NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ayah Tiri

Terjerat Pesona Ayah Tiri

Status: tamat
Genre:Tamat / Balas Dendam / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Romansa
Popularitas:23.9k
Nilai: 5
Nama Author: Grace caroline

Dia, lelaki yang kini menjadi ayah tiriku, adalah sosok yang takkan pernah ku lepaskan dari kehidupanku. Meskipun tindakan ini mungkin salah, aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala resikonya. Awalnya, dendamlah yang mendorongku mendekatinya, namun seiring waktu, cinta telah tumbuh di dalam hatiku. Tak ada satu pun pikiran untuk melepaskannya dari pelukanku.

Kini, ayah tiriku telah resmi menjadi kekasihku. Dia terus memanjakanku dengan penuh kasih sayang. Aku mencintainya, dan dia juga mencintaiku. Meskipun posisinya masih terikat sebagai suami ibuku, aku tidak peduli. Yang penting, aku merasa bahagia, dan dia juga merasakannya. Mungkin ini dianggap sebagai dosa, namun tak ada api yang berkobar tanpa adanya asap yang mengiringinya.

"Ayah, aku mencintaimu," apakah kalimat ini pantas untuk aku ucapkan?

AKAN LANJUT DI SEASON 2 YAA, HAPPY READING AND HOPE YOU LIKE:))

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 22. Andai Bukan Satu Darah

Widya masih juga kepikiran dengan mimpi yang dia alami beberapa saat lalu. Mimpi buruk yang melibatkan Jelita dan Revan sebagai tokoh yang muncul di mimpinya. Semua kata-kata itu terus terngiang-ngiang dalam benaknya, hingga membuat Widya merasa takut untuk memejamkan mata.

Sedari tadi atensinya berkelana ke seluruh penjuru ruangan, menelusurinya dengan pandangan takut. Rasanya seperti nyata. Apa yang barusan dilihatnya dan didengarnya tidak seperti mimpi.

Huufftt ...

Rasanya Widya masih deg-degan mengingat mimpi yang barusan dia alami. "Kenapa aku mimpi itu, rasanya nyata sekali. Apakah ini peringatan untukku atas semua kesalahanku? Aku takut mimpi seperti itu akan datang kembali. Rasanya menakutkan berada dalam posisi itu. Terlebih Jelita. Kenapa harus dia yang mengatakan semua itu dalam mimpi tadi? Kenapa tidak orang lain? Setelah bermimpi itu aku tak dapat lagi menutup mata. Rasanya menakutkan sekali, aku tidak kuat." 

Widya mulai bangun dari posisinya dan terduduk di sisi ranjang dengan tangan melingkari kakinya yang tertekuk. Pikirannya masih melayang ke sana kemari.

Dia masih tidak menyangka jika dia akan bermimpi seperti itu. Mimpi yang membuatnya ketakutan dan terus kepikiran. Tidak dapat lagi menutup matanya dan terus terjaga. Mimpi barusan sudah sangat menguras tenaga dan pikirannya.

Membuatnya tidak dapat melupakannya atau sekedar mengalihkan pikirannya darinya. Mimpi itu terlalu nyata, Jelita yang mengatakannya tidak mampu membuat Widya lupa. Ingatannya terus terarah pada mimpi itu.

...................................................

Keesokan harinya di apartemen Jelita, tampak ia dan Revan Tengah sama-sama tertidur dan berbalut dalam satu selimut yang sama. Keduanya masih sama-sama full naked dan terus berpelukan.

Sepertinya apa yang mereka lakukan kemarin malam sudah sangat menguras tenaga mereka. Hingga pagi menjelang Jelita maupun Revan tidak ada yang membuka mata.

Keduanya masih terus terlelap. Sampai beberapa saat setelahnya Jelita membuka matanya dan merasakan sekujur tubuhnya serasa kaku. Kakinya kram dan tidak bisa digerakkan. Ah, menyakitkan. Ia merasakan bagian bawahnya serasa ngilu, apakah permainan semalam terlalu dahsyat?

