Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UNTUK KEDUA KALINYA
Mateo tiba di tempat acara yang digelar oleh Antonio. Ia mengenakan pakaian santai kaus hitam polos yang membentuk tubuhnya dan celana jeans gelap yang membuat penampilannya tetap terlihat berkelas. Meski sederhana, aura elegan dan dingin masih memancar dari dirinya.
Ia melangkah masuk ke area pesta yang ramai dengan musik dan gelak tawa para tamu. Tanpa basa-basi, matanya langsung mencari dua sahabatnya Nathan dan Justin yang sudah lebih dulu tiba.
Begitu melihat mereka di sudut ruangan, Mateo segera menghampiri. Justin, yang tengah menyesap minumannya, melambaikan tangan begitu melihat Mateo mendekat.
"Akhirnya kau muncul juga," ujar Justin, menyeringai.
Nathan ikut menoleh, menaikkan alisnya. "Kupikir kau terlalu sibuk membenci dunia untuk datang."
Mateo hanya menjawab singkat, "Aku bosan di rumah."
Mateo ikut bergabung bersama kedua sahabatnya di sudut ruangan. Mereka saling bertukar obrolan ringan dan tawa kecil, hingga suasana menjadi sedikit berubah saat pintu masuk kembali terbuka.
Sosok wanita masuk dengan langkah tenang dan percaya diri. Pakaian yang dikenakannya sederhana, namun tetap memancarkan kesan elegan. Rambutnya terurai rapi, dan senyuman tipis menghiasi wajahnya. Itulah Laura, wanita dari masa lalu Mateo.
Tatapan Mateo terpaku. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Wajah itu, senyum itu semuanya masih sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Bahkan lebih memikat dari yang ia ingat.
Untuk beberapa detik, dunia di sekelilingnya terasa melambat. Justin dan Nathan saling melirik, menyadari perubahan ekspresi Mateo yang kini jelas terpukau.
Ia belum benar-benar bisa melupakan Laura. Dan kini, wanita itu kembali berdiri hanya beberapa meter darinya.
“Liatin mulu, samperin gih,” ucap Justin terkekeh pelan sambil menyikut pelan lengan Mateo.
Nathan yang duduk di sebelahnya ikut tersenyum jahil. “Iya, bro. Tatapan mu udah kayak anak SMA yang jatuh cinta pertama kali.”
Mateo hanya melirik keduanya sekilas, lalu kembali menatap ke arah Laura yang kini sedang berbicara dengan beberapa tamu di sudut ruangan. Ekspresi kagumnya belum juga pudar.
“Dia masih secantik dulu,” gumam Mateo nyaris tak terdengar.
Justin dan Nathan saling pandang, lalu tertawa pelan. “Kalau masih suka, ya lakuin sesuatu. Jangan cuma jadi patung di pojokan,” celetuk Nathan.
Mateo menghela napas panjang, ragu-ragu, tapi kakinya perlahan mulai bergerak ke arah wanita yang pernah membuat hatinya begitu hangat dan dingin saat ditinggalkan.
Belum sempat Mateo sampai di hadapan Laura, seorang pria berparas bule dengan penampilan rapi dan penuh percaya diri lebih dulu menghampiri wanita itu. Laura langsung tersenyum cerah, senyuman yang dulu sering diberikan pada Mateo. Tanpa ragu, ia menyambut pria itu dan bergelayut manja di lengannya.
Mateo menghentikan langkahnya.
"Dylan, kenalkan, ini teman-teman lamaku," ucap Laura, memperkenalkan sosok bule itu sambil tersenyum bahagia.
Mateo mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengeras, matanya tajam menatap pria itu. Ia mengenalnya Dylan, pria yang merebut Laura darinya bertahun-tahun lalu. Pria yang membuatnya kehilangan satu-satunya wanita yang benar-benar ia cintai.
Darahnya mendidih, namun ia mencoba menahan diri. Ia bukan siapa-siapa lagi bagi Laura. Tapi luka itu... masih membekas.
