The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.
Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.
Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penghakiman Di Balik Kubah
Pintu raksasa terbuka perlahan, menggesek lantai batu dengan suara rendah yang menyerupai desahan dari kedalaman. Cahaya putih keemasan menyambut mereka, memancar dari langit-langit kubah dalam ruangan itu—menggantung seperti matahari mini yang tak bergerak. Dan di ujung lorong, di atas singgasana hitam berhias sulur kristal hijau, duduk sosok yang telah mereka dengar namanya sejak masuk ke Terra: Raja Terra.
Tubuhnya tinggi, tegap, balutan jubah putih dengan sulaman perak tampak sederhana tapi agung. Wajahnya keras dan tak memberi ruang untuk penafsiran lain—ini bukan raja yang suka basa-basi. Mata tajamnya langsung terkunci ke arah mereka. Ke tujuh orang asing yang, menurutnya, datang dari kekosongan di luar dunia.
Dira melangkah paling depan. Langkahnya mantap, tapi setiap detak jantungnya menggema seperti palu godam di telinga. Di belakangnya, Bagas berdiri sedikit menyamping, siaga. Yuni, Intan, Rendi, Noval, dan Rivani berjajar rapi, seperti barisan yang menunggu perintah perang, bukan audiensi kerajaan.
“Siapa di antara kalian yang bicara sebagai pemimpin?” Suara Raja berat. Tidak keras, tapi memiliki bobot seperti batu yang dijatuhkan dari ketinggian.
Dira mengangguk kecil. “Saya.”
Raja memandangi wajahnya. “Nama?”
“Dira. Kami—”
“Tunggu.”
Raja mengangkat satu tangan. Seketika, suara di ruangan seakan berhenti. Bahkan napas pun terasa menahan diri.
“Aku akan mengajukan pertanyaan. Dan kau jawab jujur. Jika aku merasa ada kebohongan… percayalah, para Penjaga Kehendak akan tahu.”
Dira menelan ludah. “Baik.”
“Bagaimana bisa kalian sampai ke dalam Terra? Tak satu pun makhluk pernah melewati Dinding Es.”
“Melalui jalur bawah. Kami memiliki kapal yang bisa menyelam sangat dalam. Kami menembus lapisan es dari bawah laut di kutub selatan dunia kami—”
“Dunia kalian?” Potong sang Raja. Alisnya terangkat. “Berarti kau percaya… masih ada dunia lain di luar Dinding Es?”
“Bukan hanya percaya,” sahut Dira pelan, “kami berasal dari sana.”
Beberapa orang di sekeliling ruangan—para penasihat dan prajurit—saling memandang. Ada yang mengernyit, ada yang hampir tertawa, ada juga yang wajahnya berubah pucat.
“Kami menyebut wilayah kami Asia,” lanjut Dira. “Kami tinggal di negara bernama Indonesia. Kami memiliki teknologi, budaya, dan kehidupan... seperti kalian, tapi berbeda.”
Raja menyipitkan mata. Ia bersandar sedikit ke depan. “Indonesia. Asia. Dua kata yang bahkan tidak ada dalam Pustaka Batas. Dan kalian datang… hanya untuk mencari artefak?”
“Bukan hanya artefak. Kami datang karena ada ancaman besar di dunia kami. Sebuah organisasi bernama Zwarte Sol. Mereka ingin membangkitkan kekuatan kuno yang bisa menghancurkan keseimbangan dunia… dan bukan hanya dunia kami. Tapi mungkin juga dunia ini.”
“Zwarte Sol…” gumam Raja. “Aku tidak pernah mendengar nama itu.”
“Kami tidak harap kalian mengenalnya,” sela Bagas. “Mereka bergerak di balik bayangan. Bahkan di dunia kami pun… tidak semua tahu.”
Raja menatap mereka lama, lalu menyandarkan punggung. Suaranya tenang, tapi jelas ada nada tidak percaya. “Jadi... dari langit yang tidak ada… dari dunia yang mustahil… kalian muncul membawa ancaman yang tak dikenal… dan ingin meminta sesuatu dari kami?”
Tidak ada yang menjawab.
Raja berdiri.
Tinggi badannya luar biasa. Bahkan dari jarak puluhan meter, auranya menekan.
“Kalian tahu apa itu kubah langit?”
Yuni menjawab pelan, “Kami melihatnya.”
“Bagus. Maka kalian juga tahu,” lanjut sang Raja, “bahwa dunia ini… datar. Tidak ada langit yang kosong, tidak ada planet, tidak ada ruang angkasa. Hanya dunia ini, satu-satunya yang dikelilingi oleh dinding es. Itu bukan teori. Itu adalah hukum. Hukum Terra.”
