Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Anatomi Kebencian
...•••Selamat Membaca•••...
“Aku sudah mempelajari tubuh manusia lebih dari lima tahun,” katanya sambil menarik nampan instrumen bedah berisi forcep, gunting jaringan, kait tulang, dan satu benda yang tak lazim yaitu sarung tangan nilon yang telah dibungkus kawat berduri tipis di telapak dan jarinya. “Tapi malam ini, aku tidak sedang belajar. Aku sedang membuka lembar baru anatomi kebencian.”
Dia menyarungkan sarung tangan berduri itu ke tangan kirinya sehingga setiap gerakan menghasilkan suara gemerisik logam.
Akselly menggeliat, mulai meracau ketakutan. Matanya sudah terlihat memohon tapi Maula tak peduli, dia justru suka melihat hal itu.
Maula menaiki meja. Berdiri di atas tubuh Akselly. Satu kakinya menekan tulang dada korban, satu tangannya mengangkat gunting bedah, dan memotong bagian perut bawah Akselly secara horizontal—bukan secara bersih seperti operasi, tapi lambat, berulang-ulang, membuat lapisan lemak dan otot menganga.
Jeritan Akselly menggema, pita suaranya nyaris putus saat Maula menyelipkan tangannya yang bersarung kawat ke dalam rongga perut, meraba-raba dengan paksa.
Darah muncrat. Uap panas dari dalam tubuh korban memenuhi udara.
Maula tertawa kecil, histeris, seperti anak kecil yang baru menemukan mainan. “Kau tahu apa ironi dari ini, Akselly? Aku tidak butuh pisau. Tanganku saja jauh dari cukup.”
Lalu dengan kekuatan penuh, dia mencengkeram dan menarik rahim Akselly dengan tangan kosong—urat-urat robek, jaringan tercabik, darah mengalir seperti hujan hitam dari daging yang disobek terbuka. Organ itu terangkat, masih meneteskan serpihan daging, seperti bunga busuk di ujung musim.
Akselly pingsan atau mati. Tapi Maula belum selesai.
Dia menaruh rahim itu di wajah korban, menekannya ke lubang mulut.
“Beginilah nasib siapa pun yang menyentuh tubuh orang lain tanpa izin. Selamat tinggal Akselly dan kenapa aku juga menghabisi suamimu? Karena malam itu, suamimu ikut andil dalam membantumu. Dia berpura-pura di depanku seolah aku tidak mengetahuinya.” Ya memang, Gael setuju dan tertarik dengan ide gila istrinya.
Malam itu memang Gael yang membantu Akselly, semua jelas terekam dalam kamera CCTV. Itulah alasan kenapa Gael memberika Akselly secara suka rela agar dia terlepas dari dosa.
...***...
Seperti biasa, Maula bertindak sangat rapi tanpa dicurigai oleh siapa pun. Berita mayat Akselly cukup menggemparkan karena dia orang terpandang. Polisi terus menyelidiki namun sia-sia, Maula cukup handal menyembunyikan jejak kejahatannya.
Setelah melewati deretan minggu yang penuh tekanan, dengan malam-malam panjang yang dihantui oleh anatomi, farmakologi, dan kasus-kasus klinis tiruan yang nyaris menyerupai nyata, akhirnya Maula Maximillian mencapai garis akhir semester genap.
Hari itu, derap langkah para mahasiswa kedokteran di lorong kampus Universidad Autónoma de Madrid terdengar lebih ringan dari biasanya—ujian terakhir telah usai, dan kalender akademik pun memberi nafas panjang yang begitu dinanti yaitu libur semester genap.
Bagi sebagian mahasiswa, libur itu hanyalah jeda akademik. Tapi bagi Maula, libur semester genap seperti momen langka di tengah medan perang—satu-satunya waktu dalam setahun di mana otaknya bisa berhenti memetakan letak organ dan dosis obat, meski hanya untuk sementara.
Tidak ada kuliah, tidak ada praktikum, tidak ada laporan harian atau jaga malam di ruang UGD. Hanya hening yang tidak memaksa, dan diam yang tidak menekan.
Libur itu berlangsung satu bulan penuh. Cukup untuk menyentuh kembali sisa-sisa dirinya yang sempat hilang dalam hiruk-pikuk fakultas kedokteran.
Cukup untuk merasakan waktu berjalan tanpa tenggat. Dan cukup untuk menyadari bahwa ketenangan bisa terasa asing, ketika terbiasa hidup di bawah bayang-bayang jadwal padat dan tekanan yang nyaris konstan.
Bagi Maula, libur semester bukan sekadar masa istirahat. Ia adalah batas tipis antara siapa dirinya sebagai manusia, dan siapa dirinya sebagai calon dokter.
Dan di batas itulah, ia memilih untuk berhenti sejenak—bukan untuk melupakan, tapi untuk mengingat bahwa ia masih hidup, sebelum dunia kedokteran kembali menelannya mentah-mentah.
“Papa, aku mau ikut dengan Sofia ke Palestina ya. Aku udah melakukan persiapan matang dan juga udah izin sebulan yang lalu kan.” Maula kembali memohon pada ayahnya melalui telepon.
“Jaga dirimu baik-baik, cukup ke sana untuk memberi bantuan kemanusiaan dan jangan berbuat yang aneh-aneh. Papa tidak mau kalau kamu tersakiti oleh siapapun. Mengerti.”
“Oke Pa. I love you.”
“Love you too.”
