Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Langit Senja yang Tak Nyata
Hari itu, langit Jakarta tidak sepanas biasanya. Awan-awan menggumpal manis seperti kapas yang digantung Tuhan di langit biru. Di pojok Blok M yang teduh, sebuah toko kecil bernama Obral Literasi berdiri tenang di antara deret warung kopi dan tempat fotokopi.
Suzy turun dari taksi online dengan totebag putih berisi buku-buku kuliahnya. Ia mengenakan blouse biru muda dan celana panjang krem. Wajahnya tampak segar, tapi matanya jelas menyimpan rasa penasaran. Sejak mendapat pesan dari Paijo soal pekerjaan barunya, dia ingin sekali melihat sendiri... dunia baru yang sedang dijalani lelaki itu.
Begitu pintu toko dibuka, suara lonceng kecil menyambut dengan nyaring.
“Selamat siang...” suara Paijo terdengar dari dalam toko, namun terputus di tengah ketika ia melihat siapa yang datang.
“Mbak Suzy?”
Suzy tersenyum manis. “Lagi nggak sibuk, Mas Paijo?”
Paijo langsung berdiri dari kursi kasir. Ia gugup, tak menyangka Suzy benar-benar datang. Apalagi hari ini ia baru saja selesai menata ulang rak puisi yang isinya semua bersampul gambar kucing berpakaian.
“Enggak sibuk, Mbak. Silakan masuk. Wah... saya senang sekali Mbak datang,” katanya sambil cepat-cepat membereskan gelas kopi yang tadi dipakai Bos Beben buat nyeduh kopi tubruk dan... entah kenapa, sempat dipakai nyimpen karet gelang dan biji ketumbar.
Suzy melangkah masuk, matanya mengitari rak demi rak.
“Aku nggak nyangka tempatnya selucu ini,” katanya sambil menyentuh sampul buku berjudul ‘Mengapa Kucing Lebih Setia daripada Mantanmu’.
Paijo menggaruk kepalanya. “Iya Mbak... agak aneh sih koleksinya. Tapi suasananya enak. Tenang. Nggak kayak dunia saya yang dulu...”
Suzy menatapnya. “Dulu? Maksudnya?”
Paijo mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk menata buku. “Maksud saya, sebelum saya jaga toko ini, hidup saya... ya, terlalu ramai.”
“Ramai gimana?” tanya Suzy penasaran.
“Ramai kamera, ramai kontrak, ramai... dunia yang nggak benar-benar milik saya,” ujarnya pelan.
Suzy tersenyum kecil. Ia melihat sisi Paijo yang belum pernah muncul sebelumnya. Paijo yang lembut, yang merenung, yang merasa cukup hanya dengan bau buku dan nyanyian kipas angin tua.
Sastrawidjaja, si kucing oranye, tiba-tiba meloncat ke pangkuan Suzy.
“Oh! Lucunya ini...” Suzy mengelus kepala kucing itu.
“Namanya Sastrawidjaja,” jelas Paijo.
“Wah, keren. Kucingmu?”
Paijo mengangguk. “Lebih tepatnya, kucing bos saya. Tapi kayaknya dia lebih sering nempel ke saya.”
Mereka tertawa kecil. Suzy kemudian duduk di bangku pojok dekat jendela, di mana cahaya matahari masuk lembut dan menyorot meja kecil penuh buku puisi. Paijo ikut duduk di seberangnya.
“Mas Paijo kelihatan beda,” ujar Suzy sambil memeluk tasnya.
“Beda gimana?”
“Lebih tenang. Lebih... nyata. Nggak kayak waktu kita ketemu pertama kali.”
Paijo hanya bisa tersenyum. Di dalam hati, ia merasa malu—sekaligus bersyukur.
“Terima kasih ya, Mbak, sudah datang. Jujur... saya ragu bisa jalanin semua ini. Tapi tahu Mbak percaya sama saya... rasanya saya nggak sendirian.”
Suzy menatap matanya sejenak. Ada sesuatu di sana. Mungkin simpati. Mungkin lebih dari itu.
“Aku selalu percaya, Mas Paijo. Meskipun aku belum tahu semuanya tentang Mas... tapi entah kenapa, aku ngerasa... kamu orang baik.”
Perkataan itu menghantam dada Paijo seperti palu ringan dari kenyataan. Karena justru itu yang paling ia sembunyikan. Kebenaran yang belum ia punya nyali untuk ungkapkan.
Tiba-tiba, suara berisik terdengar dari belakang. Bos Beben muncul dengan topi rimba miring dan membawa dua plastik penuh gorengan.
“Oalah, tamu cantik nih!” katanya sambil tertawa. “Mas Paijo, kamu bener-bener naik pangkat! Dulu kliennya nenek-nenek, sekarang mahasiswi UI!”
Paijo langsung berdiri dan nyikut lengan Bos Beben pelan, nyaris seperti tinju diplomatik.
“Ini Mbak Suzy, teman saya,” kata Paijo kaku.
Bos Beben mengedip. “Teman ya... ya ya ya... Nggak usah dijelasin, Mas. Saya ngerti. Monggo, silakan lanjut ngobrol. Saya ke belakang, ngitung gorengan.”