Dira mencoba menahan reaksi. Tapi di belakangnya, Noval tak bisa menyembunyikan kegugupannya.
“Bukan hanya hukum... itu juga konfirmasi teori lama,” gumam Noval setengah tak percaya. “Flat earth… dome theory… semua nyata di sini.”
Raja mendongak. “Apa kau barusan mengaku mempercayai teori dunia datar, wahai orang asing?”
Noval melangkah maju setengah langkah. “Kami… punya sekelompok orang di dunia kami yang percaya. Tapi mereka sering ditertawakan. Saya salah satu yang mempelajari teori itu... sebagai alternatif.”
Raja menatapnya sejenak, lalu… tersenyum tipis. Tapi tidak hangat. Senyum yang lebih dekat ke arah kewaspadaan daripada kepercayaan.
“Lucu. Bahkan di dunia yang tak kuakui, masih ada bayangan dari kebenaran Terra.” Ia lalu menoleh ke Dira lagi. “Tapi itu tidak mengubah apa pun. Kalian tetap anomali. Dan anomali… harus diuji.”
Dira mencoba berdiplomasi. “Kami siap diuji, asal tidak langsung divonis.”
“Kalian akan diuji. Tapi sesuai adat kami.” Raja berjalan perlahan menuruni undakan menuju mereka. Suara langkahnya memantul di seluruh ruang. “Malam ini… kalian akan ditahan. Tidak disiksa, tidak dicederai. Tapi tidak bebas. Dan besok… kalian akan diadili di hadapan altar. Di hadapan Azhurath, Naga Hijau Emas, Penjaga Terra.”
Yuni mengangkat kepala. “Naga? Hidup?”
“Tentu,” jawab Raja tanpa ragu. “Ia adalah penjaga artefak yang kalian incar. Dan satu-satunya makhluk yang bisa melihat ke dalam jiwa.”
“Kalau begitu… dia bisa lihat kebenaran kami,” ujar Rendi cepat.
“Atau… niat jahat kalian,” sahut Raja, datar. “Bersiaplah. Tak semua makhluk bisa menahan tatapan Azhurath dan tetap utuh.”
---
Penjara mereka bukan seperti sel gelap dan dingin seperti di film-film. Tapi tetap saja... itu penjara.
Dinding-dinding dari batu transparan membentuk ruang-ruang individual. Tidak ada jeruji. Tapi cahaya tipis membentuk semacam medan tak terlihat yang tak bisa ditembus. Setiap ruang cukup besar untuk duduk dan tidur, tapi tidak cukup untuk bergerak bebas. Di luar, dua penjaga berdiri siaga, lengkap dengan tombak dan pelindung dada yang menyala lembut.
“Satu hari di tempat kayak gini bisa bikin gila,” desah Rivani dari ruangnya.
“Ya, setidaknya kasurnya nggak dari batu,” timpal Intan, duduk bersila.
Dira menatap langit-langit. Cahaya dari kubah luar masih menyorot samar. Tidak ada bintang. Hanya bias putih yang tidak pernah berubah. Tak ada malam. Tak ada siang.
“Gue masih nggak percaya mereka beneran percaya bumi datar,” gumam Rendi.
“Tapi lihat sekelilingmu,” jawab Noval. “Mereka bukan sekadar percaya. Mereka hidup di dalamnya. Kubah langit. Dinding es. Dunia ini… mungkin versi awal dari apa yang dulu pernah ada sebelum sejarah kita dicampur aduk.”
Yuni yang sejak tadi diam, berkata pelan, “Kalau begitu... mungkin yang salah bukan mereka. Tapi kita.”
“Berarti misi kita makin rumit,” ujar Bagas. “Kita nggak cuma cari artefak. Tapi harus menyatukan dua versi kebenaran. Tanpa bikin perang.”
Semua terdiam.
Malam di Terra terasa berbeda. Bukan karena gelap, tapi karena... terlalu sunyi. Dunia ini tidak tidur. Tapi juga tidak hidup seperti dunia mereka.
Dira menarik napas panjang.
Besok pagi... nasib mereka ditentukan bukan oleh teknologi. Bukan oleh logika.
Tapi oleh seekor naga kuno... dan dunia yang tak percaya langit.
Di tengah malam, saat semuanya tampak tenang, suara lirih terdengar dari arah lorong penjagaan. Suara langkah... tidak biasa. Gemetar... berat... seolah tanah sendiri enggan diinjak.
Dan dari bayang-bayang itu... muncul siluet mata bersinar hijau.
Satu suara bergetar membisik:
“Yang kau sebut Zwarte Sol... sudah pernah datang ke sini.”
Bersambung.