Di dunia kultivasi Cangxuan, Han Wuqing bereinkarnasi dari bumi ke dunia kultivasi abadi yang penuh kekuatan dan ketidakadilan.
Setelah berkultivasi selama 10 tahun dengan susah payah, tanpa dukungan apapun. Akhirnya cheat system muncul mewajibkan dia membuat sektenya sendiri.
System aneh yang mengizinkannya memanggil kesadaran orang orang dari bumi, seolah dunia adalah game virtual reality.
Orang-orang dari bumi mengira ini hanya permainan. Mereka menyebutnya "VR immortal".
Mereka pikir Han Wuqing NPC...
Mereka pikir ini hanya ilusi...
Tapi didunia ini— Dialah pendirinya, dialah tuhan mereka. Sekteku Aturanku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwalkii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Telah Usai
“Kalau begitu... mari kita ubah aturan mainnya.” Tangannya terkepal.
[Aktivasi Teknik: Deepflame Nirvana – Heaven Grade]
Peringatan: Risiko Rebound Tinggi
Status: Diterima.
Qi Han Wuqing berubah seketika.
Sebuah api ungu-merah menyala dari inti tubuhnya, membakar udara sekeliling. Energinya tidak meledak seperti ledakan… tetapi naik perlahan—konsisten, dan terus meningkat, seperti nyala pelita yang tak pernah padam.
Api itu memeluk tubuhnya seperti jubah neraka. Suaranya rendah.
“Deepflame Nirvana—Langkah Satu.”
Tebasan pertama menghantam ruang, dan udara di sekitarnya terbelah. Tanah meleleh. Tetua cabang itu terdesak. Pakaian luarnya terbakar sebagian.
Han melangkah maju.
“Langkah Dua.”
Api melingkar. Serangan datang berlapis. Tubuh Han terluka dari dalam—urat-urat qi-nya mengelupas sedikit demi sedikit, tapi kekuatan serangannya melonjak tak terkendali.
Tetua itu mulai kewalahan.
“Monster—apa kau gila?! Teknik itu membakar tubuhmu sendiri!”
Han tak menjawab. Mata kirinya berdarah, tapi bibirnya mengulas senyum kecil.
“Kadang, yang dibutuhkan hanya satu percikan... untuk membakar seluruh malam.”
Ia meloncat tinggi, dan dengan seluruh kekuatan yang tersisa—
“Langkah Ketiga: Tebaslah, Api Nirwana!”
Ledakan cahaya membakar langit. Lembah Batu Merah diterangi dalam sekejap seperti siang hari. Suara binatang liar berhenti. Bahkan kabut malam bergeming sejenak.
Begitu cahaya padam—Han berdiri, lututnya sedikit gemetar. Di sekelilingnya, hanya tanah hitam dan bekas luka api.
Dan di hadapannya—tetua itu sudah tak lagi bernyawa, tubuhnya setengah terbakar, setengah membatu.
Ziyan mendarat perlahan di belakangnya. Han menghela napas, lalu roboh berlutut.
Tubuhnya gemetar karena efek rebound. Qi-nya porak-poranda, tapi ia masih hidup.
“...Itu tadi... layak,” bisiknya, sebelum jatuh duduk bersandar pada batu.
Di belakang, cahaya fajar perlahan mulai menyapu langit menyisakan sisa-sisa pertarungan yang kacau, pohon-pohon yang hangus terbakar dan tanah yang retak karena energi Qi.
Di atas tanah yang menghitam oleh bekas pertempuran, tergeletak lebih dari lima puluh tubuh manusia mortal—terbagi rata antara pria dan wanita. Tubuh-tubuh mereka dipenuhi luka, menunjukkan penderitaan yang panjang. Ada yang masih muda, ada pula yang telah menua, bahkan terlihat seorang anak kecil, tak lebih dari lima tahun, dengan darah mengering di pipinya.
Han Wuqing menatap pemandangan itu dengan rahang mengeras. Amarah membuncah di dalam dadanya, tapi ia menarik napas dalam dan memaksakan ketenangan, menahan gejolak emosinya yang hampir meledak.
Beberapa di antara para tawanan mulai siuman. Tatapan mereka berkeliling, mata-mata sayu itu menangkap pemandangan mayat-mayat hangus terbakar—para penjahat yang dulu memperbudak, menyiksa, dan membunuh mereka tanpa belas kasihan. Meski tubuh para pelaku kini telah menjadi abu, wajah mereka masih membekas jelas dalam ingatan.
Para tawanan yang tersadar mulai memperhatikan sosok yang berdiri di tengah bekas pertempuran. Di antara tanah yang hangus dan tubuh-tubuh terbakar, tampak seorang pria muda berdiri tegak—diam, dengan kedua tangan bersedekap di belakang punggung. Jubah hitam yang dikenakannya robek dan terbakar di beberapa bagian, namun sosoknya tetap memancarkan kewibawaan yang tak tergoyahkan.
Di sisinya seekor burung raksasa yang luar biasa indah—makhluk menyerupai Phoenix, dengan bulu-bulu menyala dalam gradasi merah menyala dan ungu gelap yang berkilau seperti bara dalam senja.
Tanpa perlu penjelasan, para tawanan segera menyadari—pemuda itulah yang telah menyelamatkan mereka.
Seorang pria tua, berusia sekitar lima puluh tahun, melangkah tertatih ke depan. Kakinya pincang, wajahnya dipenuhi kerutan dan luka, namun sorot matanya penuh keteguhan. Saat sampai di hadapan sang pemuda, ia jatuh berlutut, lalu menunduk hingga dahinya menyentuh tanah yang hangus.
“Terima kasih... telah menyelamatkan kami,” ucapnya lirih, namun lantang dalam ketulusan. Suaranya menggema di antara keheningan, dan membuat yang lain mulai menunduk pula, satu per satu.
Han Wuqing menyaksikan pemandangan itu dengan sorot mata tegas. Suara sujud yang menyentuh tanah membuat dadanya sesak, tapi ia segera mengangkat suaranya.
“Bangkitlah kalian semua! Tak perlu bersujud seperti itu—sekarang kalian sudah bebas!”
Ia memberi jeda sejenak, lalu melanjutkan dengan nada lebih tenang namun tetap penuh wibawa, “Sekarang aku ingin bertanya… setelah ini, apa yang akan kalian lakukan?”
Namun tak ada jawaban.
Para korban hanya saling memandang, diam membisu. Wajah-wajah mereka dipenuhi kebingungan dan luka yang belum sembuh, bukan hanya di tubuh, tapi jauh di dalam jiwa. Setelah sekian lama hidup dalam neraka, mereka bahkan nyaris lupa apa arti dari kebebasan. Bagi mereka, membangun kembali hanyalah undangan bagi bencana yang lain untuk datang menghancurkan semuanya lagi.
Melihat keheningan yang menyelimuti mereka, Han Wuqing kembali angkat suara, kali ini lebih tenang namun tetap jelas.
“Aku punya sebuah tawaran untuk kalian semua,” ucapnya, matanya menyapu wajah-wajah yang masih dipenuhi keraguan.
“Kalian boleh ikut denganku… membangun kembali kehidupan di sekitar wilayah sekteku. Di sana, kalian akan hidup di bawah perlindungan para muridku—aku sendiri akan menugaskan mereka menjaga desa kalian.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada netral, memberi ruang bagi pilihan.
“Tapi jika kalian memilih untuk berjalan sendiri, aku tidak akan menghalangi. Itu keputusan kalian sepenuhnya.”
Sejenak, hanya keheningan yang menjawab tawaran Han Wuqing. Tapi kemudian, pria tua yang sebelumnya bersujud perlahan berdiri, menahan nyeri di lututnya. Tatapannya tajam, bukan karena amarah, melainkan karena keputusan telah diambil.
Ia menoleh ke belakang, ke para korban yang berdiri dalam diam, lalu kembali menghadap Han Wuqing. Dengan langkah mantap, ia maju selangkah dan membuka suara.
“Namaku Lao Zhen,” katanya dengan suara parau namun tegas. “Aku bukan pemimpin resmi, hanya orang yang lebih dulu tua dan lebih dulu merasakan luka. Tapi kalau boleh mewakili mereka…”
Ia menengok sejenak ke belakang, dan meski tak ada suara, cukup satu anggukan dari seorang wanita muda, dan tatapan penuh harap dari seorang pria setengah baya untuk memperkuat niatnya.
“…kami memilih ikut bersamamu.”
Lao Zhen membungkuk sedikit, tidak dalam, tapi cukup untuk menunjukkan rasa hormat yang tulus. “Kami tidak tahu harus mulai dari mana, tapi setidaknya… kami tahu akan lebih aman di bawah perlindunganmu.”
sekteku aturanku. Jadi keinget manhua Invincible at the start/CoolGuy/ Keren, thor! SEMANGAT!