Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Undangan tak terduga
Kastil Ceaseton berdiri megah di tepi Samudra Aelion, tembok-tembok batu kelabu menjulang dengan lumut yang menua menandai usia bangunannya yang telah melintasi zaman. Burung-burung laut beterbangan di langit senja, dan suara ombak yang menghantam tebing-tebing karang menjadi latar alami bagi kesibukan yang tak pernah surut di dalam dinding kastil itu.
Para Ksatria Cahaya bergerak cepat di halaman dalam untuk berlatih rutin. Suara benturan pedang, ledakan sihir latihan, dan teriakan komando memenuhi udara. Beberapa dari mereka tengah menembus batas kemampuan ke tingkat Sayap Rohani. Sedangkan yang lain baru saja kembali dari perburuan makhluk Nether, makhluk-makhluk yang berasal dari alam kegelapan, membawa luka dan kisah ngeri yang tak lekang oleh waktu.
Namun jauh dari keramaian itu, di balik lorong-lorong tua dan ruang berukir simbol-simbol kuno, suasana jauh lebih tenang. Di sebuah ruangan bulat yang memiliki jendela tinggi menghadap lautan, Kate berdiri di hadapan salah satu tetua kastil, Archon Velmiras, ahli sihir tertua dan paling bijaksana dari Ordo Cahaya Ceaseton.
“Tetua Velmiras,” ucap Kate, dengan suara yang menyiratkan kegelisahan, “aku ingin bertanya tentang sesuatu yang mungkin seharusnya tidak kubuka.”
Sang tetua membuka mata perlahan dari semedinya. Jubah biru kelamnya berpendar samar, dan tongkat kristal di sampingnya bersinar lembut seperti napas bintang.
“Pertanyaan yang diawali dengan keraguan,” ujar Tetua Velmiras pelan, “sering kali menyimpan kebenaran yang lama terpendam. Katakanlah, Kate.”
Kate menghela napas, lalu melangkah maju. “Di lereng timur Gunung Ceaseton, kami menemukan altar sihir yang telah lama ditinggalkan. Kami berhadapan dengan penyihir kegelapan dan menjadikanku sebagai tumbal untuk membuka gerbang tiga dimensi dan membangkitkan sesuatu dari dalamnya.”
Velmiras tidak menyela. Matanya menyipit sedikit.
“Saat retakan terbuka,” lanjut Kate, “aku melihat sesuatu. Ia tidak menampakkan wujud utuh, hanya sepasang mata dalam kegelapan. Mata itu menatap balik ke arahku, bukan seperti makhluk Nether yang biasa. Rasanya seperti kehendak purba sedang menantikan kesempatan untuk melompat ke dunia ini.”
Hening menggantung sesaat. Tetua Velmiras akhirnya bangkit, langkahnya lambat menuju rak tua berisi gulungan kuno. Ia menarik satu dengan pelan, membukanya di meja batu di tengah ruangan.
“Yang kau lihat,” kata Tetua Velmiras, suaranya kini berat dan dalam, “bukan sekadar makhluk dari Nether. Itu adalah entitas yang melampaui batas hukum mana pun, makhluk perusak yang tidak tunduk pada hierarki dunia mana pun.”
Kate meneguk ludah. “Apa makhluk itu berasal dari Nether?”
“Tidak dan ya,” jawab Tetua Velmiras. “Makhluk itu dilahirkan dari kehampaan, namun tumbuh dari nafsu terdalam makhluk hidup seperti ketamakan, amarah, dan rasa ingin menguasai. Makhluk itu memanfaatkan pintu Nether sebagai saluran, tapi bahkan para Penguasa Nether tidak bisa menaklukkannya.”
“Lalu jika makhluk itu menembus ke Overworld apa yang terjadi?” bisik Kate.
“Kerusakan akan melampaui apa yang kita bayangankan. Tanpa Penjaga Overworld yang seperti yang kau tahu, menghilang tanpa jejak sejak Perang Seribu Bulan. Dunia ini tidak punya perisai alami. Satu-satunya jalan adalah membinasakannya.”
