NovelToon NovelToon
CEO'S Legal Wife

CEO'S Legal Wife

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: salza

Leora Alinje, istri sah dari seorang CEO tampan dan konglomerat terkenal. Pernikahan yang lahir bukan dari cinta, melainkan dari perjanjian orang tua. Di awal, Leora dianggap tidak penting dan tidak diinginkan. Namun dengan ketenangannya, kecerdasannya, dan martabat yang ia jaga, Leora perlahan membuktikan bahwa ia memang pantas berdiri di samping pria itu, bukan karena perjanjian keluarga, tetapi karena dirinya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon salza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

Leora masih duduk di tepi kolam ketika langkah pelan terdengar dari belakang.

“Permisi, Nyonya,” suara lembut Bu Neni menyapanya.

Leora menoleh.

“Iya, Bu?”

Bu Neni tersenyum sopan.

“Sebentar lagi sudah hampir pukul enam sore. Sebaiknya Nyonya mandi dan beristirahat.”

Leora refleks mengangkat pergelangan tangannya, menatap jam tangan yang melingkar di sana. Jarumnya memang hampir menyentuh angka enam.

“Oh… iya,” katanya pelan. “Sampai aku lupa jam.”

Bu Neni menunduk sedikit.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya.”

Leora mengangguk.

“Terima kasih, Bu.”

Bu Neni pun melangkah pergi, meninggalkan Leora yang akhirnya berdiri dan berjalan menuju dalam rumah. Langkahnya pelan saat menaiki tangga menuju kamar utama.

Namun baru saja ia sampai di depan kamar, pintu di hadapannya terbuka.

Leonard keluar.

Ia sudah berganti pakaian—jas hitam terpasang rapi, dasi merah terikat sempurna di lehernya, sepatu hitam mengilap mengkilat di bawah cahaya lampu koridor. Penampilannya dingin dan profesional, seolah siap menghadapi dunia di luar rumah ini.

Leora refleks bertanya,

“Kemana?”

Leonard tidak menatapnya sama sekali. Langkahnya tidak melambat.

“Ke kantor.”

Leora berbalik mengikutinya dengan pandangan, sedikit terkejut.

“Bukannya tadi Ayah menyuruhmu mulai bekerja besok pagi?”

Leonard terus berjalan menyusuri koridor, tangannya meraih ponsel. Tanpa menoleh, ia menjawab datar,

“Tidak ada urusan yang lebih penting daripada klien.”

Lalu ia melangkah pergi begitu saja, menuruni tangga, meninggalkan suara langkah yang perlahan menghilang.

Leora berdiri diam di depan kamar. Tangannya menggenggam gagang pintu, dadanya terasa sesak tanpa ia tahu pasti kenapa.

"Dih emang ada yang lebih penting daripada istri sendiri"

Dalam hati Leora sambil menatap kepergian Leonard.

Leora masuk ke kamar mandi setelah menutup pintu kamar. Ia menyalakan lampu, lalu berdiri sejenak di depan wastafel. Pantulan wajahnya di cermin tampak lelah bukan karena perjalanan, tapi karena hari yang terlalu penuh.

Ia membuka keran, membasuh wajahnya perlahan. Air dingin menyentuh kulit, membuatnya sedikit tersadar.

“Aku benar-benar lupa waktu…” gumamnya pelan.

Leora lalu mandi singkat. Tidak lama—sekadar membersihkan diri dan menenangkan pikiran. Setelahnya, ia berganti pakaian yang lebih nyaman, menyisir rambut seadanya, lalu melirik jam sekali lagi sebelum keluar kamar.

Perutnya terasa kosong.

Leora menuruni tangga menuju ruang makan.

Begitu ia tiba, Bu Sari dan Mila langsung menyambut dari dekat meja makan yang sudah tertata rapi.

“Selamat malam, Nyonya,” sapa Bu Sari ramah.

“Makan malam sudah siap.”

“Iya, Non,” tambah Mila sambil tersenyum. “Silakan duduk.”

“Terima kasih, Bu. Terima kasih, Mila,” jawab Leora sopan sambil menarik kursi.

