Sebuah bakti kepada orang tua, mengharuskan perempuan berumur 27 tahun menikah dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya yang selama ini ia anggap sebagai adik. Qila yanh terbiasa hidup mandiri, harus menjalani pernikahan dengan Zayyan yang masih duduk di bangku SMA. “Aku akan membuktikan, kalau aku mampu menjadi imam!” Zayyan Arshad Qila meragukannya karena merasa ia lebih dewasa dibandingkan dengan Zayyan yang masih kekanakan. Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja? Bagaimana keduanya menghadapi perbedaan satu sama lain? Haloo semuanya.. jumpa lagi dengan author. Semoga kalian suka dengan karya baru ini.. Selamat membaca..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Training Dadakan
Ujian sekolah menengah atas yang dilaksanakan secara serempak selama 10 hari, akan dimulai hari Senin besok. Zayyan yang sudah mempersiapkan materi yang diperlukan merasa lega karena semua mata Pelajaran sudah terlalui dan semua materi telah ia kuasai.
“Abang sudah siap untuk ujian besok?” tanya Qila yang menghubungi suaminya.
“InsyaAllah siap.”
“Apa perlu kita tidak berhubungan dulu agar Abang bisa fokus?”
“Tidak perlu sampai seperti itu. Aku masih bisa menemanimu balas pesan dan telepon setelah pulang sekolah.”
“Oke.”
Di hari pertama ujian, Qila menunggu kabar dari suaminya yang menjalani ujian. Pagi ini ia hanya sempat memberikan semangat dengan mengirimkan pesan teks karena tidak ingin membuyarkan fokus suaminya.
“Bagaimana ujian suamimu?” tanya Kiki.
“Belum tahu. Ini masih jam 10, Abang belum memberikan kabar.” Jawab Qila yang melihat jam tangan.
“Apa rencana kalian selanjutnya setelah Zayyan lulus?”
“Abang akan lanjut kuliah.”
“Lalu, siapa yang menjaga anak kalian?”
“Ayah dan Ibu.”
“Apa kamu tidak kepikiran untuk resign?”
“Resign?” Qila menghentikan tangannya yang menari di atas keyboard.
“Ya. Memangnya kamu mau bekerja seperti ini terus?”
“Aku belum memikirkannya.”
“Sebaiknya kamu pikirkan. Jangan sampai kamu seperti Mbak Ira dan Mas Bowo yang tidak mau mengalah!”
“Apa sampai sekarang Mbak Ira dan Mas Bowo masih sama-sama bekerja?”
“Masih! Mereka tidak ada yang mau mengalah karena jabatan keduanya sama-sama sudah tinggi. Kasihan Amir yang harus hidup dengan pengasuh.” Qila terdiam.
Ia memang belum terpikirkan untuk resign karena masih menikmati pekerjaannya. Tetapi jika ia sudah memiliki anak, berbeda lagi keadaannya. Apalagi suaminya juga akan masuk kuliah. Mereka akan sama-sama sibuk ke depannya dan bagaimana dengan anak mereka?
Apa yang dikatakan Kiki ada benarnya. Ia perlu merundingkannya dengan Zayyan nanti.
Saat istirahat jam makan siang, Qila menerima panggilan dari Zayyan. Sambil makan siang, keduanya berbincang seputar ujian yang dilalui Zayyan.
Zayyan mengatakan jika dirinya masih bisa mengatasinya karena materi yang telah persiapkan keluar dalam mata Pelajaran ujian. Qila tetap memberikan semangat kepada Zayyan sampai ujian di hari terakhir.
Suami: Mungkin aku akan telat menghubungimu karena ada rapat panitia perpisahan. Nanti aku akan menghubungimu saat aku sudah selesai.
Istri Imutku: Semangat Abang!
“Apa tidak sebaiknya kamu izin, La?” tanya Ana yang melihat wajah pucat Qila.
“Qila baik-baik saja, Bu.”
“Kamu sedang berbadan dua, atasan kamu akan memaklumi kalau kamu cuti.”
“Qila yang tidak nyaman, Bu. Sejak kehamilan, Qila sudah mengambil cuti sedikit demi sedikit sampai hanya tersisa beberapa hari jatah cutinya.”
“Bukannya itu hak kamu?”
“Ya memang hak Qila. Tetapi orang-orang tidak mau tahu, Bu. Daripada Qila diomongin yang tidak baik, lebih baik Qila masuk kerja.”
“Jangan memaksakan diri!”
“Iya, Bu.” Qila yang sudah siap berpamitan dan berangkat bekerja.
