Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Meja Makan dan Tatapan
Ketika cangkir teh terakhir sudah kosong dan percakapan perlahan mereda, Bulan menatap jam tangannya pelan. lalu mulai melirik kearah Liora yang masih menikmati sajian teh hangatnya.
“Sepertinya kami harus kembali ke kamar, Pak Bhumi. Sudah hampir Tengah hari, dan Liora pasti mau lanjut keliling buat foto-foto lagi.”
Liora mengangguk cepat sembari menaruh cangkir ke meja. “Yup! Tapi teh ini serius, enak banget. Rasa tenangnya nempel sampai ke otak.”
Bhumi tersenyum tipis. “Saya akan sampaikan ke Papa, karena beliau yang meracik campurannya.”
Mereka bertiga berdiri hampir bersamaan. Udara siang berubah sedikit lebih sejuk, walau cahaya matahari mulai berada di atas kepala. Suasana terasa pas — tenang, sopan, dan… sedikit terlalu nyaman untuk sekadar obrolan bisnis.
Namun sebelum salah satu dari mereka sempat melangkah pergi, suara berat tapi hangat terdengar dari arah belakang.
“Bhumi?”
Mereka menoleh hampir bersamaan. Dari arah jalan setapak, seorang pria paruh baya berjalan santai mengenakan kemeja putih dan topi jerami kebun. Di tangannya ada sarung tangan kain, dan langkahnya tegap tapi tenang.
“Pa,” ucap Bhumi refleks, ekspresinya langsung berubah sedikit kaku — antara kaget dan… pasrah.
“Lho, kebetulan banget kamu di sini.” Papa Bagas tersenyum lebar, matanya langsung beralih ke dua perempuan di sisi meja.
“Dan ini siapa, dua wanita cantik yang bikin anak saya betah nongkrong di lounge siang-siang?”
Liora langsung kaku. Bulan sempat menunduk sopan.
“Selamat siang, Pak,” ucap Bulan lembut. “Saya Bulan, dan ini Liora.”
Papa Bagas mengangguk ramah. “Ah, cantik dan sopan pula. Dari mana nih, kalau boleh tahu?”
Sebelum Liora sempat menjawab (karena mulutnya udah kebuka dikit), Bhumi cepat menyela dengan nada datar tapi penuh wibawa.
“Mereka partner bisnis Arjuno Group, Pa. Orang yang membantu kita waktu sistem data Arjuno sempat diserang beberapa hari lalu.”
Mata Papa Bagas membulat kecil. “Ohh—jadi mereka ini orangnya?”
Ia menatap Bulan dan Liora bergantian, wajahnya berubah jadi hangat banget.
“Wah, berarti saya harus berterima kasih secara langsung.”
“Tidak perlu repot, Pak,” jawab Bulan cepat, senyumnya sopan tapi suaranya nyaris bergetar. “Kami cuma melakukan tugas kami.”
“Tugas yang luar biasa, Nduk,” balas Papa Bagas dengan tawa kecil khas orang Jawa. “Kalau bukan karena kerja keras kalian, hotel, resort, pabrik dan perkebunan ini bisa berantakan datanya.”
Liora tersenyum, tapi tangannya udah diam-diam mencubit lengan Bulan di bawah meja yang seolah olah bilang ‘Bestie, dia bokapnyaaa!!’
Dan sebelum Bhumi sempat menyela untuk mengalihkan topik— Papa Bagas sudah menepuk bahu anaknya ringan.
“Kalau begitu, sekalian aja makan siang di rumah, ya. Mamamu pasti seneng bisa kenalan sama rekan kerja kamu ini, Bhumi.”
Hening sepersekian detik. Bhumi hanya sempat mengerjap, lalu perlahan mengusap tengkuknya.
“Sekarang, Pa?”
“Ya iya, sekarang. Kebetulan Mama masak rawon, kesukaanmu.”
Liora langsung menutup mulut, menahan tawa kecil tapi matanya berbinar penuh semangat.
“Oh, kami gak mau merepotkan, Pak,” kata Bulan buru-buru, menolak halus.
“Ah, gak repot sama sekali!” sahut Papa Bagas mantap. “Rumah juga cuma sepuluh menit dari sini. Ayo, bareng aja!”
Bhumi sempat memijit pelipisnya pelan, menatap Bulan dan Liora yang sudah kelihatan antara kikuk dan malu.
