Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARUS MAIN CANTIK
Sri terbelalak lebar. Wajahnya mendadak membeku. Lidahnya pun langsung terasa kelu. Wanita gemuk itu tidak bisa berbicara apa pun selain menghembuskan nafas dengan gusar.
"Marsam? Ko ko kok sampean yang ada di sini?"
"Maksudmu apa? Terus kamu ngapain ke sini malam-malam begini?" Marsam yang hanya mengenakan kol000r berwarna hijau botol, nampak tergopoh-gopoh sambil mengelap keringat di lehernya.
"Gak bener kamu ini, Sri! Aku akan melaporkanmu kepada Karmin!" Kawan dekat Karmin itu nampak menggerutu. Dia seperti sangat kesal sekali karena merasa terganggu oleh kehadiran Sri.
"Maaf, Sam. Maaf. Aku ke sini untuk mencari Mas Karmin. Aku tadi sempat tergopoh-gopoh karena feeling-ku mengatakan kalau suamiku ke mari. Lalu aku semakin emosi ketika melihat ada motor suamiku di sini." Sri nampak tergugup. Bibirnya gemetar karena dia merasa sungkan.
Kedatangan wanita itu mungkin telah mengganggu keniqmatan yang sedang dilalui oleh Sulis dan Marsam. Sri menjadi tak enak hati.
"Maaf, maaf! Kalau saja kamu bukan istri Karmin, sudah kupukul kamu!" Marsam mendengkus sebal.
"Motor Karmin aku pinjam! Motorku rusak. Paham?" gerutunya.
"Lha terus? Bang Karmin sekarang ke mana?" Sri nampak pias.
"Ya pulang lah! Masak kamu tidak tahu? Istri macam apa kamu ini, Sri? Dia tadi ke rumahku dan mengajakku ngopi di warung Yayuk, tapi gak jadi ngopi karena motorku rusak! Aku pun meminjam motor Karmin karena aku ada janji dengan Sulis!" teriak Marsam.
"Suamimu pulang karena dia sakit kepala. Cerewetmu pasti kambuh lagi!" Pria kurus itu terus merutuki Sri tiada henti.
"Kamu mengganggu orang lagi pacaran! Awas kamu kalau sampai mulutmu itu ember! Akan kubuat mulutmu berbusa!" Kedua mata Marsam membeliak lebar.
"Maaf, Sam. Maaf. Aku gak ada minat untuk mengurusi kehidupanmu. Aku hanya mencari suamiku!" Sri pun menatap Marsam dengan lekat.
"Tak perlu mengancam begitu, toh aku juga tidak tertarik dengan kehidupan r*njang kalian. Aku hanya ingin memastikan bahwa suamiku tidak terperangkap ke dalam rayuan wanita lain," tegasnya.
"Dih! Dasar karung beras bulog? Takut amat ye kalau lakinya aku ambil. Sorry dorry berry yaaw, Sri! Aku kagak napsu sama lakimu yang bau pentol itu. Bang Marsam mah lebih h00ot jeletot di atas r*njang." Sulis menyeringai.
"Makanya ... punya bodi itu yang enak dilihat dikit. Badan sebesar kerbau bunting, sok-sokan mencurigai aku yang singset kayak artis ini. Ngoco o talah, Sri! Ngoco ...! Ada kaca kan di rumahmu?" Janda itu terus mencibir.
[Ngoco; Ngaca]
"Tak usah merembet ke mana-mana. Kalau Mas Karmin memang tak ada di sini, ya sudah. Masalah kita beres! Kalian tidak perlu mengancam dan mencibirku begitu." Sri tersenyum tipis.
"Wes ojo kakean cangkem, koen, Sri! Pulang sana! Atau aku akan melaporkanmu kepada Pak Lurah dan Pak RT!" Marsam kembali melotot ke hadapan wajah Sri.
[Sudah, jangan banyak bicara kamu ya, Sri!]
