Mengisahkan mengenai Debby Arina Suteja yang jatuh cinta pada pria yang sudah beristri, Hendro Ryu Handoyo karena Hendro tak pernah jujur pada Debby mengenai statusnya yang sudah punya istri dan anak. Debby terpukul sekali dengan kenyataan bahwa Hendro sudah menikah dan saat itulah ia bertemu dengan Agus Setiaji seorang brondong tampan yang menawan hati. Kepada siapakah hati Debby akan berlabuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ricuh Tak Berujung
Hari-hari Reksa kini diselimuti kekhawatiran yang mendalam. Hampir setiap hari ia menyempatkan diri datang ke rumah sakit jiwa untuk memantau kondisi putra satu-satunya, Hendro. Ia berharap bisa melihat sedikit perubahan, secercah harapan bahwa Hendro akan kembali normal. Namun, setiap kali ia bertemu dokter yang menangani Hendro, kabar yang diterimanya justru semakin memilukan.
Pagi itu, Reksa duduk di ruang tunggu, jantungnya berdebar cemas menanti dokter. Pikirannya melayang pada Nirmala, istrinya yang baru saja tiada. Betapa Nirmala pasti akan sangat sedih melihat kondisi putra mereka sekarang.
Tak lama kemudian, Dokter Bima, psikiater yang bertanggung jawab atas perawatan Hendro, datang menghampiri Reksa dengan wajah serius.
"Bagaimana kondisi Hendro, Dok?" tanya Reksa tanpa basa-basi, suaranya penuh harap.
Dokter Bima menghela napas panjang. "Sejujurnya, Pak Reksa, Hendro menunjukkan perkembangan yang cukup mengkhawatirkan. Selama dirawat di sini, ia menunjukkan perilaku yang semakin agresif."
Reksa menunduk, hatinya mencelos mendengar itu. Ia sudah menduga, namun tetap saja kabar ini terasa seperti pukulan telak.
"Ia seringkali mencoba menyerang petugas, baik perawat maupun staf lainnya. Kami harus meningkatkan dosis obat penenang untuk mengontrol perilakunya," lanjut Dokter Bima. "Dia masih sangat delusi, sering berteriak tentang Debby dan menuduh semua orang ingin memisahkannya dari wanita itu."
Reksa tak bisa berkata apa pun. Ia hanya bisa mengangguk lemah. Matanya berkaca-kaca membayangkan putranya yang dulu gagah, kini terkurung dalam kegilaan dan menyerang siapa saja. Rasa sakit, penyesalan, dan ketidakberdayaan bercampur aduk dalam dirinya. Ia merasa gagal sebagai seorang ayah.
"Kami sudah mencoba berbagai pendekatan terapi, Pak. Namun, setiap kali ia merasa terkekang atau keinginannya tidak dituruti, ia akan langsung mengamuk," tambah Dokter Bima, menjelaskan tantangan yang mereka hadapi. "Ini akan menjadi proses yang sangat panjang dan membutuhkan kesabaran luar biasa."
Reksa hanya bisa mengusap wajahnya yang lelah. "Saya mengerti, Dok. Lakukan apa pun yang terbaik untuk putra saya."
Pulang dari rumah sakit, Reksa berjalan gontai. Pikirannya dipenuhi bayangan Hendro yang mengamuk. Ia tidak tahu sampai kapan ia harus menghadapi kenyataan pahit ini. Kepergian Nirmala terasa semakin menyakitkan karena ia kini harus berjuang sendirian untuk Hendro yang semakin terjerumus. Ada secercah harapan kecil yang masih ia pertahankan, bahwa suatu hari nanti, putranya bisa kembali sadar dan menjalani hidup normal. Namun, dengan kondisi Hendro yang semakin agresif, harapan itu terasa semakin tipis dan sulit digapai.
****
Teriakan melengking Haryati dan tawa sinis Fathia terus menggema, memecah keheningan siang. Keduanya masih terlibat baku hantam yang brutal, saling menjambak dan menendang tanpa ampun di tengah jalan. Haryati, dengan amarah memuncak, berusaha keras membalas setiap serangan Fathia, sementara Fathia yang lebih muda dan gesit, terus mengejek dan menyerang balik dengan licik.
Suasana semakin ricuh dan heboh. Kabar perkelahian itu menyebar cepat dari mulut ke mulut, menarik lebih banyak warga untuk datang dan menyaksikan tontonan "gratis" ini. Mereka bergerombol, ada yang berbisik-bisik, ada yang terang-terangan tertawa, bahkan beberapa masih sibuk merekam dengan ponsel. Teriakan histeris dan sorakan dari kerumunan membuat segalanya makin kacau.
"Jambak terus, Tante!" teriak seorang warga, seolah menyemangati Haryati.
