Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 — Guru dari Langit Tenang
Shen Wuyan melangkah perlahan ke aula latihan utama Sekte Langit Tenang. Udara di sekitarnya membawa aroma lilin kristal dan batu bercahaya, mencampur wangi rempah yang ditaburkan di lantai ritual. Cahaya lilin menari di dinding, memantulkan bayangan samar, termasuk bayangan Wuyan sendiri yang bergerak di sudut, selalu sedikit berbeda dari gerakannya yang sebenarnya.
Hatinya campur aduk. Retakan di cermin batu masih membekas di ingatannya. Fragmentasi Hun–Po yang ia rasakan malam itu tidak hanya membuatnya penasaran, tapi juga menimbulkan rasa takut yang sulit dijelaskan. Ia sadar, meskipun bayangan itu tampak jinak, ada sesuatu dalam dirinya yang menunggu untuk muncul, dan ia tidak bisa menolaknya begitu saja.
Elder Ming Zhao duduk di atas bantal meditasi, tubuh tegap meski rambutnya telah memutih, matanya seolah menembus setiap sudut ruangan. Di sekelilingnya, simbol-simbol sekte terpahat di batu, memancarkan cahaya lembut yang menenangkan. Wuyan menunduk hormat sebelum berlutut beberapa langkah dari guru.
“Wuyan,” suara Elder Ming Zhao dalam dan tenang, “kau datang setelah melihat bayanganmu sendiri.”
Wuyan menelan ludah, mencoba meredam gemetar di tangannya.
“Ya, Guru. Aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Bayanganku… terkadang bergerak sendiri, dan seolah… memiliki kehendak sendiri.”
Elder Ming Zhao menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang.
“Setiap jiwa memiliki banyak wajah, Wuyan. Kau baru mulai merasakan sisi gelap yang ada dalam diri. Hun dan Po bukanlah musuh, tapi kekuatan yang harus kau pahami. Terlalu dalam menatap bayangan diri sendiri bisa… fragmentasi jiwa. Aku tidak akan berbohong padamu: ada risiko besar di depan, dan banyak murid tersesat di jalan ini karena ingin menatap sisi gelap itu tanpa kesiapan.”
Wuyan menunduk lebih dalam, napasnya berat.
“Tetapi Guru… bagaimana aku bisa memahami sisi gelapku tanpa menatapnya?”
Elder Ming Zhao menepuk meja batu di depannya perlahan. Setiap ketukan menggetarkan udara halus di aula.
“Sisi gelapmu harus dipahami melalui disiplin dan pengendalian, bukan sekadar tatapan. Bayanganmu adalah cerminan dari Po yang belum tersaring, naluri yang belum kau pahami. Hun menuntunmu mengendalikan logika, Po menguji keberanianmu menghadapi kegelapan. Jika kau mencoba memaksa, Wuyan… kau akan kehilangan keseimbangan.”
Wuyan menggigit bibir, bingung antara hormat dan rasa ingin tahu. Ia ingin mempertanyakan filosofi kuno ini, mencari penjelasan logis, atau paling tidak, menemukan cara praktis memahami bayangannya.
“Guru… apakah ini berarti aku harus menolak sisi gelapku?”
Elder Ming Zhao tersenyum tipis, matanya tetap serius.
“Tidak, Wuyan. Menolak hanya akan membuatnya menempel lebih kuat. Kau harus mengakui, memahami, dan menyalurkan energi itu tanpa membiarkan ia menguasaimu. Menjadi murid Langit Tenang berarti menyucikan roh dari keinginan, bukan memusnahkan bayangan. Jangan lupa, setiap fragmentasi adalah pelajaran tersembunyi, bukan hukuman.”
Wuyan menunduk, mencoba menenangkan jiwanya. Bayangan di sudut aula bergeser, tersenyum singkat, dan menatap Elder Ming Zhao. Guru pura-pura tidak melihat, namun Wuyan tahu ada sesuatu yang tersirat. Sebuah misteri yang hanya dapat dipecahkan melalui kesabaran dan latihan.
“Apa yang harus kulakukan, Guru?” Wuyan bertanya akhirnya, suara lirih.
Elder Ming Zhao mengangkat tangan, menunjuk ke lingkaran simbol di lantai.
“Latihan Hun–Po Refinement harus kau perkuat. Fokus pada stabilisasi jiwa, jangan tergoda oleh keingintahuan yang membabi buta. Ingatlah urutannya: pertama menyatukan Hun, kemudian memahami Po. Mengabaikan urutan sama dengan berjalan di tepi jurang dengan mata tertutup.”
Wuyan mengangguk, menelan rasa takut yang menumpuk di dada. Ia menatap simbol di lantai, merasakan energi berputar di sekitarnya. Lilin kristal bergetar halus, bayangan di sudut bergerak selaras dengan detak jantungnya. Ia sadar ini bukan sekadar latihan fisik atau meditasi biasa; ini ujian batin yang menuntut kesadaran penuh dan kendali atas dirinya sendiri.