Kate terdiam, pikirannya berputar cepat. “Tapi bagaimana? Jika makhluk itu tidak tunduk pada hukum Nether, dan kekuatannya berasal dari semua sisi gelap makhluk hidup, lalu siapa yang cukup murni untuk melawannya?” desaknya.
Tetua Velmiras menatap dalam ke mata Kate. “Tidak satu orang pun. Tidak satu jiwa manusia pun yang dapat melawannya sendirian. Dibutuhkan para Ksatria level puncak, para pemilik Alam Abadi yang telah menyatu sepenuhnya dengan unsur alam dan cahaya.”
Ia berhenti sejenak, lalu berkata dengan nada yang hampir menyayat. “Dan bahkan mereka mungkin tak cukup.”
Kate mengalihkan pandangan ke jendela, menatap laut yang tak pernah tidur. Angin membawa aroma garam dan bayangan perang yang belum terjadi. “Aku pikir, ini baru permulaan.”
Tetua Velmiras mengangguk perlahan. “Dan tugasmulah memastikan gerbang itu tidak terbuka lagi. Setidaknya sampai dunia siap menghadapinya.”
***
Setelah pembicaraan soal gerbang tiga dimensi itu selesai, Kate meninggalkan ruangan Tetua Velviras. Langkah Kate terdengar bergema lirih di lorong panjang yang melingkar keluar dari ruang tetua. Sinar mentari yang menyusup dari jendela, memantulkan bayangannya ke permukaan batu tua. Sepanjang langkah kaki, pikirannya jauh dari ketenangan. Kata-kata Tetua Velmiras masih menggema di telinganya, menggumpal bersama rasa tak tenang yang tumbuh sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di lereng timur Gunung Ceaseton.
Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya, sebelum belokan lorong membawanya pada cahaya terang halaman kastil. Di bawah langit sore yang mulai jingga, area pelatihan tengah sibuk seperti biasa. Suara sabetan senjata bersahutan, tetapi pusat perhatian kini bukan pada latihan para ksatria, melainkan pada kerumunan kecil di sisi kanan halaman.
Kate memperlambat langkah. Di sana, berdiri dua tetua Ordo bersama sosok jangkung bersurai hitam mengenakan mantel kebesaran berbordir lambang burung perak. Kate menajamkan pandangan. Sosok yang tengah berbincang dengan Leon bukan wajah asing, meski hanya dikenalnya dari bisikan dan desas-desus yang menyusup dari dapur ke barak, dari koridor ke aula doa. Bangsawan baru dari tanah selatan, begitu para pelayan menyebutnya. Seorang dermawan yang baru-baru ini menyumbangkan emas dalam jumlah besar ke kastil, sebagai tanda persahabatan dan niat baik.
Saat mata mereka bersirobok, tubuh Kate menegang. Itu Damian yang menyamar menjadi manusia, berada di sini tepat di hadapannya. Sorot matanya tajam, dengan senyum menawan yang mematikan. Kini satu-satunya dorongan yang muncul adalah berbalik dan menghindar. Namun terlambat, karena Leon juga menoleh ke arahnya.
“Kate!” panggil Leon, melambai. Suaranya tenang seperti biasa, tidak menyadari sesuatu pun.
Kate menghentikan langkah. “Leon...” gumamnya pelan, nyaris mendesis.
Leon sudah melangkah mendekat dengan senyum bersahabat. “Kau datang tepat waktu. Ini Lord Damian dari Selatan. Beliau baru saja menyumbangkan lima peti emas murni untuk pelatihan ksatria baru.”
Kate menyipit. “Sungguh murah hati.”
Damian tertawa kecil. “Negeri yang aman adalah negeri yang pantas didukung, Nona Kate, bukan?”
Nada suaranya halus, tapi Kate menangkap nada lain yang tersembunyi. Ejekan terselubung, rasa senang melihatnya tak berdaya dalam situasi ini.
“Lord Damian ingin melihat-lihat bagian dalam kastil,” lanjut Leon. “Para tetua meminta seseorang yang cukup mengenal tiap sudut Ceaseton, dan tentu saja aku memilihmu.”
