Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 21 - First night
Suasana vila hari itu berbeda. Para staf dan asisten yang biasanya hanya berbicara seperlunya dan fokus pada tugas mereka, kini terlihat sibuk berbisik-bisik di sudut-sudut rumah.
Mereka melirik ke arah tangga dan kamar utama dengan rasa penasaran.
Seperti di dapur, dimana tiga orang asisten perempuan yang bernama Rini, Mira, dan Siska tengah menyiapkan camilan sore sambil saling bertukar bisikan.
“Apa Nona Azura akan baik-baik saja tinggal sekamar dengan Tuan Rangga?,” tanya Rini penasaran.
“Aku juga sangat khawatir. Luka Nona saja baru sembuh… Kalau Tuan Rangga kembali kumat…” sahut Mira sambil menyendok teh ke dalam teko.
“Kalian ini terlalu serius. Aku malah penasaran dengan malam pertama mereka. Bayangkan, satu kamar, satu ranjang…” potong Siska yang berusaha menahan tawanya karena membayangkan sesuatu.
“Siska! Jangan ngomong sembarangan. Ini bukan pernikahan biasa," seru Mira.
“Tapi memang tidak bisa disangkal… Nona Azura itu berani sekali. Aku tidak menyangka dia akan sekuat itu," timpal Rini dengan memelankan suaranya.
Sementara itu, di ruang cuci yang terdapat dua penjaga berbadan kekar juga ikut membahas hal yang sama sambil memeriksa jadwal patroli malam.
“Tuan Adrian saja tidak pernah memaksa Nona Azura seperti ini. Tapi Nona sendiri yang minta tinggal di kamar Tuan Rangga. Hebat sih.”
“Hebat atau nekat? Kau tahu kan, Tuan Rangga kalau kumat bisa melukai siapa saja…”
“Tapi sekarang keadaannya agak tenang. Mungkin karena pengaruh obat…”
Malam itu, seluruh sudut vila dipenuhi bisikan. Bahkan para pelayan taman yang biasanya tak banyak bicara pun ikut mengomentari.
“Dari cara Nona Azura bersikap, kelihatannya dia benar-benar mencoba mencintai tuan muda kita," bisik tukang taman.
“Kita doakan yang terbaik saja untuk kedua majikan kita…” balas teman seprofesinya.
**
Sementara itu, di dalam kamar utama, Azura sedang merapikan bantal dan tempat tidur.
Tangannya menyentuh kain selimut yang dingin, sementara hatinya bergemuruh bagaikan api yang bergejolak.
"Aku bisa, aku bisa!!."
Kamar itu kini memiliki dua sisi yang berbeda. Sisi Rangga yang gelap dan kaku. Dan sisi Azura yang lembut dan hangat yang terlihat kontras.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Tap tap tap!!!
Azura pun segera menoleh, dan...
Klik.
Rangga masuk. Tatapannya seperti biasa datar dan sulit ditebak. Ia melirik sejenak ke arah tempat tidur yang kini sudah ditata rapi. Namun ia tidak menatap Azura sedikitpun.
“Hari ini kita akan tidur sekamar. Kalau kamu tidak nyaman, aku bisa tidur di sofa," ucap Azura yang berusaha terlihat tenang.
Namun Rangga tidak menjawab. Ia hanya berjalan menuju kursi dekat jendela dan duduk dengan memunggungi Azura.
Melihat respon Rangga, Azura pun hanya mematung sejenak sambil menenangkan jantungnya yang berdebar.
Kemudian, Azura mencoba duduk di sisi tempat tidur tapi secepat kilat ia berdiri kembali dengan was-was. Sedangkan Rangga, ia masih duduk dengan sesekali menatap langit di luar jendela seolah tidak menghiraukan keberadaan Azura.
“Aku tidak tahu akan seperti apa hari-hari setelah ini. Tapi malam ini, aku memilih untuk bertahan," batin Azura sambil memejamkan matanya.
Sementara itu di koridor luar, dua asisten sedang diam-diam melirik pintu kamar utama sambil terus berbisik-bisik.
“Lampunya sudah mati…”
“Berarti… mereka sudah…”
“Sudah waktunya kita tidur juga! Jangan menambah gosip!,” sela Bu Sari.