"Laporkan saja, Sam. Begitu kamu melaporkan aku, aku juga akan melaporkan perbuatan kalian yang tidak sen0onoh ini kepada para warga kampung. Tenang saja, aku tidak akan melapor kepada Pak RT atau kepada Pak Lurah, aku akan melaporkan kalian kepada para warga. Kalian berbuat mesyyum di kampung yang asri ini, apa kata para warga nanti?" Sri menatap manik legam milik Marsam dan Sulis secara bergantian.
"Oh, jadi kamu mau mengancam kami?" Marsam menarik lengan wanita gemuk itu dengan tatapan tajam.
"Tidak, kok. Aku hanya meluruskan aturan main kita. Aku hanya akan bertindak sesuai dengan perbuatan kalian kepadaku." Sri melempar senyuman tipis, lalu bergegas meninggalkan ruang tamu di rumah Sulis itu.
"Ah, ya. Silahkan lanjutkan permainan kalian di atas r*njang. Maaf jika keniqmatannya terjeda karena aku datang tiba-tiba. Aku hanya mencari suamiku." Istri Karmin itu menoleh sejenak saat sampai di teras rumah janda itu, lalu dia pun mangayunkan langkah pulang tanpa berpamitan.
*****
"Gimana, Sri?" Tumi mendongak saat melihat Sri datang menghampirinya.
"Ada motornya tapi tak ada orangnya." Sri menyahuti dengan lesu.
"Maksudnya?"
"Ya motor Mas Karmin ada, tapi Mas Karminnya gak ada." Wanita gemuk mendesah lelah.
"Terus kita mau ke mana lagi?" Tumi menimpali.
"Kita pulang aja yuk. Mungkin Mas Karmin ada di rumah. Tadi Marsam bilang kalau Mas Karmin sudah pulang dan motornya dipakai Marsam, gituh."
"Apa? Marsam ada di rumah Sulis malam-malam begini?" Tumi terbelalak kaget.
"Iya, Tum." Sri mengangguk pelan.
"Edan! Ngapain mereka?"
"Sudah lah, Tum ... ayo kita balik dulu. Nanti aku ceritain," sahut Sri dengan angot-angotan.
Lagi, Tumi hanya mengangguk dan mengiyakan ajakan Sri. Mereka pun pulang.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke kediaman Sri dan Tumi. Hanya butuh waktu beberapa menit saja, mereka sudah sampai di depan rumah mereka. Tumi segera masuk ke dalam halaman rumahnya sendiri, dan Sri pun berjalan menghampiri rumahnya dengan langkah gontai.
Pencariannya malam ini ternyata tidak sesuai harapan. Insting-nya mengenai kecurigaanya terhadap Karmin ternyata salah.
"Maafkan aku, Mas. Aku hanya terlalu takut kehilangan dirimu," bisiknya.
"Kamu ini dari mana, Sri?" Suara Karmin membuat lamunan Sri buyar. Wanita itu terkaget-kaget saat mendengar suara Karmin yang menggelegar.
Sri mendongak. Dia melihat sang suami berdiri di depan pintu rumahnya dengan mata mendelik dan tangan berkacak pinggang.
"Mas Karmin?" Wanita gemuk itu menajamkan kedua matanya. Merasa sedikit ragu dengan penampakan yang ia lihat.
"Keluyuran ke mana saja kamu ini? Rumah kok sampai dikunci segala?" Pria cungkring itu berdecak sebal.
"Maaf, Mas. Aku tadi hanya anu."
"Hanya opo? Apa kamu keluyuran malam-malam untuk menemui pria lain?"
"Tidak, Mas. Aku tadi mencarimu ke rumah Emak." Sri merogoh sakunya dan mengambil kunci, lalu membuka pintu rumahnya. Kedua manusia itu pun masuk ke dalam kediaman mereka dan mengunci pintu. Raut wajah keduanya sama-sama menekuk.
"Ngapain mencariku? Aku tidak pergi ke rumah Emak!"
"Tadi kamu sendiri yang bilang kalau kamu mau tidur di rumah Emak, jadi aku mengkhawatirkan dirimu." Sri mendesah lelah.
"Aku ke tempat Marsam, untuk menenangkan diri," kata Karmin dengan datar.
