalkan dia di roof top bersama dengan nyonya Maryam.
'Semoga mereka saling menyayangi'