Rasa-rasanya tidak terlalu, namun sekujur tubuh Jelita rasanya nggak karuan. Lemah, letih dan tentunya melelahkan.

Lalu Jelita segera saja menyingkirkan tangan Revan dari pinggangnya dan bergegas ke kamar mandi dengan sempoyongan, mencuci muka dan mengamati mukanya yang benar-benar berantakan. Rambutnya awut-awutan, kantung mata yang menghitam, serta bercak-bercak merah di berbagai bagian tubuhnya sontak membuat Jelita malu.

Ia bergegas saja untuk mandi dan bersiap ke sekolah. Berharap bercak-bercak merah hasil ciptaan Revan ini bisa menghilang dan tidak membuat curiga. Karena bercak itu tidak hanya ada pada tubuhnya, tapi juga leher dan bagian selangkangannya.

Revan terus mencumbuinya, hingga menciptakan bercak merah ini. Sialan. Terang saja ini terjadi juga karena persetujuannya. Ia yang meminta Revan memanjakannya hingga tidak ingat jika bercak merah seperti ini akan membuat mata menelisik bila Ia datang ke sekolah dengan masih ada bercak ini di tubuhnya.

Semalam ia dan Revan terus terhanyut dalam pertempuran itu hingga melupakan segalanya, bahkan ponselnya yang berdering pun tidak mengganggu fokus permainan mereka.

Mereka terus bermain dan bermain, hingga lupa daratan. Lupa waktu dan tempat. Alhasil setelah terbangun seperti ini Jelita merasakan sekujur tubuhnya serasa begitu lelah. Kalau saja hari ini tidak sekolah, tidak akan Jelita beranjak dari tempat tidurnya, ia bisa-bisa berbaring seharian melihat tubuhnya yang remuk redam akibat pertempuran semalam. Pertempuran sengit yang menghasilkan peluh, keringat, namun juga memuaskan.

Lalu setelah beberapa saat membersihkan diri, Jelita pun keluar masih dengan mengenakan piyama. Ia tidak membawa seragamnya. Seragam dan keperluan dalamnya masih ada dalam almari. Alhasil Jelita pun segera menuju almarinya untuk mengambil barang-barang itu.

Dengan langkah perlahan, akhirnya tibalah Jelita di hadapan almari besarnya, di sana ia sempat memandangi pantulan diri Revan dari cermin besar di hadapannya Dan tersenyum. Merasa lucu saja melihat dia tidur seperti itu. Seperti bayi, wajahnya sangat damai dalam tidurnya.

Lalu Jelita yang masih asik memandangi Revan lewat pantulan cermin almari di hadapannya, langsung membukanya sesaat mendapati selimut yang menutupi tubuh Revan tersingkap dan menampilkan tubuhnya yang saat itu full naked. Jelita merasa merinding melihatnya, tidak kuat.

Alhasil Ia pun segera saja berganti pakaian sebelum Revan terbangun. Jika Revan terbangun dan melihatnya seperti ini pasti laki-laki itu akan kembali mengajaknya bermain. Dan jika sudah bermain Jelita pasti akan melupakan segalanya, lupa dengan kewajibannya dan dirinya yang harus pergi sekolah.

Lalu 30 menit pun berlalu, Jelita yang sudah siap dengan keperluan sekolahnya tampak duduk di sofa di samping ranjangnya dan sibuk memainkan ponselnya. Sedari tadi atensinya sibuk memandangi chatnya dengan Nara dan memberikan lokasi apartemennya kepada gadis itu.

Awalnya Jelita tidak mengetahui apa tujuan Nara meminta alamatnya, namun setelah menanyakannya langsung, rupanya Nara ada berniat menjemputnya dan pergi ke sekolah bersama-sama.