"Iya, tadi Marsam sudah memberitahuku." Sri menarik nafas panjang.
"Lhaah? Kamu ke tempat Marsam?" Karmin memicing.
"Tidak, aku ke tempat Sulis."
"Ya ampun, Sri! Bisa-bisanya kamu ini mendatangi tempat yang tak seharusnya kamu datangi! Apa kata Marsam dan Sulis nanti? Mereka pasti kesal dan jengkel kepadaku!"
"Iya, Mas. Maaf. Aku hanya mengkhawatirkan dirimu. Gak lebih, kok." Enggan meladeni omelan sang suami, Sri memilih pergi masuk ke dalam kamarnya.
Karmin pun mengekor. Pria itu nampaknya masih sebal dengan kelakuan sang istri.
"Lain kali jangan begitu lagi! Jangan gegabah dan jangan sekali-kali datang ke rumah orang di tengah malam! Kamu jangan membuat citraku menjadi buruk di mata orang!" Karmin menatap sinis kepada wanita yang telah ia nikahi selama sepuluh tahun lebih itu.
"Iya, maaf." Sri langsung naik ke atas ranjang dan masuk ke dalam selimut.
Malam terus merayap hingga fajar hampir menepi. Sri sebenarnya tidak tidur sama sekali. Kedua bola matanya masih tetap terjaga sampai lantunan qiroah menjelang subuh diputar di masjid.
Untuk menghilangkan rasa gelisah di dalam dadanya, wanita itu memilih untuk pergi ke dapur saja. Dia akan mempersiapkan segala macam bahan bakso untuk jualan pagi nanti.
Seperti biasa, Sri mulai mengukus tahu putih dan tahu coklat isi kanji, kemudian dia membuat adonan pentol.
"Sepertinya aku sudah salah paham. Nanti aku akan meminta maaf kepada Sulis dan Marsam," bisiknya seraya membuat bulatan-bulatan pentol dan ia masukkan ke dalam dandang yang sudah teronggok di atas kompor.
"Ah, kenapa aku jadi mudah curiga begini? Mas Karmin pasti sangat kecewa kepadaku," desahnya dengan helaan nafas lelah.
"Maafkan aku, Mas." Wanita itu nampak menyesal.
Sri terus mengerjakan pekerjaan rutinnya. Karena jam 7 pagi nanti, semuanya harus sudah siap di warung.
Untuk menyingkat waktu, dia mulai mengisi air ke dalam ember besar dan memasukkan beberapa cucian kotor untuk direndam. Dia akan mencucinya nanti setelah urusan bakso beres.
Sri mengambil jaket Karmin yang teronggok di atas sofa. Rupanya jaket itu sudah lama tidak dicuci. Benar kata Sulis, bau Karmin sudah menyatu dengan bau pentol.
Sri mencium jaket itu dan mencebik. "Benar-benar bau pentol," bisiknya.
Segera ia masukkan jaket itu ke dalam ember yang sudah berisikan air dan detergen. Namun, saat jaket hitam itu terlempar ke dalam ember, ekor mata Sri menangkap sesuatu yang tak lazim.
Sri mendekati jaket itu dan mengamati dengan mata membola lebar. Diambilnya seurai rambut yang begitu panjang dan berwarna coklat caramel.
Sri memungut sehelai rambut itu, dia cocokkan dengan rambutnya. Tentu saja tidak sepadan. Rambut Sri yang hitam dan keriting, sungguh bagai bumi dan langit dengan rambut coklat lurus itu.
"Lho, Rek! Rambute sopo iki, Rek?" Wanita gemuk itu kembali berdebar-debar.
Ingin rasanya ia segera membangunkan Karmin yang suara dengkurannya sampai ke dapur. Tapi ... Sri mengurungkan niatnya.
"Tidak, tidak. Aku tidak boleh gegabah lagi. Cukup sekali saja aku kecelek seperti semalam," dengusnya.
[Kecelek ; Salah sangka, salah persepsi, salah kira]
"Ya, aku harus bermain cantik dari pada nanti keliru lagi."