Liora justru berbisik kecil di telinga Bulan, “Takdir, Bul, ini terlalu cepat. Apa lo belum siap mental ketemu calon mertua…”
“Liora,” desis Bulan pelan, pipinya udah memerah.
Bhumi menatap keduanya, napasnya sedikit berat tapi suaranya tetap tenang.
“Kalau Papa sudah bilang ‘ayo’, artinya gak bisa ditolak,” ujarnya pelan. “Jadi… sepertinya, kita akan makan siang bersama.”
Bulan tersenyum tipis, lebih ke pasrah elegan.
“Baik, Pak Bhumi.”
Liora menatap Bhumi dengan tatapan “kita semua tahu ini takdir, kan?”
sementara Papa Bagas sudah memimpin jalan dengan senyum puas di wajahnya.
Dan Bhumi… hanya bisa menatap punggung ayahnya, lalu melirik Bulan sekilas —
sebelum akhirnya ikut berjalan, dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
**
Rumah keluarga Jayendra berdiri anggun di antara pepohonan pinus di kawasan Lawang, hanya lima belas menit dari Arjuno Resort. Halamannya luas, dengan jalan setapak dari batu andesit dan taman penuh bunga mawar putih yang dirawat rapi. Begitu mobil berhenti di depan pintu, aroma melati dan kayu manis menyambut setiap langkah mereka.
“Masuk, masuk—” suara Papa Bagas terdengar hangat dari depan pintu.
Ia berjalan duluan sambil memanggil, “Ma, Mama, ada tamu Bhumi nih!”
Pintu rumah terbuka, menampilkan sosok Mama Sinta — wanita elegan berusia awal lima puluhan, mengenakan terusan krem lembut dan senyum hangat yang langsung mencairkan suasana. Tatapannya tajam tapi lembut, tipe ibu yang membaca banyak hal tanpa perlu bertanya.
Bhumi melangkah maju sedikit, memberi hormat kecil.
“Ma, ini Bulan dan Liora ,” katanya pelan tapi mantap. “Partner bisnis Arjuno Group, sekaligus pihak yang membantu waktu sistem kita diserang.”
Mama Sinta menatap dua tamunya dengan ramah, lalu… berhenti sejenak. Bukan karena ragu, tapi karena sesuatu di dalam dirinya bergetar halus — cara anaknya menatap perempuan bernama Bulan itu… berbeda.
Ada kelembutan yang jarang muncul di wajah Bhumi. Cara pandang yang lebih hangat dari biasanya, tapi juga hati-hati. Senyum kecil di ujung bibirnya pun terasa lebih tulus daripada versi “CEO dingin” yang biasanya ia tampilkan di hadapan siapa pun.
“Senang sekali akhirnya bisa bertemu,” ujar Mama Sinta lembut, menatap Bulan dan Liora bergantian. “Terima kasih sudah membantu Arjuno Group.”
“Saya Bulan dan ini Liora, Bu” Bulan tersenyum sopan, menundukkan kepala sedikit. “Kami hanya menjalankan tanggung jawab kami, Bu.” Lanjut Bulan
“Dan dengan sangat baik,” timpal Bhumi lirih, membuat Bulan menoleh sekilas — hanya sekilas, tapi cukup untuk membuat Mama Sinta semakin yakin dengan dugaannya.
*
Mereka lalu dipersilakan menuju ruang makan — meja panjang kayu jati dengan taplak krem dan vas bunga segar di tengahnya. Aroma rawon nguling yang baru disajikan memenuhi udara, berpadu dengan harum nasi hangat dan sambal terasi khas rumah.
Belum sempat mereka duduk semua, suara langkah cepat terdengar dari arah tangga.
“Kak Bhumi!” seru suara muda yang penuh semangat.
Seorang gadis berambut hitam panjang berlari kecil, masih mengenakan baju rumahan dengan sweater abu. Wajahnya manis, matanya berbinar. Andara Jayendra, adik perempuan Bhumi, langsung menghampiri meja.
“Ini Dara,” ucap Bhumi singkat. “Adikku.”
Dara tersenyum cerah, lalu langsung menatap dua tamu di meja dengan antusias.
“Hai, Aku Dara!”
Bulan tersenyum lembut. “Hai, Dara, Saya Bulan dan ini Liora.”
“Wah, dua-duanya cantik banget! Kalian kerja bareng Kak Bhumi, ya?”
Liora terkekeh kecil. “Iya. Bisa dibilang giru, kita dari Global Teknologi, perusahaan yang kerja sama sama Arjuno Group.”