Sesampainya di tempat kerja, atasan Qila tiba-tiba memberikan jadwal training untuknya. Saat ia meminta diisi yang lain, atasannya tidak mau dan memaksa Qila yang berangkat karena training kali ini penting untuknya.
“Bukankah training semacam ini sering diadakan, Bos?” tanya Qila yang masih enggan untuk berangkat.
Selain karena kehamilannya, Qila tidak bisa membawa suaminya karena Zayyan masih fokus dengan ujian.
“Sering diadakan, tetapi kalau kamu tidak dapat kuota tidak akan bisa ikut. Kamu harus berangkat kalau tidak mau melewatkan kesempatan. Hamil bukan berarti kamu tidak bisa melakukannya.” Qila menghembuskan nafas dalam.
Ia tidak bisa membantah kecuali ia siap mengundurkan diri. Qila kembali ke mejanya dengan wajah cemberut. Vino yang ada di sampingnya segera bisa menebak mengapa Qila berwajah seperti itu karena ia juga mendapatkan jadwal training yang sama.
“Sudahlah! Nikmati saja. Jarang-jarang kita bisa ke Kota Metro.”
“Ya memang jarang, tapi lihatlah perutku!” Qila menunjuk perutnya yang sudah terlihat bulat.
“Bawa saja suamimu!” Qila tidak menjawab.
Jadwal training yang mendadak seperti ini, bagaimana ia mengatakannya? Meskipun hari ini adalah hari terakhir ujian, suaminya bagian dari panitia perpisahan sehingga masih harus mengurus persiapan.
Qila kembali fokus ke komputer sampai waktu pulang bekerja, ia merapikan mejanya dan bersiap pulang.
“Sedang apa, Deng?” tanya Zayyan yang melakukan panggilan video.
“Ini baru mau pulang, Bang. Abang dimana?” tanya Qila yang melihat pemandangan di belakang Zayyan terlihat asing.
“Ini di kebun. Ayah minta tolong angkut sawit.”
“Bang…” panggil Qila yang ingin mengatakan perihal trainingnya.
“Apa istriku?”
“3 hari lagi aku…” kalimat Qila terpotong kala Zayyan menengok ke arah belakang saat sang ayah memanggilnya.
“Maaf, Deng. Ayah panggil buat ajak balik. Coba ulangi lagi, Deng!”
“Abang pulang saja dulu. Ini aku juga mau pulang.”
“Ya sudah. Nanti Abang telepon lagi.” Qila mengangguk dan menyimpan ponselnya.
Sesampainya di rumah, ia segera membersihkan diri dan memakan makanan yang telah Ana siapkan.
“Bu, Qila disuruh berangkat training.” Kata Qila selesai makan.
“Kapan?”
“3 hari lagi.”
“Kenapa mendadak sekali?”
“Keputusan Perusahaan, Bu.”
“Kamu sudah ngomong dengan Zayyan.” Qila menggeleng.
“Kamu harus mengatakannya, jadi suamimu tahu kalau kamu berangkat training. Tapi, dimana?”
“Kota Metro, Bu.”
“Jauh, Nak. Kamu yakin?”
“Mau bagaimana lagi, Bu?”
“Ya sudah, yang penting segera kabari suamimu. Kalau kamu mau nanti Ibu yang temani.” Qila mengangguk.
Sayangnya, malam itu Qila tidak sempat mengatakan apapun kepada Zayyan karena ia terlelap setelah selesai melaksanakan sholat isya’.
Zayyan yang tidak mendapatkan balasan dari Qila juga tidak menghubungi lagi, mengira istrinya sudah tidur dan akan menghubungi lagi paginya.
Nyatanya, sampai hari keberangkatan Qila training mereka belum ada berhubungan karena sama-sama sibuk. Mereka hanya berbalas pesan dan Qila mengatakan ia akan berangkat ke Kota Metro.
Pesan tersebut dibaca Zayyan di siang hari, hingga membuatnya kalang kabut karena saat menghubungi Qila ponselnya sedang berada di luar jangkauan.
“Kamu mau ke mana?” tanya Rumi yang melihat Zayyan mengemas pakaian ke dalam tas.
“Aku mau menyusul istriku, Bu!”
“Kalau mau ke sana, kenapa buru-buru?”
“Qila ke Kota Metro, Bu!”
Meski back to realita nya kondisi suami, ortu, dan mertua yang kaya gini sepertinya jarang ada ya? apalagi suaminya termasuk masih usia remaja. Kalo d dunia nyata ada sosok Zayyan, hebat banget ya ortunya bisa didik anak seperti ini