NovelToon NovelToon
Budak Cinta

Budak Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Diam-Diam Cinta
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: IkeFrenhas

Sudah sekian lama Ayra Zuri memendam perasaan cinta kepada Adya Qias Jarvas. Namun, selama itu pula ia harus menerima kenyataan bahwa lelaki itu memcintai wanita lain.

Evelyn, wanita yang sangat dicintai Qias. Sampai suatu hari wanita itu pula yang tiba-tiba menghilang di acara pernikahan mereka. Hari yang seharusnya bahagia menjadi hari yang begitu nahas.

Ayra tidak pernah sedikit pun berpikir untuk menjadi pengantin hari itu. Terutama menjadi pengganti pengantin yang kabur. Berulang kali Qias meminta maaf, berulang kali pula hati Ayra seperti tersayat pisau berkarat.

Sanggupkah Ayra membuat Qias mencintainya? Sanggupkah Ayra bertahan di saat Evelyn datang dengan segala rahasianya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bahagia

Aku tidak pernah berpikir jika hariku akan terlewati dengan perasaan yang bahagia. Tidak ada kesedihan. Tidak ada kecewa. Juga tidak ada pikiran negatif yang mengusikku seharian ini. Hari ini benar- benar aku jalani dengan sempurna.

Setelah kecapean membersihkan rumah, memindahkan barang- barangku selanjutnya kamar Mas Ias, kami berdua begitu saja berbaring di sofa bed di depan televisi.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika sofa bed itu bisa muat untuk badan kami berdua. Oh, ini sangat romantis sekali. Alih-alih merasa sempit, Mas Ias justru memeluk tubuhku. Sampai aku terbangun, posisi kami tetap seperti semula. Saling berhadapan dengan tubuh yang saling merapat dan pelukan hangat.

Mas Ias tersenyum lembut. Detik itu juga, aku pun tersadar jika lelaki tersebut telah bangun. Matanya mengerjap pelan, belum sepenuhnya terbuka saat suara cacing di perut terdengar. Lantas, Mas Ias pun terkekeh pelan.

"Cacing siapa itu?" tanya Mas Ias. Tangannya memberikan belaian lembut di kepalaku.

Belum sempat aku menjawab, suara cacing itu kembali terdengar. Kekehan Mas Ias berubah menjadi tawa kecil.

"Ayo bangun! Pesan makanan aja ya. Mas juga udah laper kok. Kamu enggak sendirian kelaparannya." Mas Ias mengecup keningku kemudian kami pun beringsut bangun.

Aku mengambil ponsel di meja dan segera memesan makanan.

"Pesan aja yang kamu suka, Ra," kata Mas Ias memberi tahu.

Aku dan Mas Ias duduk bersisian di sofabed dengan tangan Mas Ias yang merangkul bahuku. Lelaki itu menyalakan televisi, sedangkan aku sibuk dengan ponsel.

Tidak sampai satu jam menunggu, seseorang pengantar makanan datang.

"Kok cepet banget?" tanya Mas Ias sembari beranjak menuju pintu depan.

"Aku beli yang praktis aja, Mas." Aku menjawab sambil berjalan menuju dapur menyiapkan peralatan untuk makan kami.

"Baunya seger." Suara Mas Ias kemudian terdengar. Dia tampak tengah memejamkan mata. Wah, sepertinya Mas Ias beneran kelaparan sekarang.

Aku bergegas mengambil bungkusan dari tangan lelaki itu, mempersilakan Mas Ias duduk. Sedangkan aku segera menyiapkan makan siang yang sudah sangat kesorean ini.

Kami makan dalam diam. Hanya suara dentingan sendok beradu dengan piring yang terdengar.

"Wah, rasanya sangat enak!" seru Mas Ias kemudian dengan wajah gembira.

Aku tersenyum melihat ekspresi lelaki itu. Aku merasa senang karena pilihan menu makan kami cocok di lidah Mas Ias. Di dalam kepalaku terlintas banyak menu yang aku coba di kemudian hari.

"Kamu beli di mana, Ra?" tanya Mas Ias selanjutnya setelah menandaskan segelas air, kemudian mengelap mulut menggunakan tisu.

"Deket sini, Mas. Aku coba-coba juga, lihat banyak yang pesan dan dapat rivew positif. Aku coba pesan deh." Aku tersenyum. Rasanya, senyum ini tidak kunjung mau berhenti seharian ini. "Syukurlah kalau Mas Ias suka."

"Kapan-kapan kita makan di sana, yuk!"

Aku tercenung sejenak mendengar ajakan itu. Aku sungguh tidak menyangka jika Mas Ias ingin mengajakku makan di sana, alih-alih memesannya lagi.

"Aku pikir ... Mas Ias bakalan minta aku pesan lagi atau malah nyuruh aku masak menunya, Mas." Aku memberanikan diri menyuarakan apa yang ada di kepalaku.