“Guru,” Wuyan bertanya lagi, “apakah murid lain bisa merasakan Po seseorang? Apakah mereka bisa menilai… fragmentasi jiwa seseorang?”
Elder Ming Zhao menutup mata sejenak.
“Murid lain mungkin merasakannya, Wuyan, tapi jangan biarkan hal itu menjadi beban. Apa yang mereka lihat hanyalah pantulan energi, bukan esensi jiwamu. Bagaimana kau memandang dirimu sendiri lebih penting daripada penilaian orang lain. Namun, ini juga ujian sosial — mereka akan menjauh jika aura iblismu terlalu kuat, dan kau harus belajar berdiri sendiri dalam isolasi. Itu bagian dari latihan.”
Wuyan mengangguk perlahan, merasakan ketegangan dan rasa terasing semakin nyata. Ia menatap bayangan yang kini bergerak pelan di dinding, tersenyum dengan rahasia yang hanya mereka berdua mengerti. Ada rasa penasaran yang membakar, tetapi juga rasa takut yang mencekam.
Guru berdiri perlahan, langkah mantap dan wibawa.
“Aku akan memberimu nasihat terakhir untuk malam ini, Wuyan. Jangan terperangkap oleh bayanganmu sendiri. Jangan membiarkan Po menguasaimu, dan jangan terlalu membatasi Hun. Keseimbangan adalah segalanya. Sekali kau kehilangan ritme, satu fragmen bisa runtuh dan menimbulkan konsekuensi yang tidak bisa diperbaiki dengan mudah. Seorang murid Langit Tenang bukan hanya soal kekuatan, tapi kehati-hatian.”
Wuyan menunduk hormat.
Elder Ming Zhao menatapnya beberapa detik, seolah menilai kesiapan Wuyan. Bayangan di sudut bergerak, tersenyum lebih lebar, namun guru pura-pura tidak melihat. Aura misterius itu tetap ada, menggantung di udara, menimbulkan pertanyaan yang tak terjawab malam itu.
“Pergilah sekarang. Renungkan ini, latih Hun–Po, dan jangan tergesa-gesa. Keingintahuan yang buta bisa menjadi bencana,” kata Elder Ming Zhao akhirnya.
Wuyan berdiri, menarik napas panjang. Di luar aula, udara malam sejuk menembus kulitnya. Bayangan mengikuti langkahnya dari sudut aula, selalu satu langkah di belakang, senyum itu tetap menempel di ingatannya. Ia sadar perjalanan memahami dirinya sendiri baru saja dimulai, dan jalan di depan dipenuhi misteri, filosofi kuno, dan fragmentasi jiwa yang menunggu diurai.
Di luar aula, angin malam berhembus pelan, membawa aroma kayu bakar dan tanah lembap. Shen Wuyan berjalan perlahan menuruni tangga batu menuju halaman meditasi. Cahaya bulan menembus kabut tipis, menciptakan siluet samar pepohonan dan batu-batu ritual. Bayangan di sudut mengikuti setiap langkahnya, selalu sedikit berbeda—terkadang terlalu panjang, terkadang membungkuk sendiri, selalu tersenyum.
Wuyan menatap bayangan itu dengan hati-hati. Rasa takutnya belum sepenuhnya hilang. Ia merasa ada sesuatu hidup di dalam bayangan itu, sesuatu yang bukan sekadar pantulan, tapi entitas dengan kesadaran tersendiri. Ia mencoba menenangkan pikirannya dengan latihan Hun–Po Refinement sederhana: menyalurkan Hun untuk mengatur logika, menenangkan Po yang gelisah.
Ia duduk di batu datar, kaki menyilang, tangan di pangkuan. Napasnya perlahan dan teratur. Ia memusatkan pikiran pada Hun, merasakan energi jiwa mengalir di seluruh tubuh, hangat dan lembut seperti cahaya emas menembus tulang. Lalu ia mengalihkan perhatian ke Po, sisi naluriah yang liar, gelap, dan keras kepala.
Bayangan bergerak lebih dekat. Kali ini, ia tidak tersenyum saja; ia mulai berbisik, suara lembut namun nyaring di telinga Wuyan, meski tak satu pun bibir bergerak.
“Kau takut, Wuyan… tapi kau ingin tahu. Kau ingin menatapku, dan aku ingin kau melihatku.”
Jantung Wuyan berdetak lebih cepat.
“Apa… apa yang kau inginkan dariku?” tanyanya dalam hati.
“Untuk mengerti… siapa kau sebenarnya,” jawab bayangan itu. “Hun-mu ingin mengendalikan, Po-mu ingin lepas. Tapi aku? Aku ingin kau menyadari semuanya, sebelum terlambat.”
Wuyan menutup mata, menarik napas dalam-dalam. Ia merasakan arus energi berbeda di dalam dirinya — Hun mengalir rapi, Po bergejolak liar. Ia sadar, bayangan itu bukan sekadar pantulan Po; ia adalah cerminan dari fragmentasi yang mulai muncul di jiwanya.
Ia mengingat kata-kata Elder Ming Zhao:
“Satu fragmen bisa runtuh dan menimbulkan konsekuensi yang tidak bisa diperbaiki dengan mudah.”
Dengan tangan gemetar, Wuyan mencoba mengarahkan energi. Ia memusatkan Hun untuk menenangkan Po, merasakan kedua sisi jiwa berinteraksi, beradu, dan akhirnya menemukan titik seimbang. Bayangan itu menatapnya diam-diam, seakan memberi pujian, namun tetap mempertahankan aura misterius yang membuat Wuyan merinding.
“Kenapa kau muncul padaku? Mengapa sekarang?” Wuyan bertanya lagi, kali ini lebih dalam, menyentuh inti ketakutannya.
Bayangan tersenyum lebar.
“Karena kau mulai melihat. Dan ketika mata terbuka, jalan yang tersembunyi akan terlihat. Tapi hati-hati, Wuyan. Banyak yang takut melihatnya.”
Wuyan merasakan ketegangan merayap naik di punggungnya. Ia menekankan kembali Hun, mencoba memahami Po. Suasana malam semakin sunyi. Angin berhenti, kabut menebal, dan cahaya bulan menyorot ke permukaan batu datar, menciptakan pola bayangan yang bergerak seperti naga di tanah. Bayangan Wuyan ikut menari di pola itu, gerakannya terlalu cepat, terlalu nyata.
Ia menunduk, merasakan serangkaian emosi bertabrakan: takut, penasaran, marah, dan keinginan menguasai dirinya sendiri. Bayangan mulai berbicara lebih jelas, kata-katanya tajam dan mengena:
“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Hati Wuyan tercekat. Kalimat itu menembus kesadaran, menyalakan peringatan yang ia coba abaikan selama ini. Ia melihat ke bayangan itu, ingin membantingnya, namun tak bisa; itu bukan makhluk fisik, namun terasa nyata seperti kulit kedua.
Ia merasakan Po memberontak, menginginkan kebebasan, tapi Hun menahan lembut. Ia mengerti sekarang: inilah latihan sejati. Bukan sekadar meditasi atau mengalirkan energi, tetapi menghadapi diri sendiri yang paling gelap, tersembunyi. Bayangan itu adalah guru lain, tak terlihat, yang menguji keberanian dan kesadarannya.
Wuyan menarik napas, mencoba menenangkan diri. Ia membiarkan Hun menyalurkan logika dan kesadaran, sementara Po menyalurkan naluri gelapnya ke energi aman, tidak merusak. Bayangan menatapnya, seakan mengangguk perlahan. Ada rasa puas, namun tidak sepenuhnya; selalu ada misteri yang tersisa.
Di sudut lain malam, suara hembusan angin beradu dengan gemerisik daun, membentuk melodi aneh. Wuyan merasakan setiap detak dunia bergabung dengan jiwanya. Ia sadar bahwa bayangan itu bukan musuh, bukan sahabat; ia adalah bagian dari dirinya, sisi yang harus ia pahami, kendalikan, dan terima.
Namun kata terakhir bayangan itu terus bergema di pikirannya:
“Kau sudah lupa wajahmu sendiri.”
Ia menatap tangan dan wajahnya di permukaan batu lembab, seolah mencari jejak fragmen yang hilang. Bayangan bergerak menjauh perlahan, tetap tersenyum, kemudian menghilang di balik kabut. Wuyan duduk dalam keheningan, tubuh gemetar, tapi pikirannya menjadi lebih jernih.
Malam itu ia belajar satu hal penting: bayangan adalah cermin fragmentasi jiwanya, dan Hun–Po adalah jembatan yang menuntunnya. Tidak ada guru yang bisa memberitahu langkah selanjutnya; hanya latihan, kesadaran, dan keberanian yang akan membuka jalan.
Di kejauhan, lampu kristal aula guru berpendar lembut. Elder Ming Zhao berdiri di ambang pintu, menatap Wuyan tanpa kata. Sekali lagi, bayangan muncul di sudut pandang guru, tersenyum singkat, namun guru pura-pura tidak melihat. Sebuah rahasia tersimpan di balik senyum itu, dan Wuyan merasakannya.
Angin malam menutup tirai kabut, hanya menyisakan satu pesan yang menggaung di hati Wuyan: perjalanan memahami dirinya baru saja dimulai, dan bayangan itu, misterius dan tidak terkendali, akan menjadi bagian dari jalannya.