Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warisan Luka
Suasana ruang tamu itu senyap. Aroma teh melati di cangkir kecil mengambang di udara, namun tak seorang pun menyentuhnya. Rendi masih duduk di hadapan Bu Ratna, tangan saling mengatup di atas lutut, menahan gemetar yang dari tadi belum juga reda.
Sementara itu, Bu Ratna menatap langit-langit rumah yang sudah lama ia tinggali. Matanya kosong. Tapi batinnya penuh. Terlalu penuh.
“Kenapa harus menurun kepadamu, Nak…” lirihnya, tanpa menoleh.
Rendi menengadah pelan. Suara itu bukan marah. Bukan juga makian. Tapi jauh lebih menyakitkan dari itu sebuah luka yang terlalu lama dipendam hingga ia lupa bagaimana caranya berdarah.
“Saya… nggak pernah niat, Bu,” bisik Rendi, menunduk dalam. “Saya cuma salah langkah. Saya pikir bisa selesai sendiri dan bisa tanggung jawab…”
“Selesai ?” Potong Bu Ratna, kali ini ia menoleh. “Kamu kira cinta itu bisa selesai begitu saja ? ”
Rendi terdiam. Patah.
“Kamu tahu kenapa Alisya nggak pernah kerja? Kenapa dia rela meninggalkan gelar dan kesempatan yang banyak perempuan impikan?”
Rendi menggeleng pelan.
“Karena dia tahu sakitnya ditinggalkan,” jawab Bu Ratna lirih, matanya mulai berkaca-kaca. “Karena dia pernah nunggu di jendela bertahun-tahun. Nunggu ayahnya pulang, padahal dia nggak akan pernah balik.”
Rendi memejamkan mata, dadanya sesak. Tapi Bu Ratna belum selesai.
“Waktu Alisya umur tujuh tahun, Ayahnya pulang bawa perempuan. Namanya Mayang. Dengan tenang bilang kalau mereka sudah menikah. Katanya cinta. Katanya bahagia.”
Bu Ratna tertawa pelan tawa getir yang menggantung di udara.
“Kamu tahu apa yang Alisya lakukan waktu itu? Dia sembunyi di belakang pintu, bawa boneka rusaknya, dan nggak keluar sampai pagi.”
Sunyi.
Rendi tak sanggup menatap wajah ibu itu. Wajah yang kini mengisahkan bukan hanya kehilangan, tapi juga warisan luka yang kini kembali menggenangi keluarganya.
“Waktu SMA, dia lihat Ayahnya di restoran. Sama keluarga barunya. Merayakan ulang tahun anak laki-lakinya, Reza. Ulang tahun ke-10. Tepat di depan matanya. Dan ayahnya cuma… memperkenalkan anak barunya. Bangga. Tanpa menoleh ke arah Alisya.”
Bu Ratna menunduk, memeluk dirinya sendiri. Seolah tubuhnya sudah terlalu lelah menahan semua kenangan itu.
“Pernah aku tanya, ‘Kenapa nggak nyapa, Sayang?’” suara Bu Ratna mulai bergetar. “‘Karena Ayah nggak lihat aku sebagai anaknya lagi, Bu,’ begitu dia jawab.”
Air mata akhirnya jatuh juga. Namun cepat-cepat ia seka. Tak ingin terlihat rapuh di hadapan menantunya. Tapi sorot matanya tak bisa berdusta.
“Dan hari ini, kamu… orang yang dia pilih buat jadi rumahnya, malah mengulang luka yang sama.” Suaranya pecah.
Rendi menggigit bibir. Matanya panas. Hatinya seperti digores belati. “Saya salah, Bu… saya… saya cuma pengen…”
“Pengen apa, Ren?” suara Bu Ratna naik, “Pengen cinta yang lain? Pengen bahagia yang baru? Kau pikir cinta itu tempat persinggahan?”
Rendi menunduk lebih dalam. Tangisnya menetes.
“Empat bulan saya sembunyiin semua ini dari dia, Bu. Tapi saya nggak kuat. Saya lihat Rasya... saya lihat mata Alisya... saya ngerasa kecil. Ngerasa kotor.”
Keheningan kembali.
Lalu pelan, Bu Ratna bicara lagi. Suaranya kali ini sangat pelan, nyaris seperti gumaman.
“Alisya bilang... dia nggak kerja supaya Rasya punya rumah yang utuh. Supaya dia nggak ngerasa ditinggal, seperti dia dulu. Tapi ternyata... justru kamu yang pergi.”
Rendi menatap Ibu Ratna, pelan. “Saya mau cari dia, Bu. Saya mau perbaiki semua…”
“Kamu bisa cari tubuhnya, Ren.” Suaranya tegas.
“Tapi hatinya?” lanjut Bu Ratna sambil menatap tajam, “Kamu yakin masih bisa kamu pulangin?”
Rendi terdiam. Lalu ia jatuh berlutut di depan Ibu, menggenggam tangan renta yang sudah melewati badai kehidupan.
“Saya nyesel, Bu. Saya benar-benar nyesel. Kalau bisa, saya mau kembali ke hari sebelum semua ini saya mulai.”
Air mata tak tertahankan lagi. Tapi penyesalan, seperti luka, kadang datang ketika segalanya sudah telanjur retak.
Dan di ruang tamu yang sunyi itu, hanya suara napas sesak dan doa-doa lirih yang bergema. Doa agar cinta tak benar-benar pergi. Doa agar anak perempuan bernama Alisya... masih mau pulang.
......................
Hanya ada penyesalan yang menggumpal, dari seorang laki-laki yang tak pernah benar-benar tegas pada cintanya
Ibu Ratna telah mencoba menghubungi Alisya tiga kali panggilan, namun tak satu pun dijawab. Ia akhirnya menyerah, meletakkan ponselnya dengan pasrah, seolah menerima kenyataan yang belum sanggup ia uraikan.
“Pulanglah, Ren.. Ibu tak marah , Ibu pun tak membencimu , Yang ibu rasakan hanya kecewa. Tapi terima kasih... karena kau datang sendiri, karena kau memilih jujur, hingga ibu mendengar kebenaran ini langsung dari anak ibu, bukan dari angin yang berlalu," ucap Ibu Ratna dengan suara yang tenang, namun kosong dari air mata justru karena luka itu terlalu dalam untuk sekadar ditangisi.
Rendi berdiri hendak memeluknya.
Namun sebelum langkah itu terwujud, ponsel Ibu Ratna berdering. Nama yang terpampang membuat waktu seakan berhenti Alisya Putriku.
Rendi menatap layar ponsel itu sejenak, jantungnya berdegup, dadanya sesak menanti kabar yang akan datang melalui suara perempuan yang paling ia rindukan.
"Assalamu’alaikum... Ibu, ada apa?" suara lirih itu terdengar serak, patah, dan jelas berasal dari tangis yang tak berhenti sepanjang waktu.
"Wa’alaikumsalam... Nak, kamu di mana?"
Nada Ibu Ratna bergetar, mencoba menahan tangis yang mulai membasahi pipinya. "Kamu baik-baik saja, sayang?"
"Di rumah, Bu... sama Mas Rendi." Hanya itu yang terdengar dari seberang. Pelan, namun cukup untuk menghantam dada.
Ibu Ratna tak lagi mampu menahan tangis. Air matanya pecah, luruh bersama luka yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata. Rendi menunduk, wajahnya dipenuhi penyesalan. Ponsel itu masih dalam mode pengeras suara dan suara Alisya pun memenuhi ruang, seolah ia hadir di sana.
"Kamu jangan menangis sendirian, Nak. Datanglah ke Ibu… Ibu tahu semuanya..." Suara Ibu Ratna parau, bergetar. Ia bicara bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan rindu, marah, dan cinta yang campur aduk jadi satu.
Tak ada balasan dari Alisya, hanya isakan yang terdengar.
Tangisnya menjalar lewat gelombang suara , seperti pelukan dalam kejauhan yang meski tak bisa menyentuh,
tetap terasa dekat di dada.
Rendi melangkah keluar dari rumah dengan langkah berat, menghindari pandangan siapa pun terutama kemungkinan melihat Alisya dalam tangisnya. Ia tahu, menyaksikan air mata perempuan itu hanya akan menambah luka di dadanya yang telah robek. Ia memilih pergi… agar tidak lebih hancur lagi.
Dari ambang pintu, Ibu Ratna hanya menatapnya. Tak ada kata. Hanya sebuah anggukan pelan, sebagai isyarat bahwa ia diizinkan pulang meski pulang bukan lagi tentang tempat, melainkan luka yang harus dibawa ke mana pun ia pergi.
Rendi masuk ke dalam mobilnya. Sunyi.
Hanya ada desah napas yang berat dan suara detik jam yang terasa menggema. Tangannya gemetar di atas setir, lalu mengepal kuat-kuat, sebelum akhirnya memukulnya sekali, dua kali, seperti hendak mengusir rasa sesal yang terlanjur tumbuh liar.
“Harus bagaimana aku, Sya…” bisiknya, parau.
“Aku bingung... Aku cinta kamu... Cinta yang tak pernah berkurang sedikit pun...” Suara Rendi nyaris tak terdengar.
“Aku menyesal... Sungguh...Aku laki-laki paling bodoh…
Yang tak bisa menjaga apa yang paling ia cinta…
Yang membiarkan pernikahan terjadi bukan karena cinta,
tapi karena paksaan yang kini menghancurkan semuanya…”Air matanya jatuh tanpa aba-aba.
Di tengah gelap mobil yang tertutup jendela, ia sendirian
bersama bayang wajah Alisya, senyum Rasya, dan pernikahan yang tak pernah ia inginkan…
pernikahan yang kini membunuh cinta dalam diam.
pokok nya bunga hrs smp hidup mnderita lbih dr alisha. semoga hbis ini viral bunga pelakor.
rasha sdh di cuci otaknya biar dekat dng rendi dan bunga. kasian bnget alisha suami di rampas Sekarang rasha pun akn di rampas.
dan g sabar melihat hidup lisya bersinar & bahagia di tangan laki" yg tepat... setia..
dasar valakor sok baik semoga karma mu cpt sampai bunga Bangkai.
keknya emang sengaja mnegaskn klo dia satu"nya istri rendi....
pelakor di mn" tetaplah jiwanya serakah....
selamat bunga... km brhasil merampas suami orang... kelak tak mnutup kmungkinan... km jga akn khilangan hasil curianmu...
trus rendi bawa bunga jemput rasha.
penulisnya bner bner berpihak ma pelakor.
Sekarang alisha saja di bikin hamil kan.
sungguh penulis pemuja pelakor. penderitaan alisha terus di tambah tp gk Ada balesan untuk rendi dan bunga.
gedek banget.
lebih semangat Thor.
lebih gereget biar pembaca nya ngk bosan.