Saat itu Jelita langsung panik, Revan masih ada dalam apartemennya. Jika ia pergi dengan Nara bagaimana Revan nanti? Apakah sebaiknya ia tinggalkan pesan saja sebelum berangkat dengan Nara? ah, baiklah. Jelita pun segera saja memberikan pesan pada Revan sebelum akhirnya berjalan keluar dari apartemen, menunggu kedatangan Nara di luar.

Tap ...

Tap ...

Tap ...

Sesaat baru saja membuka pintu, Jelita cukup terkejut melihat Nara ada di hadapannya. Gadis itu tampak tersenyum dan menarik Jelita keluar dari apartemennya. "Nar, sejak kapan kamu di sini? Udah dari tadi?" Tanya Jelita, sorot wajahnya tampak panik dan terkejut melihat Nara ternyata datang secepat ini. Seperti rumahnya di dekat sini saja ataupun tinggal dalam satu apartemen yang sama.

"Barusan aja kok, nggak lama. Yuk berangkat." Ajak Nara. Setelah itu Jelita menganggukkan kepalanya dan mereka berangkat.

Namun, di tengah-tengah langkah mereka, Jelita mengetahui Nara seperti terus memperhatikannya. Atensi gadis itu tampak menyelidik ataupun seperti ada sesuatu pada Jelita yang membuatnya terus menatapnya. Aneh. Mengapa Nara terus menatap seperti itu? Terlebih tatapannya, mencurigakan.

Dan Nara yang mengetahui Jelita sadar akan tatapannya, segera tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sepertinya tatapannya terlalu berlebihan. Saking berlebihannya membuat Jelita curiga. 

"Jel, itu di lehermu ada apa? Kok merah-merah gitu, kamu udah ada pacar ya? Siapa?" Tanya Nara tiba-tiba dan pertanyaannya yang random itu membuat Jelita terkejut. Ia seperti bingung untuk akan menjawab apa. Apakah harus jujur atau tidak?

Tapi jika tidak, kata-kata apa yang akan ia katakan? Tidak mungkin kan ia mengatakan jika kekasihnya adalah ayah tirinya sendiri? Itu terlalu berbahaya. Rasa-rasanya seperti masuk ke kandang buaya kalau ia mengatakan itu.

"Loh, pacar? Merah-merah? Emang hubungannya pacar sama merah-merah apa? Nggak ada ya, aku nggak ada pacar." Sahut Jelita berbohong.

Mencoba menutupi lehernya dengan mengusap-usapnya. Ternyata bekas merah itu masih ada. Apakah sejelas itu sampai Nara melihatnya? Sepertinya hanya samar. Namun, mengapa mata gadis itu sangat awas sekali, dia bisa mengetahuinya tanpa Jelita memberitahunya.

Lalu Nara yang mengetahui Jelita berkilah pun, sontak saja tertawa.

Ia ada mengusap-usap keningnya, sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah Jelita. "Jel, Aku ini bukan anak polos ya yang bisa dengan mudah kamu bohongi. Aku tahu, itu bekas cip0k kan? Hayo, kamu punya pacar ya? Siapa? Udah berani aja, itu bercak merahnya ada banyak loh. Di lehermu terlihat samar, tapi aku bisa tahu dengan jelas. Mataku kan tajam hehe." 

Nara kembali tertawa, menertawakan semua ucapannya barusan. Dia menganggap lucu ucapannya, seperti hanya candaan biasa yang tak perlu dipermasalahkan.

Namun, itu tidak berlaku untuk Jelita. Ia langsung salting brutal mengetahui itu. Rasanya ia sudah menghilangkannya, namun kenapa masih tetap ada? Bercak merah ini membuatnya malu, serasa bingung Jelita untuk akan merespon bagaimana ucapan hari ini. Mau jujur berbahaya, mau berbohong semua kata-katanya serasa buntu. Entah kenapa Jelita serasa tertangkap basah saat ini.

Lalu Nara yang mengetahui Jelita terus terdiam pun langsung membawa Jelita berhenti. Dia ada menatap ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang, sebelum akhirnya ia membisikkan sesuatu pada Jelita tepat di depan telinganya.

"Jel, Aku udah pernah mencobanya, jadi kenapa aku bisa tahu. Selain itu, aku udah nggak perawan lagi. Leon dalam keadaan mabuk pernah menyentuhku dan menusukku sampai pagi. Jadi ya gitu, aku jadi suka beneran padanya karena hal itu. Udah yuk kita berangkat sekarang, udah mau mepet nih, nanti terlambat." 

Setelahnya terlihat Nara menarik tangan Jelita dan membawa Jelita pergi, bahkan sebelum Jelita merespon ucapannya. Dia tampak terburu-buru, wajahnya memerah. Sepertinya dia merasa malu setelah dengan sengaja mengatakan aibnya itu kepada Jelita. Aib terbesar yang membuat Jelita syok.

Ia kaget setelah Nara mengatakan jika Leon pernah menyentuhnya, meski itu saat mabuk. Rasanya ia masih sulit mempercayai hal ini. Sebelumnya Leon mengatakan jika dia mencintainya, lalu jika dia mencintainya, kenapa harus Nara yang dia cari ketika mabuk, kenapa tidak Jelita?

Jelita tidak mengharapkan Leon menyentuhnya, hanya merasa heran dengan semua pernyataan ini. Setelah mendengar ucapan Nara, Jelita seperti merasa Leon tidak benar-benar mencintainya.

Seperti laki-laki lain yang mendekatinya karena kemolekan tubuhnya, seperti itulah Leon kepadanya. Rasa percaya Jelita pada Leon sontak pupus setelah mendengar semua ini. Sepertinya Leon pun tidak ada bedanya dengan mereka meskipun ini masih sekedar dugaannya saja.

......................................

Kemudian 30 menit pun berlalu, hawa dingin dari AC yang menyala membuat Revan membuka matanya yang tengah terlelap. Tapi tunggu, di mana Jelita? Mengapa dia tidak ada di sini? Apa dia sudah berangkat duluan? Tapi dengan siapa? Lalu Revan pun segera meraih ponselnya dari atas nakas dan berniat menelpon Jelita, menanyakan keberadaannya.

Namun, begitu Ia membuka nomor Jelita, Revan mendapati Jelita mengirimkan pesan begitu panjang yang inti dari pesan itu adalah Jelita berangkat sekolah bersama dengan temannya yang bernama Nara. Di akhir pesan itu Jelita mengatakan maaf pada Revan karena sudah meninggalkannya tanpa pamit. Langsung pergi tanpa membangunkannya.

Selain itu Jelita juga tidak membangunkan Revan dan mengingatkannya untuk pergi ke kantor. Dalam pesan itu Jelita tampak sangat menyesalinya, ia ada mengirimkan emoticon tangan mengatup serta VN muach yang membuat Revan tersenyum.

Merasa lucu saja melihat Jelita melakukannya. Namun juga senang, dengan semua ini Revan semakin merasa sayang padanya. Rasa cinta yang ia pupuk itu semakin tumbuh dan berkembang. Kini posisi Jelita dalam hatinya sudah setara dengan Widya. Dia mencintai ibu dan anak itu.

Kedua perempuan yang membuat dunianya berubah, terperosok semakin dalam dan jauh. Keindahan yang mereka miliki membuat Revan bingung untuk akan memutuskan keputusannya untuk akan memilih siapa. Keduanya memiliki pesona masing-masing yang sulit dia tolak. Andai saja dia bisa memilih keduanya, pastilah Revan akan menikahi keduanya.

Memiliki mereka sebagai istrinya. Tapi Widya dan Jelita adalah ibu dan anak. Dalam negara dan agama tidak bisa seorang ibu dan anak memiliki satu suami yang sama. Haruslah di antara mereka ada yang mengalah atau tidak berjalannya pernikahan itu.

"Andai mereka bukan satu darah, pasti bisa ku perjuangkan mereka. Tapi mereka satu darah, mengapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini? mencintai ibu dan anak sekaligus. Apakah tidak bisa aku untuk memiliki keduanya? aku mencintainya, tidak bisa untukku hanya memilih salah satu saja ...,"

"Huufftt ... sekarang aku harus pulang. Sepertinya Widya mencariku, dia ada mengirimiku pesan sebanyak ini. Huh, tapi haruskah aku untuk pergi ke kantor? tubuhku sangat letih. Aku ingin istirahat. Tapi jika aku mengambil libur apa kata karyawan lain, aku kan sering mengambil libur. Ya udahlah aku pulang dulu, nanti setelahnya baru pergi ke kantor." setelahnya tampak Revan bangun dari tidurnya dan mengenakan pakaiannya. Dia sempat merapikan kamar Jelita sebelum akhirnya pergi dari apartemennya dengan langkah tergesa-gesa.

.........................................

Lalu Nara dan Jelita yang saat itu sudah tiba di sekolah segera saja beranjak masuk dan tenggelam dalam suatu obrolan yang menyenangkan.

Mereka ada terlihat bersenda gurau sampai karena tawa mereka yang cukup keras, Sinta, guru mereka yang saat itu Tengah lewat langsung menghentikan langkah mereka. Dia ada menatap Jelita dari atas hingga bawah, kemudian ...

"Jel, nanti sepulang sekolah kamu ikut saya sebentar, ada yang mau saya katakan sama kamu. Ini sifatnya penting dan kamu tidak boleh menolak atau jika kamu tidak mengikuti perkataan saya, maka nilai kamu akan saya kosongi. Mengerti? Baiklah, silakan lanjutkan langkah kalian. Saya mau ke ruang guru." ucap Sinta dengan pandangan angkuh dan terkesan acuh sesaat setiap kali bersitatap dengan Jelita.

Seolah Jelita adalah musuhnya ataupun orang tercela yang patut dia benci. "Jel, itu bu Sinta aneh banget deh. Dia minta kamu buat ikut dia, tapi tatapannya angkuh gitu. Sebel aku tiap lihat dia natap gitu ke kamu. Pengen jambak mukanya rasanya." ucap kesal Nara.

Seperti Jelita yang kesal dengan Sinta, Nara pun juga turut kesal. Sejak dulu Sinta selalu seperti itu saat berada dalam satu kondisi yang sama dengan Jelita. Tatapannya terkesan angkuh, dingin, cuek, acuh dan tak bersahabat. Seperti Jelita pernah berbuat salah padanya saat melihatnya seperti itu. 

"Udah, nggak usah dipikirin. Biarin aja. Yuk, kita langsung ke kelas. Udah mepet nih, bentar lagi masuk. Mana jam pertama jamnya sejarah lagi. Males banget, ngantuk. Pak Hendra ngajarnya serasa ngedongeng. Saat pelajarannya aku selalu ngantuk, nggak beberapa kali aku ketiduran saat mapelnya, sampai dipanggil ke ruang BK terus diceramahin panjang lebar." jelas Jelita.

Lalu Nara pun sontak tertawa mendengar pengungkapan Jelita mengenai pelajaran sejarah yang bagi Nara juga terkesan membosankan tersebut. Ia sama tidak sukanya seperti Jelita, namun karena suatu alasan, Nara pun lebih banyak diam sesaat guru itu mengajar di kelasnya.

Tidak berani lagi dia berkutik. Karena jika dia mengulangi satu kesalahan yang sama, pastilah nasibnya akan berakhir seperti dulu. Nara sangat ketakutan, tidak akan dia biarkan hal buruk itu terulang kembali.