Ia duduk. Sekilas matanya melayang ke kursi di seberangnya—tetap kosong. Bu Sari menangkap arah pandang itu dan tersenyum kecil.

“Tuan Leonard memang begitu, Nyonya,” katanya pelan, seolah sudah sangat terbiasa.

“Suka bekerja tanpa mengerti waktu, non.”

Leora tersenyum tipis.

“Oh… begitu ya.”

“Iya,” sambung Mila. “Kadang baru pulang saat rumah sudah benar-benar sepi.”

Leora mengangguk pelan. Ia mengambil sendok, tapi sebelum mulai makan, ia melihat Bu Sari dan Mila berbalik hendak kembali ke dapur.

“Bu… Mila,” panggil Leora.

Keduanya berhenti dan menoleh.

“Temani saya makan,” kata Leora lembut.

“Ikut makan juga tidak apa-apa.”

Bu Sari tampak terkejut.

“Tidak perlu, Nyonya. Kami—”

“Tidak apa-apa,” potong Leora sambil tersenyum kecil.

“Anggap saja kita ini keluarga.”

Ucapan itu membuat Bu Sari dan Mila saling pandang. Wajah mereka melunak.

“Kalau begitu… terima kasih, Nyonya,” ujar Bu Sari akhirnya.

Mereka pun duduk, menjaga sikap sopan. Meja makan yang tadinya terasa terlalu besar kini terasa sedikit lebih hangat.

“Bu Sari,” panggilnya lembut.

“Iya, Nyonya?”

“Rumah ini… sudah lama dihuni?” tanya Leora hati-hati.

Bu Sari tersenyum tipis, seolah memilih kata.

“Plot C jarang ditempati lama, Nyonya. Biasanya hanya digunakan saat keluarga Alastair butuh tempat tinggal terpisah.”

Leora mengangguk pelan.

“Pantas rasanya rapi sekali.”

“Iya,” sambung Mila. “Semua selalu disiapkan, meski tidak selalu dipakai.”

Leora terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil.

“Berarti rumah ini memang… menunggu.”

Bu Sari menangkap maksud itu.

“Sekarang tidak lagi, Nyonya,” katanya lembut. “Sekarang sudah ada penghuninya.”

Kata-kata sederhana itu membuat dada Leora terasa sedikit hangat.

“Kalau boleh tahu,” lanjut Leora, “Tuan Leonard… memang sering pulang larut?”

Bu Sari mengangguk pelan.

“Sejak dulu begitu. Pekerjaan selalu jadi yang utama.”

Leora menunduk sebentar.

“Begitu ya…”

“Tapi,” Bu Sari menambahkan pelan, “Tuan itu orangnya bertanggung jawab. Hanya… caranya saja yang kaku.”

Leora tersenyum tipis, mencoba memahami.

“Saya akan belajar menyesuaikan diri.”

Bu Sari menatap Leora dengan pandangan lembut.

“Nyonya sudah melakukannya dengan baik.”

“Bu Sari…” panggilnya hati-hati.

“Iya, Nyonya?”

“Maaf kalau lancang,” ucap Leora pelan, “saya hanya ingin tahu… kalau boleh, gaji yang Ibu dan yang lain terima di sini berapa?”

Bu Sari sedikit terkejut, tapi tidak tersinggung. Ia justru tersenyum kecil.

“Tidak apa-apa, Nyonya,” katanya tenang.

“Untuk saya sendiri, gaji per bulan lima puluh juta.”

Sendok di tangan Leora berhenti di udara.

“—Khek!”

Leora tersedak. Mila yang duduk di sampingnya langsung berdiri, mengambilkan segelas air dan menyodorkannya cepat.

“Minum dulu, Nyonya.”

Leora menerima gelas itu, meneguk beberapa kali sampai napasnya kembali teratur. Ia menatap Bu Sari dan Mila dengan mata membulat.

“Maaf,” katanya, lalu spontan berseru,

“What—lima puluh juta?!”

Bu Sari mengangguk ringan, seolah itu hal biasa.

“Itu bahkan lebih banyak dari gaji para pegawai negeri, Bu…” lanjut Leora, masih setengah tidak percaya.