Mereka bertiga pun tertawa kecil lalu berjalan menjauh dan membiarkan malam itu menjadi saksi dari langkah baru Azura dalam hidupnya. Pikir mereka 😁
**
Kamar utama kini hanya diterangi lampu temaram yang ada di sudut ruangan di hiasi tirai jendela yang bergerak pelan karena tertiup angin malam.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat, Azura membawa piyama tipis dan handuknya masuk ke kamar mandi dengan langkah yang ragu.
Begitu pintu tertutup, Azura pun segera membersihkan diri lagi untuk ke sekian kalinya, saking gugup. Setelah selesai ia pun berdiri di depan cermin besar yang berada di atas wastafel.
Rambutnya setengah basah, tubuhnya dibalut handuk, dan wajahnya memerah karena merasa gugup.
“Azura, apa kamu yakin akan melakukannya? Apa kamu yakin akan menerima Rangga dengan kekurangannya?,” gumam Azura sambil menatap bayangannya di cermin.
“Dia bisa saja menyakitimu lagi… Tapi dia juga bisa berubah. Mungkin… jika ada yang tulus…” lanjutnya sambil tangannya mencengkeram ujung handuk dengan erat.
Namun, Azura langsung menggelengkan kepalanya seakan ingin menghempaskan bayangannya. Lalu ia melangkah pelan ke sisi bathtub, lalu duduk di tepinya dan menarik napas panjang.
"Hufffttthhhh...."
Beberapa detik kemudian, Azura berdiri lagi lalu mengambil piyama lembut dari gantungan. Tapi... tangannya gemetar, ia bahkan menjatuhkan piyamanya itu tanpa sadar.
“Aduh… Azura, kamu ini kenapa sih? Tenang… tenang…” gumamnya sembari memungut kembali pakaiannya.
Azura mencoba membasuh wajahnya berkali-kali dan berharap sensasi dingin dari air yang membasahi wajahnya itu bisa meredam kecamuk di dadanya.
Tapi setiap kali ia menatap cermin lagi, wajahnya masih terlihat sama, gelisah namun penuh tekad.
Sementara itu di kamar, Rangga masih duduk tempat yang sama. Pandangannya lurus ke luar jendela yang masih sedikit terbuka sehingga cahaya bulan yang menembus masuk menerangi separuh wajahnya.
Wajah pria itu tampak datar. Namun sesekali, senyuman tipis menghiasi wajahnya, lebih jelasnya senyuman yang aneh, seperti mengingat sesuatu.
Tapi detik berikutnya, senyuman itu menghilang begitu saja dan berganti dengan tatapan kosong dan dahi yang mengerut.
“Kenapa suara-suara itu muncul lagi? Siapa yang menunggu di luar sana…?,” gumam Rangga.
Lalu Rangga bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu kemudian membukanya dan keluar ke koridor dengan tatapan linglung.
Langkahnya terus berjalan hingga melewati ruang keluarga, lalu menuju taman belakang.
Meskipun angin malam diluar sangat dingin tapi Rangga seperti tak merasakannya. Dan juga meskipun para penjaga berada di sekitarnya, mereka tidak berani menegur ataupun menghalanginya.
Rangga kini berdiri di bawah pohon besar dekat kolam ikan sambil menatap kosong ke arah kegelapan taman.
“Kau di sini lagi… Kau menungguku, ya?,” bisik Rangga seperti berbicara dengan seseorang.
Rangga tersenyum… lalu tertawa pelan. Namun tawanya berakhir tiba-tiba dan ekspresi wajahnya pun berubah dingin.
“Mereka tak akan pernah mengerti... Kecuali dia… Dia harus mengerti...”
Tangan Rangga meraba dadanya sendiri, seolah mencoba menenangkan sesuatu yang bergejolak di dadanya sambil terus meracu.
Sementara itu, Azura akhirnya menyelesaikan ritual canggungnya. Ia sudah mengenakan piyama dan berdiri sejenak di depan pintu kamar mandi sebelum membuka pintu kamar.
Namun saat ia masuk, kamar itu kosong.
“Rangga…?.”
Azura melangkah pelan ke sisi tempat tidur, lalu ke dekat jendela yang terbuka.
“Kemana dia pergi…?”
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong