Trauma masa lalu mengenai seorang pria membuat gadis yang awalnya lemah lembut berubah menjadi liar dan susah diatur. Moza menjadi gadis yang hidup dengan pergaulan bebas, apalagi setelah ibunya meninggal.
Adakah pria yang bisa mengobati trauma yang dialami Moza?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon poppy susan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 3 Penderitaan Moza
Moza menangis sendirian di rumahnya, sudah tidak ada lagi keluarga yang jadi tumpuan hidupnya. Bahkan dari pihak sekolah tidak ada satu pun yang datang ke rumah Moza. Dia sengaja tidak memberitahukan Mamanya meninggal karena dia tahu tidak akan ada yang datang ke rumahnya.
"Ya, Allah kenapa Engkau mengujiku seberat ini?" gumam Moza dengan deraian air matanya.
Sekarang Moza benar-benar sudah sendiri, tidak ada keluarga atau pun teman. Rasanya dia ingin sekali bunuh diri menyusul Mamanya, tapi dendam dihatinya mengatakan jika dia harus membalaskan rasa sakit dia dan Mamanya kepada Papanya. Dia ingin membuktikan tanpa bantuan Papanya, dia akan hidup dengan layak.
"Aku harus mencari pekerjaan untuk biaya sekolah aku dan biaya kuliah aku kelak," batin Moza.
***
Keesokan harinya....
Moza sudah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Raut wajah Moza sangat dingin, tidak ada senyuman sama sekali. Hatinya sudah membeku, tidak ada lagi kebahagiaan dalam hidupnya.
Sesampainya di sekolah, dia berjalan lurus tanpa melihat ke kanan dan ke kiri. Hingga pada saat dia masuk ke dalam kelas, salah satu temannya sengaja mengulurkan kakinya membuat Moza terjatuh dan semua orang menertawakannya termasuk Bagas. Moza tidak bicara sepatah kata pun, dia pun segera bangkit dan duduk di bangkunya.
"Anak dekil dan bau seperti kamu, bisa-bisanya suka sama Bagas, sungguh tidak tahu diri," ledek salah satu temannya sekelasnya.
"Mana mungkin Bagas suka sama kamu, ya pasti lebih memilih Lila lah," sahut yang satunya lagi.
Moza tetap bungkam, bahkan dia terlihat pasrah dengan teman-temannya yang sudah memperlakukan dia dengan seenaknya. Bagas hanya bisa melihat semua itu, sebenarnya ada perasaan kasihan kepada Moza tapi tetap saja dia membiarkannya tanpa berniat menolong Moza. Tiba-tiba guru datang, dan semua anak cepat-cepat duduk di bangku masing-masing.
"Moza, kamu sekolah? Ibu kira hari ini kamu akan izin," seru Bu Winda.
"Iya, Bu," sahut Moza singkat.
Gurunya itu memang tahu jika kemarin Mamanya Moza meninggal. Ia datang ke rumah Moza pas malam hari karena ada keperluan. "Maaf ya, Moza hanya Ibu sendiri yang datang tapi kepala sekolah sudah memberikan uang santunan untukmu," ucap Bi Winda.
"Tidak apa-apa Bu," sahut Moza dengan wajah dinginnya.
"Uang santunan?" batin Bagas bingung.
"Oh iya, anak-anak kalian harus mengucapkan bela sungkawa kepada teman kalian Moza Anarita karena kemarin Mamanya baru saja meninggal," seru Bu Winda.
Bagas membelalakkan matanya. "Ternyata dia diam saja karena Mamanya meninggal," batin Bagas.
Moza mengikuti pelajaran seperti biasanya, hingga waktu istirahat pun tiba. Lila masuk ke dalam kelas Moza dan langsung menghampiri Moza. "Dengar-dengar Mama kamu meninggal karena bunuh diri ya? astaga, kok bisa Mama kamu bunuh diri? menyeramkan sekali," ledek Lila dengan senyumannya.
Moza membelalakkan matanya, dia tidak tahu Lila tahu dari mana jika Mamanya meninggal akibat bunuh diri. Moza lagi-lagi diam, dia tidak mau membalas ucapan Lula. Dikarenakan tidak ada reaksi apa-apa, Lula pun sedikit kesal lalu kembali mengejek Moza.