Mas Ias terkekeh pelan. Dia juga menggeleng. "Ya enggaklah. Kalau Ayra mau masak, ya tinggal masak. Kalau Ayra enggak mau atau enggak sempat masak yang enggak perlu juga," katanya masih dengan kekehan pelan. Namun, detik berikutnya wajahnya terlihat serius.

"Apa ... Mas Ias bakalan suka dengan masakan aku?" Aku menggigit bibir. Ada perasaan menyesal karena aku telah lancang menanyakan masalah ini.

Hubungan kami baru berkembang baik dua hari ini. Dan, aku justru telah memicu pembahasan yang cukup berat dan sebenarnya cukup sensitif juga. Bagaimana kalau jawaban Mas Ias tidak sesuai dengan apa yang aku harapkan? Atau, Mas Ias enggak jujur dengan jawaban yang dia berikan? Bukankah itu akan melukaiku?

Jantungku berdegup kencang. Kedua tanganku saling bertaut di atas pangkuan dengan gemetar saat Mas Ias mencondongkan badannya merapat pada meja, lalu kedua tangannya berlipat di atas meja setelah menyingkirkan piring kosong miliknya.

Tatapan lelaki itu sangat serius. Dia berbicara dengan suara berat yang tenang, tetapi tidak bisa membuat hatiku tenang.

"Apa pun yang kamu masak dan sajikan ke atas meja makan ini, Mas Ias bakalan makan dan habiskan."

Aku meneguk ludah dengan susah payah. "Tapi, gimana kalau makanan itu enggak enak?"

Mas Ias tersenyum tipis. "Apa kamu bakalan makan masakan yang Mas Ias kasih ke kamu, Ra?"

Pertanyaanku tidak mendapatkan jawaban. Melainkan pertanyaan kembali yang Mas Ias lontarkan. Aku sontak mengangguk yakin.

"Ya."

Memang begitulah yang aku pikirkan. Apa pun yang akan Mas Ias berikan kepadaku, bakalan aku makan dan habiskan. Aku tidak akan peduli dengan rasa atau apa pun. Yang aku pedulikan adalah Mas Ias yang telah bersusah payah menyiapkan makanan itu untuk aku. Itu karena aku ... cinta sama Mas Ias.

"Begitu juga dengan Mas Ias."

"Ha? Gimana, Mas?" Apa Mas Ias cinta juga sama aku? Pertanyaanku tidak bisa aku suarakan dengan tuntas. Sebab, begitu lancang dan tidak sopan.

"Mas Ias bakalan makan apa pun yang Ayra siapkan untuk Mas Ias. Apa pun itu." Mas Ias berkata dengan yakin.

Namun, pertanyaan akan perasaan hatinya untukku entah kapan bisa terjawab.

Aku sangat penasaran dengan perasaan hatinya sekarang. Namun, aku juga tidak berani untuk menanyakannya.

Saat malam menjelang, aku dan Mas Ias tidak langsung tidur. Kami menghabiskan waktu, menunggu kantuk dengan mengobrol. Mungkin karena tadi aku tidur siang dengan waktu yang lebih dari cukup, membuat kantuk belum juga kunjung datang. Atau, karena malam ini kami tidur bersama. Entahlah.

Mas Ias menceritakan masa kecilnya. Ternyata dia emang sangat menyenangkan dan punya banyak teman.

"Nah, besok pas kita ke sana, kamu boleh lihat album foto Mas Ias sewaktu kecil, Ra."

Aku mengangguk mengiakan. Pasti akan sangat menyenangkan melihay potret masa kecil lelaki yang aku cintai itu.

"Ameera pasti manja banget ya waktu kecilnya? Sekarang aja masih kelihatan manjanya. Eh, udah berkurang kayaknya ya sejak Mas Ias menikah." Aku menoleh.

Mataku berkedip pelan kala Mas Ias juga menoleh padaku. Tatapan kami bertemu. Mata itu tampak bercahaya dan bening. Ah, sepertinya karena aku terlalu mengangumi Mas Ias, jadi ... apa pun yang ada padanya tampak begitu sempurna bagiku.

"Kayaknya dia malu sama kamu, deh, Ra," balas Mas Ias kemudian tertawa geli.

Aku sangat senang melihat tawa di wajah tampan itu. Rasanya, degup jantungku akan berdetak lebih cepat setiap kali aku melihat pemandangan itu. Jantung berdebar tidak menentu.

Tawa Mas Ias bagai candu buatku. Setiap waktu, aku akan merindu dan setiap saat aku ingin melihat tawa itu.

Aku mengulurkan tangan, mengelus pipi Mas Ias dengan gerakan pelan. Seketika, tawa Mas Ias pun berhenti. Jemariku bergerak perlahan ke arah bibir. Kami berpandangan dalam diam. Dan, Mas Ias juga tidak keberatan akan sikapku.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!