Maula bersiap untuk berangkat besok ke Palestina. Tanah kelahiran Sofia sebelum dia diadopsi oleh orang tuanya saat ini. Ya, gadis itu ternyata bukanlah anak kandung dari orang tuanya sekarang.
“Aku masih tidak menyangka kalau mereka bukan orang tua kandung kamu Sofia, pantas saja wajahmu lebih ke arab-arab gitu ketimbang Indonesia ya.” Sofia hanya tersenyum.
“Ya mau bagaimana, aku beruntung bisa diangkat anak oleh mereka.”
Mereka mengemasi beberapa barang yang akan di bawa, liburan satu bulan cukup untuk pergi menenangkan diri ke tanah yang cukup banyak menelan banyak korban.
Maula membuat janji dengan Rayden malam ini, dia pamit sekalian mengucapkan perpisahan karena Rayden juga akan ke New York untuk beberapa misi penting. Yaitu misi penaklukan wilayah yang dikuasai oleh mafia besar.
Malam menurunkan gemerlapnya di langit Madrid, dan lampu-lampu kota mulai berpendar lembut di antara bayang-bayang bangunan tua yang menjulang dengan anggun.
Di jantung kota, tersembunyi di balik gerbang besi tempa dan taman kecil berhiaskan lilin-lilin gantung, berdiri “Ramon Freixa Madrid”, restoran berbintang dua Michelin yang terkenal dengan sentuhan seni pada setiap hidangannya.
Di sinilah Rayden mengajak Maula menikmati malam yang tak biasa—sebuah malam yang ditata dengan ketenangan dan rasa hormat, seolah waktu itu sendiri sengaja melambat untuk mereka.
Maula melangkah masuk mengenakan gaun hitam satin yang sederhana tapi elegan, dan Rayden, dengan jas abu-abu yang pas di tubuh tegapnya, mempersilakannya duduk di meja yang telah dipesan jauh-jauh hari—tersembunyi di sudut balkon privat, menghadap taman kecil dan dinding batu tua yang menjalar anggur merah.
Pelayan datang dengan anggun, menyodorkan menu degustacion, sembilan hidangan eksklusif yang mewakili esensi Spanyol dalam bentuk paling artistik.
Malam itu dimulai dengan amuse-bouche berupa foam anchovy dengan krim lemon dan taburan debu zaitun hitam, yang meledak lembut di mulut dan menggoda indra tanpa berlebihan.
Disusul oleh carpaccio daging rusa yang disajikan dengan bunga segar dan cuka balsamic tua, berpadu dalam harmoni rasa yang membuat Maula terdiam beberapa detik hanya untuk menikmatinya tanpa gangguan.
Di piring ketiga, muncul lobster panggang dengan saus saffron dan risotto tinta cumi yang dimasak sempurna, aroma laut yang ditenangkan oleh kelembutan nasi dan aroma kunyit Spanyol.
Maula sesekali melirik Rayden di seberangnya, melihat pantulan cahaya lilin di mata pria itu yang malam ini tak banyak bicara, tapi justru terasa lebih hadir dari biasanya.
Hidangan utama, daging wagyu dengan foie gras dan jus anggur tempranillo, datang seperti potongan seni di atas kanvas porselen putih. Lembut, kaya, dan menyatu dalam satu gigitan yang seolah membuat dunia di luar restoran ini menghilang.
Saat makanan penutup tiba yaitu es krim almond pahit dengan serpihan emas dan saus ceri pahit.
Maula menyandarkan punggungnya, tersenyum kecil, dan membiarkan dirinya larut dalam kehangatan yang tidak datang dari makanan semata, tapi dari kebisuan nyaman di antara dua orang yang sedang menikmati satu malam istimewa dalam hidup mereka.
Rayden mengangkat gelas anggur putihnya, menatap Maula dengan lirih. “Untuk satu malam tanpa masa lalu dan tanpa beban,” ucapnya pelan.
Maula membalas dengan senyum samar. “Dan untuk malam yang mungkin takkan pernah terulang.”
Gelas beradu lembut. Cahaya lilin menari di sekeliling mereka. Dan waktu pun berhenti sejenak, membungkus keduanya dalam elegansi yang tenang, sebuah jeda indah di antara babak-babak kehidupan yang terlalu sering berdarah.
Selesai makan malam, Maula dan Rayden saling berpamitan. Mereka akan menuju negara yang berbeda dalam satu waktu. Rayden ke New York dan Maula ke Palestina.
“Aku mohon, jaga dirimu baik-baik ya. Jangan ceroboh lagi.” Rayden menggenggam tangan gadis itu penuh kelembutan.
“Iya, kamu juga ya.”
“Setelah misi ini selesai, aku akan memperkenalkan kamu pada dunia, memiliki kamu tanpa hambatan dan tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi kita lagi. Semua akan tunduk pada kita, aku janji, Piccola.” Rayden mencium punggung tangan gadisnya dengan mesra.
“Aku berharap hari itu tiba.”
Malam perpisahan yang indah itu mereka tutup dengan adegan ciuman panas di dalam mobil. Rayden yang terus memberikan rangsangan nikmat dan Maula yang memancing kehangatan tersebut.
Malam ini mereka merasa saling memiliki satu sama lain. Walau bukan melakukan hubungan intim layaknya suami istri.
...•••Bersambung•••...
...Coba tebak, badainya apalagi setelah ini? Rayden ke New York dan Maula ke Palestina. ...