Meskipun nanti takdir membawanya pada masalah itu, Nara tidak akan tinggal diam. Sudah kapok rasanya melakukan itu bersama dengannya.

Ternyata apa yang dia pikirkan tidak sama dengan apa yang pria itu pikirkan. Seperti kata pepatah 'orang yang baik di luar belum tentu baik pula di dalam. Dia yang berpenampilan baik dan alim, belum tentu kepribadiannya pun sama dengan apa yang dia tunjukkan.'

Jadi setelah tidak sengaja berbuat salah terhadapnya dan menerima konsekuensi itu, Nara sudah tak mau lagi mengalaminya. Dia sudah sangat kapok dan menyesal pernah ada dalam posisi itu bersamanya.

........................................

Sementara itu di tengah perjalanan pulang ke rumahnya, Revan terlihat begitu fokus pada kemudi setirnya. Pikirannya hanyut dalam keheningan, tanpa terganggu oleh keramaian sekitarnya. Dalam ketenangannya, Revan merenung tentang momen indah yang baru saja ia lewati bersama Jelita.

Kata-kata manis dan perhatian hangat yang dilontarkan oleh Jelita telah menggetarkan hatinya. Semakin lama, Revan semakin tak sabar untuk melangkah ke jenjang pernikahan yang diimpikannya bersama Jelita.

"Jelita bilang kelulusannya tinggal dua bulan lagi, lalu jika itu terjadi apa yang harus aku katakan pada Widya? apakah aku jujur? karena jika berbohong, apa yang harus aku katakan padanya? sejak dulu aku tidak pernah membohonginya. Rasa cintaku padanya mengalahkan segala hal. Aku rela kehilangan segala hal hanya demi dirinya, rela melajang lama hanya demi menunggu jandanya. Lalu dengan semua perjuanganku itu pantaskah aku menghianatinya? aku masih sangat mencintainya, tapi aku juga mulai mencintai Jelita. Pesona mereka membuatku terpikat ...," 

"Huufftt ... andai saja aku bisa memiliki keduanya sekaligus." batin Revan merasa bimbang dengan perasaannya. Merasa sulit untuk memutuskan suatu keputusan tuk akan memilih siapa di antara mereka.

Rasanya keduanya terlalu spesial untuknya hanya memilih salah satu. Ck, membingungkan sekali. Kepalanya serasa pecah sesaat memikirkan semua itu. Serasa di hadapannya ditampilkan ribuan berlian dan ratusan emas, kemudian Revan harus memilih salah satu di antara mereka. Sangat sulit. Keduanya terlalu istimewa dan sempurna.

Sangat sulit baginya untuk hanya memilih salah satu. Lalu Revan yang sedari tadi bimbang memikirkan semua keputusan itu, tanpa sadar tibalah dia di depan rumahnya.

Huufftt ...

Revan terus mengambil napas sebelum akhirnya beranjak turun dari mobilnya dan melangkah ke arah pintu yang saat itu tampak terbuka. Sepertinya Widya ada di ruang tamu. Ya, sepertinya memang benar dia ada di ruang tamu saat ini. Karena jika tidak di sana, takkan mungkin bagi Widya untuk membuka lebar pintunya seperti ini. Pasti dia akan menutupnya rapat dan takkan membiarkan siapapun masuk tanpa seizinnya.

"Dia takkan marah kan, karena aku tidak pulang semalam?" pikir Revan sembari menghentikan langkahnya tepat di depan pintu.

Bersambung ...

1
Putri rahmaniah
jelita lebih cocok dengan Revan ,,dibanding sma ibunya Thor..
◍•Grace Caroline•◍: yes😇😇
total 1 replies
Norah Haderan
jadi penasaran
◍•Grace Caroline•◍: hehe nantikan terus ya kak
total 1 replies
Norah Haderan
guru kok gitu/Smug/
◍•Grace Caroline•◍: hehe maklum kak, udah cinta ya gitu😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!