"Tendang saja, Mbak Fathia! Jangan mau kalah!" timpal yang lain, memihak Fathia.
Marcella, yang ada dalam gendongan Naura, sudah histeris. Ia menangis kencang, wajahnya memerah padam karena ketakutan melihat nenek dan bibinya saling menyerang. Naura sendiri panik bukan main. Ia berusaha menarik Haryati dari Fathia, namun ibunya terlalu kalap.
"Ibu! Marcella takut! Hentikan ini, Bu!" pinta Naura memohon, suaranya tercekat.
Pak Harjo, pemilik kontrakan, tampak pusing tujuh keliling. Ia sudah mencoba berkali-kali melerai, namun tenaganya tak cukup untuk memisahkan dua wanita yang sedang dikuasai amarah itu. Peluh membanjiri wajah tuanya.
"Sudah! Cukup! Kalian berdua! Hentikan sekarang juga!" teriak Pak Harjo, namun suaranya tenggelam dalam keramaian. Ia mencoba menarik Fathia dari Haryati, namun Fathia berontak.
"Bukan urusanmu, Pak Tua! Minggir!" Fathia membentak Pak Harjo, matanya melotot.
Haryati pun tak mau kalah. "Kamu minggir! Dia ini harus diberi pelajaran!"
Naura merasa putus asa. Ia melihat air mata Marcella yang terus mengalir, dan hatinya semakin sakit. Ibunya dan Fathia terus berguling-guling di tanah, rambut mereka sudah acak-acakan, pakaian kotor terkena debu. Ini adalah puncak dari semua penderitaan yang Fathia ciptakan. Ia merasa malu dan hancur melihat keluarganya menjadi tontonan yang memalukan.
Para warga bukannya kasihan, justru semakin menikmati pertunjukan itu. Mereka bertepuk tangan, bersorak, dan tertawa, seolah tidak ada empati sama sekali. Kebencian Fathia dan kegigihan Haryati dalam membela anaknya telah menciptakan kekacauan yang tak terkendali di tengah permukiman itu. Naura hanya bisa memeluk Marcella lebih erat, berdoa agar semua ini segera berakhir.
****
Kabar bahwa Hendro sudah dirawat di rumah sakit jiwa menyebar dengan cepat dan akhirnya sampai ke telinga Debby. Seketika, beban berat yang selama ini menghimpit dadanya terasa terangkat. Ia merasakan ketenangan dan kelegaan yang luar biasa. Dengan Hendro yang kini berada di bawah pengawasan medis, Debby yakin pria itu tidak akan bisa lagi berkeliaran dan mengganggu hidupnya, maupun hidup orang lain. Bayangan teror dan ancaman yang selama ini menghantuinya perlahan memudar, digantikan oleh rasa aman yang lama ia rindukan.
Sore itu, pulang bekerja, Debby memilih berjalan kaki melewati sebuah jalan yang sedikit berbeda dari rute biasanya. Ia ingin menikmati ketenangan batin yang baru ia rasakan. Namun, tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara riuh dan teriakan-teriakan. Semakin dekat, Debby melihat kerumunan warga yang mengelilingi sesuatu.
Rasa penasaran mendorong Debby untuk mendekat. Saat ia berhasil menembus kerumunan, pemandangan di depannya membuatnya terkejut. Di tengah kerumunan yang bersorak-sorai, dua wanita saling menjambak dan mendorong dengan brutal. Itu adalah Haryati dan Fathia. Keduanya tampak kalap dalam amarah, rambut acak-acakan, pakaian kotor.
"Ayo, jambak lagi! Jangan kasih kendor!" teriak seorang warga, diikuti gelak tawa.
"Tendang saja, Bu! Jangan mau kalah!" timpal yang lain, seolah sedang menonton pertunjukan.
Di samping mereka, seorang bapak tua yang belakangan Debby ketahui bernama Pak Harjo, tampak kebingungan dan frustrasi berusaha melerai. Wajahnya merah padam, menunjukkan betapa sulitnya menghentikan kedua wanita itu.
"Hentikan! Hentikan ini! Malu dilihat orang!" teriak Pak Harjo, namun suaranya tenggelam dalam keramaian.
Mata Debby kemudian menangkap sosok yang familiar. Di antara kerumunan, sedikit menjauh dari baku hantam, ada seorang wanita muda yang tengah terisak sambil memeluk seorang balita. Wanita itu adalah Naura, yang pernah memanggilnya "pelakor" di kafe beberapa waktu lalu. Naura tampak putus asa, wajahnya basah oleh air mata, memeluk erat Marcella yang juga menangis histeris. Debby bisa merasakan kesedihan dan keputusasaan yang terpancar dari Naura.