Mateo berbalik arah, menahan emosi yang menggelegak di dadanya. Ia melangkah kembali ke meja tempat Justin dan Nathan duduk. Di sana, Antonio sang pemilik acara sedang berbincang santai dan segera berdiri menyambut kedatangan Mateo.
"Senang kau datang, Mateo. Dan selamat atas pernikahanmu, akhirnya ya," ucap Antonio sambil memeluknya singkat. Pria itu tersenyum ramah, tak menyadari bahwa ucapannya justru menyiramkan bensin ke bara dalam hati Mateo.
Mateo hanya membalas dengan senyum tipis, senyum penuh kepalsuan. Kepalanya sedikit mengangguk, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kejengkelan.
"Terima kasih," jawabnya datar, menahan diri agar tidak meninju wajah Antonio saat itu juga.
Dalam hati, ia mencaci ucapan selamat yang baginya lebih terdengar seperti ejekan. Pernikahan? Itu bukan sesuatu yang layak dirayakan, bukan jika yang dinikahinya adalah Livia, wanita yang terus mengusik harga dirinya.
Untungnya, Antonio hanya menyapa sebentar. Setelah memberikan ucapan selamat yang menyebalkan itu, pria berkacamata itu segera berpindah untuk menyambut tamu undangan lainnya.
Mateo menghela napas berat, lalu meraih gelas kosong di depannya. Ia menuangkan vodka hingga penuh, lalu menenggaknya dalam satu kali teguk seakan ingin membakar semua kekesalan yang mengendap di dadanya. Rasanya panas, tapi tak cukup panas untuk melupakan kenyataan.
Semakin larut, suasana pesta berubah makin liar. Musik berdentum keras, lampu-lampu berkelap-kelip, dan Antonio seperti biasa membuat pesta jadi tak terlupakan dengan menghadirkan penari erotis. Sorakan dan tawa membahana dari tamu-tamu yang setengah mabuk, menikmati pertunjukan tanpa malu.
Di sudut ruangan, Mateo duduk tersandar di sofa dengan mata setengah terpejam. Gelas kosong di tangannya sudah tak terhitung jumlahnya. Bibirnya meracau tak jelas, kata-kata yang keluar seperti gumaman tanpa makna. Namun di tengah kekacauan itu, Justin dan Nathan saling melirik saat mendengar satu nama yang keluar berulang kali dari mulut sahabat mereka.
“Livia…” gumam Mateo lirih, seolah menyebutkan nama itu dari tempat paling dalam di hatinya tempat yang bahkan ia sendiri tak mau akui.
Tepat pukul dua subuh, mobil Mateo berhenti di halaman rumah megahnya. Supir pribadinya membukakan pintu, dan pria itu keluar dengan langkah sempoyongan, aroma alkohol kuat tercium dari tubuhnya.
Alih-alih menuju kamarnya, Mateo justru melangkah ke arah dapur, arah kamar kecil di mana Livia biasa tidur. Langkahnya berat, tapi niatnya jelas. Dengan gerakan kasar dan tanpa ragu, ia membuka pintu kamar Livia hingga suara benturan keras membuat gadis itu terbangun dengan panik.
Livia terkesiap, duduk tegak sambil memegangi perutnya. Matanya menatap Mateo yang berdiri di ambang pintu dengan mata merah dan wajah kusut. Wajah lelaki itu tampak muram, mabuk, dan penuh amarah yang belum reda.
"Apa... apa yang anda lakukan, Tuan?" tanya Livia pelan, nyaris tak terdengar.
Mateo hanya menatapnya tanpa menjawab, matanya tajam seperti ingin melampiaskan segala kekesalan yang ia simpan.
Mateo yang masih terpengaruh alkohol menatap Livia tajam. Matanya sayu, tapi sorotnya sulit ditebak antara amarah, mabuk, atau luka yang terpendam. Ia melangkah pelan, menghampiri Livia yang duduk ketakutan di sudut ranjang.
Tanpa peringatan, Mateo menarik wajah Livia dan melumat bibir istrinya itu dengan kasar. Livia terkejut, tubuhnya menegang. Ia mencoba mendorong dada Mateo, berusaha menjauh.
“Jangan…” lirih Livia, suaranya gemetar, penuh ketakutan dan kebingungan.
Namun ciuman itu tak kunjung lepas. Bukan karena cinta, melainkan karena kekacauan dalam diri Mateo yang tak mampu ia kendalikan. Pria itu sedang hancur, dan Livia seperti biasa menjadi tempat pelampiasannya.
Dan untuk kedua kalinya, Mateo meniduri Livia. Bukan karena cinta, bukan pula karena rindu tapi karena kehilangan kendali. Di matanya, Livia tetaplah wanita yang tak pernah ia anggap, namun anehnya ia selalu menjadi tempat pelampiasannya.
Livia terbaring diam setelah semuanya usai, menatap langit-langit kamar dengan air mata yang tak terbendung. Tubuhnya mungkin masih utuh, tapi hatinya? Hancur berkeping-keping.
Keesokan paginya, matahari baru saja menyelinap masuk melalui sela tirai ketika Mateo membuka matanya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap wajahnya sebentar sebelum mengenakan kembali pakaiannya tanpa menoleh sedikit pun pada Livia yang masih tertidur di sampingnya.
Tak ada rasa bersalah di wajahnya. Hanya dingin. Hampa.
Dengan gerakan kasar, ia menendang tubuh Livia yang menggulung dalam selimut lusuh. Wanita itu terbangun karena rasa nyeri di pinggang dan terkejut menatap sosok Mateo yang berdiri di depannya dengan tatapan jijik.
"Bangun kau. Siapkan sarapan untukku," ucapnya datar namun tajam, sebelum akhirnya keluar dari kamar dan menutup pintu dengan keras.
Livia hanya bisa terdiam sambil menahan sakit. Tubuhnya lemas, tetapi ia tetap berusaha bangkit. Tidak untuk dirinya melainkan untuk kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya. Satu-satunya alasan ia masih bertahan.
Dengan tubuh yang masih lelah, Livia berusaha mengumpulkan tenaganya untuk bangun dari tempat tidur. Setiap gerakan terasa begitu berat, rasa sakit dari malam sebelumnya masih membekas di tubuhnya. Namun, ia harus melakukannya. Ia tahu, tidak ada pilihan lain.
Ia keluar dari kamar dan berjalan menuju dapur dengan langkah yang tergesa-gesa, membawa sarapan yang disiapkan oleh chef untuk Mateo. Setiap langkahnya terasa seperti beban, tapi Livia menahan diri. Demi orang yang di depan sana meski ia tahu, tak ada perhatian dari pria itu untuk dirinya.
Saat ia sampai di meja makan, Livia menaruh piring sarapan di depan Mateo tanpa berani berbicara sepatah kata pun. Ia hanya berdiri beberapa langkah jauh dari pria itu, menundukkan kepala. Tidak ada rasa ingin dihargai lagi. Hanya kelelahan dan rasa sakit yang ia simpan dalam diam.
Mateo tidak memperhatikan Livia. Ia hanya menyantap sarapan tanpa kata, tanpa ekspresi, seolah Livia hanyalah bagian dari rutinitasnya yang harus dilakukan tanpa perasaan. Tak ada sedikit pun rasa syukur atau perhatian.
Livia berdiri, menatap lantai, dan menahan air matanya agar tidak jatuh. Ia tahu, semua yang ia lakukan takkan pernah cukup bagi Mateo. Namun, ia tetap melakukannya bukan karena berharap dihargai, tapi karena ia tidak bisa meninggalkan begitu saja, apalagi sekarang dengan keadaan yang semakin rumit.
Setelah Mateo pergi bekerja dengan mobil mewahnya, suasana rumah kembali sunyi. Hanya suara burung sesekali terdengar dari kejauhan. Livia menarik napas dalam-dalam, lalu memegang erat gagang sapunya. Hari ini, seperti biasa, ia diberi tugas membersihkan lapangan golf kecil yang berada di halaman belakang rumah.