Begitu bos pergi, mereka berdua tertawa canggung. Paijo menatap Suzy.
“Maaf ya, bos saya memang rada... eksentrik.”
Suzy tersenyum.
“Justru itu lucu. Tempat ini... tempat kamu... lucu. Dan nyaman.”
Mata mereka bertemu. Tak ada romansa klise. Hanya dua manusia yang, di tengah segala absurditas hidup, menemukan jeda.
Senja datang perlahan, memoles langit Jakarta dengan warna oranye keemasan. Di balik kaca Obral Literasi, Paijo dan Suzy masih duduk berdua. Buku-buku di sekeliling mereka diam seperti saksi, sementara kipas angin berdengung seakan memberi latar suara kehidupan yang tak terburu-buru.
Sastrawidjaja tertidur pulas di pojok rak novel kriminal, dan aroma teh melati yang diseduh Bos Beben tadi sore masih menggantung di udara.
Suzy menatap cangkirnya. Ia diam cukup lama, seakan menimbang pertanyaan yang sudah sejak tadi ingin ia lontarkan. Sementara Paijo sibuk mencoret-coret sebuah kertas kosong—entah apa, tapi sejujurnya ia hanya mencari alasan agar tak harus menatap Suzy terlalu lama. Tatapan gadis itu membuatnya gugup dalam cara yang aneh, yang... manis.
“Mas Paijo...” suara Suzy akhirnya keluar, lembut dan hati-hati.
“Hmm?”
“Boleh aku tanya sesuatu?”
Paijo menoleh. Ia mencoba tersenyum, walau ada getaran kecil di ujung bibirnya.
“Tentu, Mbak.”
Suzy menggigit bibir bawahnya pelan. “Kamu... bilang dulu hidup kamu ramai. Maksudnya itu apa, sih? Ramai gimana?”
Paijo diam sejenak.
Jantungnya memukul-mukul dada. Ia seperti seorang pesulap yang diminta memperlihatkan trik rahasianya—padahal ia sendiri sudah bosan berpura-pura. Tapi dia tahu: jika Suzy tahu siapa dirinya... yang sebenarnya... semuanya bisa berubah.
“Saya...” Paijo mulai, tapi suaranya menggantung.
Suzy tidak menyela. Ia hanya menatap, tenang, menunggu.
“Dulu saya kerja... di dunia yang nggak biasa,” lanjut Paijo pelan.
“Model?”
“Iya. Tapi bukan cuma itu.”
Suzy mengangkat alis.
Paijo melanjutkan, “Saya sering... dapet job... ya, yang sifatnya eksklusif. Klien-klien khusus. Dunia malam, dunia entertainment... yang gitu-gitu deh.”
Suzy diam. Mencerna. Ia tidak langsung bertanya lagi.
“Mas pernah... merasa bersalah nggak?” tanyanya pelan.
Pertanyaan itu menghantam seperti palu lembut.
Paijo menatap meja. “Sering. Tapi kadang, ketika kamu terjebak di dunia yang penuh uang dan pujian... kamu mulai bohongin diri sendiri.”
Sunyi menggantung sejenak. Di luar, lampu-lampu jalan mulai menyala. Dunia berubah warna.
Suzy bersandar ke sandaran kursi, menatap langit-langit toko.
“Aku nggak peduli masa lalu kamu,” katanya tiba-tiba.
Paijo menoleh cepat.
“Yang aku peduliin itu, siapa kamu sekarang. Tapi... aku cuma mau tahu—kamu bener-bener mau ninggalin dunia lama itu?”
Pertanyaan itu bukan interogasi. Tapi kepastian.
Paijo menatap mata Suzy. Perlahan, ia mengangguk.
“Saya mau. Karena... saya ketemu seseorang yang bikin saya ngerasa cukup jadi diri sendiri.”
Mereka terdiam.
Kemudian, Suzy tersenyum. Lalu berdiri, mengambil totebag-nya.
“Kalau gitu, aku tunggu kamu di dunia nyata, ya?” katanya sambil mengedip.
“Maksudnya?” tanya Paijo, bingung.
**“Dunia di mana kamu nggak perlu nyamar. Nggak pakai nama panggung. Dunia di mana kamu... Paijo. Bukan Joe Gregorius. Apalagi...” — ia tertawa kecil — “...bukan Alvarez.”
Paijo kaget. Hampir melompat dari kursinya.
“M-mbak tahu...?”
Suzy menoleh, pura-pura tak dengar. “Sampai ketemu lagi ya, Mas Paijo,” ujarnya sambil berjalan ke pintu. “Oh, salam buat Sastrawidjaja.”
Lonceng pintu berbunyi saat Suzy melangkah keluar. Paijo masih membeku di tempat.
Apakah Suzy benar-benar tahu... atau hanya menebak?
Malam itu, Paijo tak bisa tidur. Ia hanya menatap langit-langit apartemen kecilnya. Kepalanya penuh tanya.
Satu hal yang ia tahu pasti:
Waktu terus berjalan. Dan rahasia tak bisa disimpan selamanya.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
jgn salahkan Suzy aelahh
next nell, semakin menarik 😁😁😁
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶♀️
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶♀️