Ariana harus menerima pukulan terberat dalam hidupnya, ketika suaminya ketahuan selingkuh dengan adiknya. Siapa yang mengira, berkas yang tertinggal suatu pagi membawa Ariana menemukan kejam suatu perselingkuhan itu.
Berbekal sakit hati yang dalam, Ariana memutuskan untuk pergi dari rumah. Namun dibalik itu, dia secara diam-diam mengurus perceraian dan merencanakan balas dendam.
Apakah Ariana berhasil menjalankan misi balas dendamny??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ristha Aristha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hidup Lagi Capek, Malah Ketemu Ayunda
"Siapa?" Tanya perempuan yang belum tahu tahu namanya, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. "Kamu kenal sama dia?"
Aku menggeleng, merasakan sedikit canggung. "Aku gak tau." Tentu saja ini adalah hari pertama aku bekerja disini. Semua masih asing bagiku.
Mendadak, keadaan diruangan menjadi hening. Semua percakapan berhenti sejenak, dan seluruh mata tertuju pada gadis yang mencolok itu. Rambutnya diwarnai coklat tua yang cukup terang, membuatnya mudah dikenali diantara kerumunan. Dia duduk dengan acuh, bahkan tanpa menyapa satupun yang ada disini.
"Kayaknya dia orangnya", gumam perempuan yang masih berdiri disampingku. "Hei, Ariana. Coba kamu tanyain siapa namanya".
Mataku sontak melebar, merasa terkejut karena ikut terseret dalam rasa penasaran yang tak berdasar itu. "Kenapa aku?" Tanyaku setengah berbisik.
"Karena kalian sama-sama anak baru", sambungnya. "Udah buruan tanyain. Lagian dia gak sopan banget langsung duduk kayak gitu. Minimal nyapa kek!"
Ludah didalam mulutku mendadak kering. Bukan aku yang mengatakan hal itu, justru aku yang merasa tidak enak karena walaupun pelan, tapi bisa di pastikan gadis yang duduk tidak jauh dari kami bisa mendengar.
"Buruan. Tanyain juga apakah dia orang yang dibawa oleh anaknya Presdir. Oke?"
Kali ini aku terdiam, aku tak percaya dengan apa yang aku dengar. Dimana letak sopan santunku jika aku menanyakan hal seperti itu?
"Udah buruan, Ariana!" Namun perempuan yang tidak tau malu ini terus mendesak, membuatku terjebak dalam situasi bimbang beberapa saat.
Aku tidak pernah merasa lebih canggung dari ini. Perasaan tidak enak menyelinap di dada, mengalir seperti aliran darah yang cepat. Aku tahu seharusnya aku menolak, tapi ini hari pertamaku kerja. Bagaimana jika mereka membully ku karena aku tidak patuh?
Namun ketika aku masih bergerak agak ragu-ragu, mata gadis itu tiba-tiba beralih padaku, arakan tahu bahwa kamu sedang membicarakannya. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya mengisyaratkan ketidaksukaan yang tidak dapat dipungkiri.
Dengan jantung yang berdegup kencang, aku akhirnya melangkah maju. Langkahku terasa berat, seolah ada beban yang menarikku mundur. Aku berusaha tersenyum, namun aku rada senyum itu lebih terlihat seperti meringis.
"Hai!" Aku mengangkat tangan tangan berusaha sopan. Meski sejujurnya, aku sama sekali tidak yakin dengan apa yang sedang aku lakukan sekarang. "Namaku Ariana, aku juga baru masuk hari ini".
Hening. Sapaanku barusan benar-benar tidak mendapatkan tanggapan. Bahkan kulihat, gadis itu sama sekali enggan menoleh sedikitpun, dia tetap fokus pada ponselnya. Akhirnya, aku menurunkan tangan kanan yang mulai terasa canggung, seperti menarik kembali sesuatu yang sudah hampir terlanjur diulurkan.
Merasa tak memiliki harapan, aku memutuskan untuk mundur. Namun saat aku hampir berbalik, tiba-tiba gadis yang kupikir tak bersedia berbicara itu mengucapkan sesuatu.
"Gladys", katanya dengan suara yang mengejutkan. "Itu yang mereka suruh kamu tanyakan ke aku, kan? Namaku Gladys. Dan aku bukan orang yang dibawa sama anaknya presdir ".
Sesaat aku mematung, terkejut dan tak percaya bertaut dalam ekspresiku. "Ah, Gladys?" Tanyaku memastikan, berusaha mencerna informasi yang baru saja aku ketahui. "Kalo gitu ... Ku harap kita bisa akur?"
Lagi-lagi, hanya sikap dingin yang aku dapatkan darinya. Yah, tidak masalah. Lagipula, dari awal Gladys memang terlihat enggan berbaur dengan kami.
"Ariana!"
Spontan aku berhenti saat gadis itu kembali memanggil.
"Ya?"
Tiba-tiba Gladys mengalihkan pandangannya dari ponsel yang sejak tadi dia tatap. Lalu dengan sorot mata datar, dua berucap, "Walaupun kamu karyawan baru disini, kamu jangan mau disuruh-suruh kayak tadi".
"A__ah..." Aku sedikit kaget, meski tetap mengangguk mengiyakan teguran Gladys diberikan barusan. Kalo dipikir-pikir ulang, dia tidak sepenuhnya buruk. Mungkin saat istirahat nanti, aku akan mengajaknya makan siang bersama.
Setidaknya itu adalah rencana baik untuk mencoba mendekati Gladys, sebelum kenyataan menghantamku bertubi-tubi. Seperti inikah tekanan bekerja di perusahaan besar? Aku bahkan tidak punya waktu untuk minum selain menelan ludah dari tadi.
Naskah yang harus aku periksa tidak masuk akal banyaknya! Ini gila, bagaimana hanya aku yang terlihat sibuk sejak pagi, padahal tampaknya orang-orang lain bersantai-santai. Rasanya seperti aku yang di targetkan untuk menangani semua ini sendiri.
"Kamu gak sadar lagi dikerjain?" Tiba-tiba es Boba muncul di depanku. Apakah aku sekarang lagi berhalusinasi, menganggap bola-bola itu berbicara padaku? Mengernyitkan dahi, mencoba mencerna apa yang barusan terjadi.
Namun untungnya aku masih waras, karena saat aku menoleh, Gladys terlihat memegang es boba yang lain_ persis dengan yang dia letakkan dimeja. Aku menghela napas lega, menyadari bahwa aku tidak berhalusinasi.
"Mereka sengaja ngasih kerjaan ke kamu, biar orang-orang malas itu bisa bersantai", sambung gadis itu dengan wajah datarnya.
"Tapi kenapa aku?" Tanyaku lemas.
"Karena kamu karyawan baru?"
"Tapikan kamu juga sama, kita sama-sama masuk hari ini", ucapku protes.
Kulihat gadis yang masih berdiri itu mengangkat alis. "Itu karena aku beda".
Aku bergeming sebentar. Kepalaku semakin pening sampai-sampai tidak bisa memikirkan perbedaan yang Gladys katakan barusan. Lagipula, seharusnya aku sudah pulang dari sejam yang lalu, kantor juga sudah mulai sepi. Seburuk inikah hari pertamaku?
Tanpa sadar, helaan panjang keluar. Aku mengeluh, meski tetap menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas orang lain.
"Kamu masih mau kerja?" Tanya Gladys dengan nada tak percaya.
Sambil terus fokus menatap naskah, aku mengangguk . "Ya, bentar lagi selesai. Kamu kalo mau pulang duluan gakpapa".
Aku kira, gadis itu akan menanti atau setidaknya memberikan semangat. Namun saat aku menoleh, dia benar-benar mengemasi barang-barang dan berniat meninggalkan aku.
"Kamu beneran mau pulang?" Tanyaku, mencoba menahan rasa kecewa yang muncul.
Dengan wajah datar, dia mengiyakan. "Ya. Katanya tadi aku boleh pulang duluan?"
"Ah, ya..." Aku mengangguk sekenanya. "Kalo gitu hati-hati. Sampai jumpa besok."
Dia hanya mengangguk. Mungkin karena tidak sempat membalas, karena tiba-tiba ponselnya bergetar. Saat dia berbalik, aku mendengar gadis itu mengomel, "Bawel banget, sih! Kenapa gak liat aja sendiri?" Entah siapa yang meneleponnya, namun sepertinya dia buru-buru untuk meninggalkan kantor.
Yah, bukan urusanku. Yang jelas, sepertinya aku juga akan melewatkan makan malam lagi kali ini.
Untungnya, pengalamanku sebagai editor cukup membantu. Tepat pukul tujuh malam pekerjaanku selesai, lebih cepat dari perkiraan.
Meregangkan tangan keatas sesaat setelah selesai mematikan layar komputer. Melihat kantor yang sepi, aku jadi ingat pernah lembur sampai malam di bantu Kenzi. Menyebalkan jika aku mengingat Julio keparat itu, tapi Kenzi sedikit menyelamatkan moment-moment di kantor lama.
"Hah..., makan mie instan kayaknya enak, nih", ucapku bermonolog sambil mengemasi barang-barang sebelum pulang.
Tak mau rencanaku menyantap mie gagal, aku memutuskan untuk mampir ke minimarket di perjalanan pulang. Awalnya tidak ada yang mengejutkan, namun begitu aku masuk dan disapa oleh seseorang dibalik meja kasir, mataku langsung membulat dan bibirku terbuka selebar-lebarnya.
Itu Ayunda. Sejak kapan anak manja itu mau bekerja?
Namun, agaknya bukan hanya aku yang kaget, sebab kulihat Ayunda mendelik tak percaya. Sepertinya dia tidak menyangka aku akan melihatnya bekerja seperti itu.
Malas berbasa-basi atau sekedar menyapa, aku memutuskan untuk langsung berjalan kedalam, menuju rak mie dan mengambil beberapa varian. Kemudian dirasa cukup, aku beralih menuju meja kasir.
Kami saling diam cukup lama. Ayunda samasekali tidak mau menatap, dan aku juga sama. Lebih baik menjaga jarak sebisa mungkin darinya.
"Pulsanya sekalian?" Tanyanya tiba-tiba.
Aku mematung sebentar, meski setelahnya menggeleng. "Nggak usah".
"Kamu pasti ngejek aku dalam hati, kan?"
Keningku mengkerut mendengar perkataan Ayunda barusan. "Kenapa aku harus?"
Bukannya menjawab, kulihat Ayunda malah meremas kuat-kuat mie yang sudah aku bayar. Astaga, kalau dia marah, luapkan saja ke aku, jangan malah membuat mie yang akan aku masak remik begitu.
"Ini semua gara-gara kami!" Lanjut Ayunda, membuatku reflek mengangkat wajah menatapnya. "Gara-gara kamu hidupku jadi seperti ini!"
Lah?