Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Dekapan Sean
Marsha berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Ia merasa lelah—bukan hanya fisik, tetapi juga hatinya. Pernikahannya terasa begitu kaku, penuh batasan yang tidak pernah ia pahami.
Kata-kata tajam dari ibu Sean masih terngiang di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira.
"Kamu pikir gadis biasa seperti dirimu pantas masuk ke keluarga ini?"
“Apakah kamu benar-benar berpikir nama itu masih cukup berharga untuk menjadi istri Sean?”
Marsha ingin marah. Ingin melawan. Tapi semakin ia berusaha, semakin sakit rasanya. Tanpa sadar, air matanya jatuh begitu saja, membasahi bantal tempatnya bersandar.
Suara isakannya memenuhi ruangan yang sunyi. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran seseorang di dalam kamarnya, hingga terasa ada beban di tepi ranjangnya. Marsha menahan napas. Ia mencoba meredam isakannya, tapi tubuhnya tetap bergetar halus.
"Kemarilah."
Suaranya… Marsha perlahan berbalik dan mendapati sosok Sean duduk di tepi ranjang, menatapnya dengan ekspresi sulit diartikan. Ia terlihat lebih lelah dari terakhir kali Marsha melihatnya. Namun di balik sorot matanya yang tajam, ada sesuatu yang berbeda. Kerinduan.
Marsha tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca, perasaannya bercampur aduk antara lega, marah, dan bingung.
Sean tidak memberinya kesempatan untuk berpikir lebih jauh. Ia menarik Marsha dalam dekapannya—sebuah pelukan yang pertama kali terjadi di antara mereka.
Marsha membeku. Keheningan menyelimuti ruangan. Marsha tidak tahu apa yang seharusnya ia lakukan. Haruskah ia mendorong pria itu? Haruskah ia bertanya mengapa Sean tiba-tiba memeluknya seperti ini?
Tapi tubuhnya justru memilih untuk diam. Dan hatinya… merasakan sesuatu yang berbeda. Keheningan di antara mereka lebih berbicara daripada kata-kata.
Sean tidak berkata apa-apa. Ia hanya mempererat pelukannya, seakan ingin memastikan Marsha merasakan kehadirannya.
"Apa yang terjadi?" suara Marsha terdengar pelan.
Sean menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku lelah."
Jawaban itu membuat Marsha mengangkat kepalanya sedikit, menatap pria itu. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan. Mengapa ia pergi begitu lama? Apa yang terjadi di luar negeri? Mengapa ia kembali tanpa memberi tahu?
Tapi ia hanya diam, karena melihat ekspresi Sean yang jarang ia lihat—kelelahan, dan entah bagaimana, kesepian.
"Aku juga lelah," Marsha mengakui akhirnya.
Sean menatapnya, lalu dengan gerakan lembut, ia menyelipkan helai rambut yang jatuh ke wajah Marsha. Sentuhan ringan itu membuat jantung Marsha berdegup lebih kencang.
"Maaf," suara Sean terdengar begitu lirih, hampir tidak terdengar.
Marsha mengerutkan keningnya. "Buat apa?"
Sean tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Marsha sejenak sebelum mengalihkan pandangannya.
"Karena buat kamu udah merasa sendirian selama ini," katanya akhirnya.
Marsha merasakan sesuatu menghangat di dadanya, tetapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan perasaannya terlalu jelas.
"Kamu tahu?" Marsha tersenyum miris. "Aku bahkan nggak tahu apa aku benar-benar menjadi bagian dari hidup kamu atau hanya seseorang yang kamu nikahi karena alasan lain."
Sean menghela napas, lalu kembali menatapnya. "Kamu bagian dari hidupku, Marsha."
Marsha ingin percaya. Tapi terlalu banyak hal yang membuatnya ragu.
"Aku hanya… tidak tahu bagaimana menghadapi kamu," lanjut Sean, suaranya sedikit lebih berat.
Marsha mengerjap. "Menghadapi aku?"
Sean mengangguk. "Aku bukan pria yang baik, Marsha. Aku bahkan nggak tahu bagaimana caranya mencintai seseorang dengan benar. Aku tumbuh di lingkungan yang membuatku terbiasa menekan perasaan sendiri."
Marsha tidak tahu harus berkata apa.
"Aku nggak mau sakiti kamu, tapi aku juga nggak tahu bagaimana caranya mendekati kamu."
Keheningan kembali mengisi ruangan.
Lama, hingga akhirnya Marsha menghela napas dan berkata, "Aku nggak butuh kamu menjadi sempurna, Sean. Aku cuma mau tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan."
Sean terdiam sesaat, sebelum tangannya kembali menyentuh rambut Marsha dengan lembut.
"Kalau begitu, aku akan mencoba."
Marsha menatapnya lama. Ada sesuatu dalam nada suara Sean yang membuat hatinya bergetar. Malam itu, mereka tidak banyak bicara. Mereka hanya duduk berdampingan, membiarkan keheningan menjadi bahasa yang lebih jujur.
Namun untuk pertama kalinya, keheningan itu tidak terasa canggung. Untuk pertama kalinya, Marsha merasa tidak lagi sendirian.
...***...