Kate menoleh perlahan, tatapan tajam ke Leon. “Kau yakin tidak ada orang lain yang lebih cocok?”
Leon tertawa, tidak sadar akan ketegangan yang menyelimuti keduanya. “Kau yang paling tahu jalur bawah dan menara atas. Lagi pula tidak setiap hari kita kedatangan bangsawan yang dermawan.”
Kate mengepalkan tangan di balik jubahnya. Jiwanya menolak, setiap instingnya menjerit untuk menolak. Namun dalam kondisi seperti ini tak seorang pun tahu identitas asli Damian, dan konfrontasi terbuka bisa berarti kehancuran reputasi atau bahkan pertumpahan darah. Ia tak punya pilihan.
“Baik,” kata Kate akhirnya, nada suaranya datar. “Aku akan mengantarnya.”
Damian tersenyum puas, seolah menandai kemenangan kecil. “Luar biasa. Aku sudah lama ingin melihat ruang penyimpanan artefak dan tempat para ksatria pemula dilatih. Semacam nostalgia pribadi.”
Kate menatap lurus ke depan. “Ikuti aku.”
Mereka berjalan berdampingan, meski dunia di antara mereka terasa seperti dua kutub yang hendak saling menghancurkan.
Damian berbisik sambil berjalan di samping Kate, nadanya ringan dan mengandung nada permainan yang berbahaya, “Aku nyaris lupa, betapa merindukannya aku pada istri kecilku ini.”
Kate menoleh tajam, rahangnya mengeras. “Berhenti memanggilku begitu.”
“Oh? Bukankah itu panggilan sayang yang kau terima dengan sangat pasrah waktu di Gunung Timur?” Damian menyeringai, matanya menyipit untuk memperhatikan reaksi Kate. “Kalau saja aku tidak datang saat itu, kau sudah menjadi tumbal sempurna bagi ritual gerbang. Tak ada ksatria lain yang cukup cepat menembus segel waktu seperti aku.”
“Jangan berlagak seperti pahlawan,” gumam Kate dingin. “Kau tidak menyelamatkanku. Kau hanya tidak ingin orang lain menyentuh mainanmu lebih dulu.”
Damian tertawa pelan, suara itu lebih dingin dari udara pegunungan. “Mainan, ya? Menarik. Aku lebih suka menyebutnya, milik pribadi yang sulit dijinakkan.”
Kate menahan diri untuk tidak menghantam dinding terdekat. Setiap kata dari pria itu menggiring emosinya pada batas. Namun ia tahu permainan ini tidak boleh dimainkan dengan emosi.
“Aku tahu kau melihat sesuatu di gerbang itu,” lanjut Damian, kini kembali dengan nada berbisik. “Dan aku tahu kau takut.”
Kate tidak menanggapi. Langkahnya tetap tegap, matanya tertuju lurus ke depan. Mereka menyusuri lorong-lorong kastil, tanpa banyak percakapan lagi. Hanya Damian yang terus memperhatikan Kate, sedangkan Kate tampak mengabaikannya.
Saat langkah kaki Kate dan Damian membawa mereka ke taman belakang kastil, sebuah tempat tenang yang jarang dikunjungi kecuali oleh para penyair tua atau ksatria yang ingin menyepi. Angin laut membawa aroma lembap tanah bercampur garam, dan cahaya senja menyusup di antara dahan pohon-pohon tua yang tumbuh sejak zaman pendirian kastil.
Kate berdiri membelakangi Damian, memandang kolam air yang tenang di tengah taman. Bayangan mereka berdua memantul di permukaannya, terpecah oleh angin lembut dan kelopak bunga yang berjatuhan.
“Aku ingin jawaban.” Suara Kate terdengar tegas, meski rendah. Cukup sudah, ia tidak bisa terus menahan ini.
Damian menoleh pelan. “Tentang apa?”
Kate memutar tubuhnya, menatap Damian tajam. “Makhluk yang hampir keluar dari gerbang itu. Kau ada di sana. Kau menghancurkan ritualnya dan menyelamatkanku. Tapi kenapa tidak kau musnahkan makhluk itu juga sekalian?”
Damian menyipitkan mata. Senyum samar terbit di bibirnya, seakan ia sudah menanti pertanyaan itu.
“Aku memang Pangeran Nether,” jawabnya ringan. “Tapi bukan berarti aku dewa dari tempat itu. Sama seperti seorang raja, aku bisa membuat hukum, bisa menghukum. Tapi aku tidak bisa mengendalikan setiap makhluk yang hidup di dalam kekacauan bangsaku.”
Kate mengepalkan tangan. “Kau tahu makhluk itu mengincarku. Kau tahu gerbang itu hampir terbuka sepenuhnya!”
Damian melangkah pelan mendekat, suaranya rendah dan tajam seperti pisau perak. “Justru karena itulah aku menghentikannya. Aku tidak suka ada yang menyentuh sesuatu yang milikku.”
Ia berhenti satu langkah dari Kate, menunduk sedikit, menatap wajah gadis itu dari balik helai rambutnya yang tertiup angin.
“Aku punya kuasa untuk memusnahkan makhluk Nether yang melanggar aturan. Termasuk siapa pun dan apa pun yang mencoba menyentuh istri kecilku.”
Kate mendesis, wajahnya memerah bukan karena malu, tapi amarah.
“Berhenti memanggilku begitu!” kata Kate ketus. “Aku bukan milikmu, dan aku bukan siapa-siapa bagimu, Damian!”
Damian hanya tertawa kecil, lalu duduk di bangku batu marmer dekat semak mawar ungu.
“Aku tahu kau belum sepenuhnya paham, Kate. Tapi waktumu semakin sedikit. Makhluk itu akan mencoba lagi, dan saat itu datang, hanya satu hal yang bisa menghentikannya.”
Kate menatap Damian, alisnya menyatu. “Siapa?”
Damian menatap lurus ke depan, senyumnya perlahan menghilang. “Aku bisa.”
Hening menggantung di antara mereka sebelum Damian melanjutkan.
“Tapi aku tidak ingin melakukannya sendiri. Aku ingin kau ikut menghancurkannya bersamaku.”
Kate tampak terkejut. “Apa maksudmu? Aku bahkan belum mencapai Cahaya Jiwa. Aku baru saja kembali dari titik nol karena arcaneku yang lama…” Suaranya tercekat, matanya menyala. “karena kau yang menghancurkannya!”
Damian memutar wajahnya, menatap Kate penuh kesungguhan. “Aku menghancurkannya karena arcanemu dulu dibentuk dengan pondasi rapuh. Kau mengandalkan kekuatan yang tidak kau pahami, bukan kekuatan yang berasal dari siapa dirimu sebenarnya.”
Kate menggeleng tak percaya. “Dan kau pikir aku bisa percaya begitu saja? Aku mati-matian membentuk ulang arcane baruku, tiap malam nyaris mengiris tubuh sendiri hanya untuk menyatu lagi dengan sihir. Dan sekarang kau muncul, mengaku tahu segalanya, dan memintaku membantumu?”
Damian berdiri perlahan. Tatapannya dalam, nyaris lembut, namun tetap mengandung sesuatu yang mengancam di bawah permukaannya.
“Kau akan tahu pada waktunya, Kate. Kau lebih dari yang kau bayangkan. Darahmu tidak sepenuhnya berasal dari dunia ini. Dan kekuatanmu yang sejati belum sepenuhnya bangkit.”
Kate terdiam, dadanya naik-turun oleh emosi yang menggelegak. Walau begitu di balik kemarahan itu, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan. Nada suara Damian bukan hanya kesombongan seperti biasanya, tapi keyakinan. Seolah ia tahu sesuatu yang belum Kate temukan dalam dirinya sendiri.
Namun sebelum ia sempat menjawab, suara langkah mendekat dari balik lorong batu taman menginterupsi keheningan mereka. Damian hanya menatapnya sekilas, sebelum kembali mengenakan senyum liciknya.
“Pikirkan tawaranku,” bisik Damian pelan. “Karena waktumu tak sepanjang yang kau kira.”
Suara langkah itu bergaung dari sisi lorong taman, pelan dan tegas. Kate menoleh cepat, begitu juga Damian. Dari balik bayang dinding batu, sosok Orion muncul dengan jubah ksatria putihnya setengah terbuka, wajahnya menyiratkan kelelahan dan kekesalan yang tak disembunyikan. Mata Orion segera tertuju pada Kate, lalu bergeser tajam pada Damian yang berdiri terlalu dekat di sisi gadis itu.
“Kate.” Suara Orion terdengar datar, namun dalam. “Aku mencarimu.”
Kate menghela napas. “Aku sedang…”
“Aku tahu kau sedang bersama siapa,” potong Orion, pandangannya tak beralih dari Damian.
Ketegangan di udara langsung terasa menebal. Damian tak menyembunyikan ketidak senangannya, sorot matanya berubah dingin dalam sekejap. Namun alih-alih menjauh, ia justru melangkah lebih dekat ke Kate, lalu merangkul pinggang gadis itu tanpa sungkan. Membuat Kate kaku seketika.
Damian tersenyum tipis ke arah Orion, suaranya halus namun mengandung racun tersembunyi. “Kau datang tepat waktu, Orion. Aku sedang menyampaikan undangan pada istri kecilku ini.”
“Istri kecilmu?” Orion menatap Kate, seakan menuntut penjelasan.
Kate membuka mulut, tapi Damian lebih dulu berbicara. “Dia akan datang ke mansionku besok. Aku sudah menyiapkan kejutan, pesta kecil dengan agenda yang cukup penting,” tambahnya dengan anggukan malas, “seluruh Ksatria Cahaya juga mendapat undangan yang sama. Bahkan kau juga, Orion.”
Orion mendekat satu langkah, bahunya menegang, namun tetap menjaga nadanya tetap dingin. “Baik. Aku akan datang.”
Tatapan mereka saling mengunci. Dua kutub kekuatan, dua aura yang tak mungkin berdamai. Kate berdiri di antara keduanya, merasakan tekanan luar biasa dari energi yang mereka pancarkan. Ia merasa seperti sekeping batu di antara dua aliran sungai yang berlomba menghancurkan satu sama lain.
“Leon tadi mengatakan keretamu sudah siap,” kata Orion pada Damian tanpa melunak sedikit pun.
Damian perlahan melepaskan rangkulannya, tapi tidak sepenuhnya tanpa pesan. Sentuhannya menyusup pelan ke tangan Kate sebelum menjauh, seperti tanda peringatan terakhir.
“Kalau begitu sampai jumpa besok, sayang,” gumam Damian, lalu menoleh kepada Orion dengan senyum dingin. “Dan satu hal lagi, Orion.”
Orion menatapnya diam, rahangnya mengeras.
Damian mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya nyaris hanya terdengar oleh Orion dan Kate. “Berhenti mendekati milikku.”
Kate menahan napas. Namun Orion tidak bergeming, ia hanya membalas dengan satu kalimat, datar dan tajam.
“Dia bukan milik siapa pun.”
Damian tersenyum, tetapi kali ini tidak ada lagi kemanisan palsu di wajahnya. Ia melangkah pergi perlahan, jubah hitamnya melambai lembut saat bayangannya menghilang ke balik lengkungan lorong taman.
Orion mengalihkan perhatian pada Kate, nadanya jauh lebih lembut dari sebelumnya. “Kau baik-baik saja?”
Kate mengangguk, meski tidak sepenuhnya yakin.
“Besok kau benar-benar akan pergi ke mansion itu?” tanya Orion, suaranya menahan sesuatu yang belum selesai.
“Dia mengundang semua orang,” jawab Kate. “Aku harus tahu apa yang dia rencanakan.”
Orion menatap langit sebentar, lalu kembali memandang Kate. “Kalau begitu, aku akan tetap di dekatmu.”
Kate menunduk sedikit. “Terima kasih Orion.”
Untuk sesaat, taman belakang kastil Ceaseton hanya diisi oleh suara malam dan dua sosok yang diam-diam saling menjaga dalam ketidak pastian yang semakin pekat.