Dara mendengar kata “teknologi” langsung bersinar. “Jadi kalian orang IT gitu?”
“Iya,” jawab Liora. “Tapi kalau soal coding, hacking, bikin sistem, atau antivirus, yang paling hebat itu Bulan. Aku cuma bagian nego klien sama marketingnya aja.”
Bulan langsung menyikut Liora pelan di bawah meja, tapi Dara sudah berdecak kagum.
“Serius, Kak Bulan bisa hacking?”
Bulan tersenyum kecil, menatap Dara dengan sabar. “Hehe, bukan buat hal jahat ya, tapi kadang memang harus ngerti cara hacker kerja supaya bisa bikin sistem yang lebih kuat.”
“Wah… keren banget,” gumam Dara pelan, matanya benar-benar berbinar. “Aku kira orang IT tuh nerd, kacamataan, gak seru. Tapi kalian tuh—”
Liora nyengir. “Cantik dan keren, kan?”
Dara mengangguk cepat. “Banget!”
Suasana meja makan langsung berubah hangat. Tawa kecil terdengar, obrolan mengalir ringan.
Papa Bagas tampak menikmati percakapan itu, sesekali menyela dengan pertanyaan seputar dunia teknologi yang membuat Bulan dan Liora menjelaskan dengan sabar. Dara bertanya tanpa henti — tentang coding, virus, sampai gimana caranya “bikin sistem yang bisa nyerang balik hacker.”
“Wah, itu kerjaan berat banget, Bulan,” kata Papa Bagas setelah mendengar cerita Bulan tentang serangan data tempo hari. “Kamu kayak pahlawan digital.”
Bulan hanya tersenyum kecil, matanya beralih sekilas ke Bhumi di seberang meja. “Saya cuma kebetulan berada di tempat dan waktu yang tepat, Pak.”
Bhumi, yang sejak tadi lebih banyak diam, menatapnya lama sebelum menjawab pelan,
“Dan kalau kamu gak ada di tempat itu, kami bisa kehilangan banyak.”
Mama Sinta memperhatikan interaksi kecil itu — bagaimana Bhumi berkata “kami” tapi matanya hanya menatap satu orang. Bagaimana senyum Bulan muncul perlahan tapi menunduk sesudahnya, seperti berusaha menjaga batas profesional. Dan bagaimana udara di antara mereka tiba-tiba berubah — lembut, tapi penuh arus kecil yang hangat.
Dara masih sibuk mengagumi Bulan. “Aku pengen belajar coding juga deh, kayak Kak Bulan. Keren banget bisa nyiptain sistem sendiri.”
Bulan tertawa kecil. “Boleh banget, nanti kalau kamu ke Surabaya, aku ajarin dasar-dasarnya.”
“Serius, Kak?”
“Serius.”
Dara langsung menoleh ke Bhumi. “Kak, aku boleh ke Surabaya dong!”
Papa Bagas tertawa terbahak. “Nah, itu baru niat bagus. Belajar sama ahlinya!”
Liora menahan tawa, menatap Bulan yang udah mulai salah tingkah.
Dan di ujung meja, Mama Sinta masih tersenyum — senyum seorang ibu yang tahu persis kapan sesuatu mulai tumbuh, bahkan sebelum anaknya sendiri menyadarinya.
Tatapannya bergeser pada Bhumi, lalu ke Bulan yang tengah menjawab pertanyaan Dara dengan sabar. Hatinya berbisik pelan, “Akhirnya, ada seseorang yang bisa buat Bhumi tersenyum tanpa ia sadari.”
*
Udara sore di Lawang turun perlahan seperti selimut lembut. Cahaya matahari menembus celah dedaunan pinus, menari di atas teras belakang rumah keluarga Jayendra yang menghadap kebun bunga kecil. Aroma tanah basah berpadu dengan wangi melati dari taman belakang—menenangkan siapa pun yang duduk di sana.
Teras itu luas, dengan meja rotan dan empat kursi empuk berwarna krem muda. Secangkir teh melati mengepulkan aroma samar, ditemani piring kecil berisi kue pisang buatan Mama Sinta sendiri. Bhumi, Liora, dan kedua orang tuanya duduk santai di sana, sementara Dara menarik tangan Bulan untuk ikut berjalan ke arah kebun bunga di belakang rumah.
“Yuk, Kak Bulan! Aku tunjukin tempat favoritku,” ujar Dara riang.