Langkah kakinya menyusuri rerumputan yang basah oleh embun pagi. Di tangan kanannya, sapu lidi terus ia gerakkan perlahan, mengumpulkan dedaunan yang jatuh semalam. Udara pagi seharusnya menenangkan, tetapi tidak bagi Livia. Hatinya tetap terasa berat, tubuhnya masih terasa nyeri, dan pikirannya terus melayang pada bayi yang kini tumbuh dalam perutnya.
"Sedikit lagi, Livia... kuatkan dirimu..." gumamnya pelan, mencoba memberi semangat pada diri sendiri.
Meski letih, ia tetap berusaha menyelesaikan tugasnya. Tak ada yang peduli jika ia sakit, tak ada yang akan menolong jika ia jatuh. Hanya dirinya sendiri yang bisa ia andalkan.
Livia berhenti sejenak dan meletakkan sapunya. Tangan kanannya terangkat, mengelus perutnya yang mulai membuncit. Hatinya terasa hangat sejenak, namun dengan cepat kembali diliputi kekhawatiran.
"Apa kamu baik-baik saja di dalam sana, Nak?" bisiknya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin pagi.
Ia menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Selama ini, tak sekalipun ia memeriksakan kandungannya. Tak ada yang mengantar, dan ia pun tak punya uang. Bahkan untuk membeli susu kehamilan saja, ia harus mencuri-curi kesempatan.
"Tidak ada yang peduli... bahkan ayahmu pun tidak menginginkanmu," lanjutnya pelan, seraya mengusap lembut perutnya. "Tapi ibu janji, ibu akan terus bertahan demi kamu..."
Livia memejamkan mata, mencoba menahan guncangan emosinya. Bukan hanya tubuhnya yang lelah, tetapi jiwanya pun terasa nyaris hancur. Namun di tengah kesunyian dan penderitaan itu, ia tetap memilih bertahan karena ada satu alasan kecil yang kini tumbuh dalam rahimnya.
Sejak pertama kali Livia tinggal di rumah ini, segalanya berubah drastis. Para asisten rumah tangga yang dulu ramai dan sibuk bekerja, kini hanya tersisa dua orang saja. Selebihnya, Mateo memindahkan mereka ke rumah miliknya yang lain rumah yang bahkan keberadaannya tak diketahui Livia.
Akibatnya, beban rumah tangga yang besar ini nyaris sepenuhnya jatuh ke pundaknya. Membersihkan rumah megah berlantai tiga, mencuci, menyapu halaman, hingga mengurus kebun kecil di samping rumah semuanya dilakukan Livia seorang diri. Tanpa upah, tanpa belas kasih, dan tanpa keluhan karena siapa yang akan mendengarkannya?
Wanita itu berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain dengan tubuh yang semakin berat karena kehamilan. Tapi tak ada yang peduli. Bagi Mateo, keberadaan Livia hanya seperti bayangan yang tak pernah dianggap ada.
Saat Livia tengah mengepel lantai tiga, tubuhnya yang mulai lelah sedikit membungkuk, berusaha membersihkan sudut-sudut ruangan yang jarang tersentuh. Langkah kaki terdengar di belakangnya, lalu tiba-tiba sebuah senggolan membuat tubuhnya oleng dan hampir saja jatuh.
"Gajah," ejek Sinta sambil melengos dan terus berjalan tanpa menoleh.
Livia terdiam. Tatapannya kosong, namun tangannya tetap memegang erat gagang pel lantai. Ia tidak membalas. Hinaan seperti itu sudah menjadi makanan sehari-harinya. Dari suami, dari ART lain, bahkan dari orang asing semuanya seolah berlomba menyudutkan dan mempermalukannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap lantai yang baru saja dipel, lalu kembali bekerja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Bukan karena ia kuat, tapi karena ia sudah terlalu sering terluka.
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/