"Alasan Mama kamu bunuh diri karena Papa kamu pergi dan lebih memilih wanita lain, iya 'kan? kasihan sekali, sudah tidak punya Mama dan sekarang Papa kamu pun tidak sudi menganggap kamu anaknya," hina Lula.
Moza mulai mengepalkan kedua tangannya. Semua anak-anak menertawakan Moza, hingga darah Moza mendidih. Dia pun berdiri dari duduknya, dan langsung menampar Lula membuat semuanya kaget.
"Kenapa kamu urusi kehidupan aku? lebih baik urusi saja kehidupan kamu sendiri!" bentak Moza.
Bagas dan Delon masuk, Lula langsung pura-pura menangis. "Lula, kamu kenapa?" tanya Bagas khawatir.
"Moza menampar aku, Bagas," sahut Lula dengan air mata buayanya.
"Apa! kenapa kamu ditampar?" tanya Bagas.
"Aku juga tidak tahu, barusan aku datang ke sini karena aku dengar Mama dia meninggal dan aku hanya ingin mengucapkan duka cita tapi dia malah langsung menampar aku, mungkin dia masih marah sama aku," dusta Lula.
Moza hanya tersenyum sinis, tanpa disangka-sangka Bagas pun menampar Moza membuat semua anak kaget. Lagi-lagi Moza diam, dia tidak berniat untuk membalas atau pun menjelaskan karena dia yakin tidak akan ada uang percaya padahal kenyataannya tidak seperti itu.
"Ternyata aku salah menilai kamu, aku pikir kamu anak yang baik dan lugu tapi nyatanya kamu anak yang jahat. Lula sudah berbaik hati ingin belasungkawa, kamu malah menampar nya, sungguh keterlaluan kamu!" bentak Bagas penuh amarah.
Bagas pun menarik tangan Lula dan membawanya pergi dari kelas. Begitu pun dengan anak-anak yang lainnya, yang ikut pergi. Tinggalah Moza yang terduduk lemas di kursi, air mata mulai menetes sungguh penderitaan Moza bertambah lagi.
Moza ingin sekali keluar dari sekolah, tapi hanya tinggal beberapa bulan saja dia lulus. Lagi pula kalau keluar dari sekolah, mana bisa dia mencari pekerjaan nantinya. Mau tidak mau dia harus bertahan, tidak peduli seberapa besar penderitaan yang nantinya akan dia alami.
***
Waktu pulang sekolah pun tiba....
Dia mengambil dompet dari dalam tasnya. Setiap hari dia selalu mengumpulkan uang untuk berlatih Disc Jockey alias DJ. Sejak kecil entah kenapa dia suka sekali nge-DJ, dan itu merupakan hobi yang tidak biasa.
Dia pun naik angkot menuju tempat pelatihan. Sesampainya di sana, dia disambut hangat oleh pelatih dan peserta lainnya. Hanya itu satu-satunya tempat yang bisa membuat hatinya tenang sejenak dan melupakan permasalahan hidupnya.
"Sepertinya ini adalah hari terakhir aku mengikuti les DJ, karena mulai besok aku harus irit memakai uang," batin Moza dengan mata berkaca-kaca.
Moza mempunyai cita-cita menjadi DJ terkenal. Kehidupan dia selama ini penuh dengan kesedihan dan penderitaan, hanya hobinya itu yang bisa membuat pikiran dan hati dia tenang. Tapi sekarang, dia harus berbesar diri keluar dari les DJ karena dia tidak akan mampu membayarnya lagi.
Dua jam pun berlalu, selesai les DJ, dia pun pulang menjelang maghrib. Dia tampak kelelahan, bahkan dia hanya bisa merebus mie instan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Moza makan mie sembari menangis, dan percayalah makan sambil menangis itu rasanya sangat menyakitkan.
"Ma, Moza sudah tidak kuat lagi. Apa Moza harus menyusul Mama?" gumam Moza dengan deraian air matanya.
Kehilangan Mamanya membuat Moza kehilangan arah. Tidak ada yang memeluknya, memasak untuk dirinya, bahkan memarahinya ketika dirinya berbuat salah. "Ma, Moza rindu sama Mama," lirih Moza dengan bibir yang bergetar.
Moza anak remaja yang baru berusia 17 tahun itu harus bangkit sendiri tanpa adanya bimbingan dari kedua orang tuanya.