Bulan sempat menoleh ke arah Bhumi sebelum ikut langkahnya, tersenyum tipis — sebuah senyum sederhana yang entah kenapa membuat Bhumi tak sanggup mengalihkan pandangan.
Mama Sinta, yang duduk di sebelah Papa Bagas, menangkap pandangan itu. Senyumnya perlahan terbit, lembut dan penuh arti, sementara ia menyesap tehnya dengan elegan.
“Bhumi,” ujarnya santai, suaranya mengalun lembut tapi sarat makna, “Patner kerjamu itu... menarik sekali, ya.”
Bhumi sempat batuk kecil, menaruh cangkirnya.
“Menarik… dalam arti kerjaannya bagus, kan, Ma?”
Papa Bagas ikut terkekeh pelan. “Hm, kerjaannya, ya?” ulangnya dengan nada menggoda.
Liora, yang duduk di samping Bhumi, sudah tersenyum geli sejak tadi. Dan sebelum Bhumi sempat mengalihkan topik, suara ceria Liora meluncur, entah dari keberanian atau sekadar naluri jahilnya,
“Pak Bhumi, maaf nih, tapi… Bapak suka ya sama sahabat saya?”
Sunyi sesaat.
Bhumi menatap Liora dengan ekspresi antara kaget dan tak percaya—lalu mengembuskan napas pelan, sudut bibirnya terangkat.
“…kelihatan, ya?”
Seketika tawa pecah di teras. Mama Sinta menutup mulutnya dengan kipas tangan, berusaha menahan senyum. Papa Bagas tertawa lepas sampai bahunya naik-turun. Liora memegang perutnya sambil ikut tergelak.
“Wah, anakku ini akhirnya bisa juga ngomong jujur soal perasaan,” ujar Papa Bagas, masih tertawa.
Mama Sinta menimpali dengan senyum hangat, “Mama rasa… itu pertama kalinya kamu mengakui sesuatu tanpa disembunyikan di balik sikap dinginmu itu.”
Bhumi mengusap tengkuknya, setengah malu setengah menyerah.
“Ya ampun, Ma, Pa…” gumamnya pelan, tapi tak ada kekesalan di nadanya—justru ada sesuatu yang tenang di sana, sesuatu yang tulus.
Liora mencondongkan tubuh, suaranya lebih lembut kali ini.
“Saya setuju, Pak Bhumi,” katanya, senyum di wajahnya berubah lembut.
“Tapi kalau Bapak mau deketin Bulan, Bapak harus usaha sendiri ya. Saya cuma bisa bantu sebisanya.”
Bhumi menatapnya, sedikit terkejut dengan perubahan nada itu.
“Bulan itu…” Liora berhenti sejenak, menatap ke arah kebun bunga di kejauhan, tempat Bulan dan Dara sedang berjalan pelan sambil berbicara.
“Dia yatim piatu. Udah mandiri sejak umur delapan belas. Bulan yang saya kenal sekarang adalah Bulan yang gak kenal Lelah buat kerja keras. Dulu dia kerja keras hanya untuk adiknya Lintang, ehh sampe sekarang malah keterusan.” Ucap Liora terkekeh mengingat apa yang sudah sahabatnya lakukan dulu.
Hening sesaat. Hanya angin sore yang berdesir di sela percakapan itu.
“Dia kelihatan kuat dan tenang tapi dibalik itu semua dia juga punya trust issue dalam hubungan keluarga” lanjut Liora, suaranya turun menjadi hampir seperti bisikan, “Makanya dia jarang banget bersandar ke siapa pun. Bulan selalu bilang kalo bersandar sama seseorang itu akan dicap lemah, makanya dia selalu ngerasa harus bisa mandiri karena ..” Ada jeda dikalimat Liora yang membuat Bhumi, Papa Bagas, dan Mama Sinta penasaran.
“… Karena sejak orang tuanya meninggal seluruh keluarga besarnya meninggalkannya, Pak. Sejak hari itu dia sendirian dan tidak ada yang mendukungnya, mereka semua meninggalkannya.”
Bhumi terkejut mendengar penuturan Liora, lalu melihat kearah Bulan yang sedang asik bercerita dengan Dara di kebun bunga. Bhumi melihat wajah cantik dan teduh milik Bulan memang serasa menyimpan banyak beban dan kekhawatiran, tapi sepertinya Bulan sangat pintar untuk menutupinya.
Bukan hanya Bhumi saja yang terkejut, tapi Papa Bagas dan Mama Sinta pun ikut terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin seorang gadis belia yang sedang terpuruk malah ditinggalkan dan tidak ada yang mendukungnya. Papa Bagas dan Mama Sinta merasa tersentuh sekaligus kagum akan seorang Bulan. Mereka berfikir kalau Dara yang mengalaminya, pasti Dara sudah tidak kuat dan memilih untuk bunuh diri.
Sedangkan Liora memejamkan matanya sejenak mengingat dulu bagaimana Bulan pelan pelan bangkit dari keterpurukannya tanpa dukungan dari siapapun, hanya Liora yang selalu berada disampingnya bahkan hingga saat ini.
“Dan mungkin… laki-laki seperti Bapak yang bisa ngebuat dia percaya kalau bersandar itu bukan kelemahan.”
Bhumi terdiam lama. Sinar lembut matahari sore jatuh di wajahnya, menampakkan ekspresi lembut yang jarang muncul — bukan karena rapat atau target, tapi karena sesuatu yang menyentuh sisi hatinya yang paling tenang.
Papa Bagas menepuk pundaknya pelan, dengan tawa kecil yang muncul disudut bibirnya.
“Kalau gitu, tunggu apa lagi? Perempuan sebaik itu jangan kebanyakan dipikirin. Nanti keburu digondol orang!”
Mama Sinta menatap suaminya dengan senyum geli tapi setuju.
“Betul kata Papamu, Bhumi. Kadang kamu terlalu lambat dalam hal yang penting,” katanya sambil menatap putranya penuh kasih. “Untuk hal ini… mungkin sudah waktunya kamu berani sedikit.”
Bhumi menatap keduanya — orang-orang yang mengenalnya paling lama di dunia ini — dan tersenyum kecil. Sebuah senyum yang tenang tapi bermakna.
*
Sementara itu, di sisi lain kebun bunga kecil di belakang rumah, Dara berjalan santai di antara barisan bunga dan daun hijau mengilap. Bulan mengikutinya dengan langkah ringan, ujung rambutnya menari kecil tertiup angin sore.
“Cantik banget ya tempatnya,” ujar Bulan lembut.
Dara mengangguk antusias. “Iya! Aku suka banget ke sini sore-sore. Sinar mataharinya tuh selalu bagus buat foto.”
Bulan tersenyum, matanya memandang hamparan kebun kecil yang dijaga rapi.
“Kayak tenang, ya? Ngingetin aku sama masa kecil…”
“Di mana, Kak?”
Bulan berhenti sebentar, menatap lembut ke arah hamparan teh.
“Rumah yang dulu. Tapi udah lama banget,” jawabnya pelan.
Dara menangkap ada sesuatu di balik senyum Bulan yang tipis — semacam nostalgia yang lembut tapi juga sunyi. Ia lalu cepat-cepat mengganti suasana, “Eh, Kak Bulan, aku pengen belajar bikin program, beneran lho!”
Bulan tertawa kecil. “Masih semangat ya? Nanti aku ajarin dasar-dasarnya, janji.”
“Serius ya!”
“Serius. Tapi nanti kamu juga harus sabar, coding itu suka ngeselin,” jawab Bulan sambil tersenyum geli.
Dara terkekeh, lalu menatap Bulan yang wajahnya tampak lembut diterpa cahaya sore.
“Tau gak, Kak?” katanya tiba-tiba.
“Apa?”
“Kakak keliatan kayak orang yang tenang banget. Tapi aku rasa… kalau Kak Bulan ketemu orang yang tepat, Kakak bakal keliatan beda banget.”
Bulan menatap Dara, sedikit heran tapi tersenyum.
“Kenapa kamu ngomong gitu?”
Dara mengedikkan bahu, matanya berkilat jahil. “Feeling aja. Soalnya… Tadi aku liat Kak Bulan pas tatapan sama Kak Bhumi.”
Bulan tertegun sejenak — lalu tertawa kecil.
“Daraaa…”
“Apa? Aku cuma bilang fakta yang aku liat,” sahut Dara cepat. “Tadi pas makan siang aja udah keliatan kok.”
Bulan hanya bisa tersenyum sambil menggeleng, tapi senyum itu — meski samar — menyisakan sesuatu yang hangat di dadanya. Sore itu, di antara aroma teh dan tawa kecil Dara, Bulan tidak sadar bahwa di teras belakang, seseorang sedang menatap ke arahnya — dengan tatapan yang penuh makna, yang tak lagi bisa disembunyikan.
**
tbc