Mila tersenyum kecil.

“Di Alastair Group, kesejahteraan pegawai memang sangat diperhatikan, Nyonya.”

Leora menghela napas pelan, lalu tertawa kecil tak percaya.

“Pantas saja semuanya terasa… terlalu sempurna.”

Leora menunduk, mengaduk makanannya pelan.

Lima puluh juta…

Angka itu berputar di kepalanya, terlalu besar untuk sekadar disebut sebagai “gaji pembantu”.

Jadi seperti ini dunia mereka, batinnya.

Bahkan orang-orang yang bekerja di sekitar mereka pun hidup dengan sangat layak.

Ia mengangkat wajahnya kembali, menatap Bu Sari dengan pandangan berbeda—bukan lagi sekadar pembantu rumah, tapi seseorang yang benar-benar dihargai.

“Sejak lama saya bekerja untuk keluarga Alastair, Nyonya,” lanjut Bu Sari, suaranya tenang, penuh keyakinan.

“Bukan hanya soal gaji.”

Leora mendengarkan.

“Mereka tidak pernah memperlakukan kami seperti orang luar,” kata Bu Sari.

“Anak-anak kami disekolahkan dengan baik, saat sakit kami tidak pernah dibiarkan mengurus sendiri. Bahkan saat saya kehilangan suami dulu…”

Bu Sari berhenti sejenak, lalu tersenyum tipis.

“Tuan Lee yang mengurus semuanya.”

Leora terdiam. Dadanya terasa sedikit sesak.

Jadi ini alasan mereka begitu setia, pikirnya.

Bukan karena takut, tapi karena dihargai.

Mila menimpali pelan,

“Bekerja di sini tidak membuat kami merasa kecil, Nyonya.”

Leora mengangguk perlahan.

“Saya… senang mendengarnya.”

Bu Sari menatap Leora lembut.

“Kami juga senang, Nyonya. Karena sekarang, Tuan Leonard tidak sendirian lagi.”

Ucapan itu membuat Leora terdiam lebih lama dari sebelumnya. Ia menunduk, menyembunyikan ekspresi yang tiba-tiba sulit dijelaskan.

Tidak sendirian…

Entah kenapa, kalimat itu terasa berat sekaligus hangat di dadanya.

Makan malam pun berakhir dengan suasana yang jauh lebih tenang dari yang ia bayangkan sejak sore tadi.

Leora menghabiskan beberapa suapan terakhirnya. Ia lalu menoleh ke sekeliling ruang makan yang luas itu, matanya mengikuti detail-detail mahal yang sejak tadi ia perhatikan.

“Bu Sari,” katanya pelan.

“Iya, Nyonya?”

“Biasanya… rumah ini ramai?” tanya Leora.

Bu Sari tersenyum kecil.

“Tidak terlalu, Nyonya. Plot C memang lebih tenang dibanding rumah utama.”

“Jadi memang sengaja dibuat seperti ini?” tanya Leora lagi.

“Iya,” sahut Mila. “Supaya lebih privat.”

Leora mengangguk pelan.

“Pantas rasanya sunyi sekali.”

“Sunyi tapi aman,” tambah Bu Sari.

“Semua orang di sini sudah terbiasa menjaga batas.”

Leora tersenyum tipis.

“Saya harap… saya juga bisa terbiasa.”

Bu Sari menatapnya lembut.

“Nyonya tidak perlu memaksakan diri. Rumah ini akan menyesuaikan dengan penghuninya.”

Ucapan itu membuat Leora terdiam sejenak.

Rumah menyesuaikan penghuninya…

Kalimat itu terdengar sederhana, tapi entah kenapa terasa menenangkan.

Mila berdiri pelan.

“Kami rapikan meja dulu ya, Nyonya.”

Leora menggeleng cepat.

“Tunggu sebentar.”

Keduanya berhenti.

“Terima kasih sudah menemani saya makan,” kata Leora tulus.

“Saya tidak merasa sendirian.”

Bu Sari tersenyum hangat.

“Itu yang paling penting, Nyonya.”

1
pamelaaa
bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!