Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22
Dua bulan berlalu, Laras yang sudah memiliki kesibukan baru dan lebih tepatnya pekerjaan baru. Usaha kos kosan milik Wardana sudah selesai di bangun sejak satu bulan yang lalu. Semua kamar juga sudah terisi semua. Banyak mahasiswa yang dari luar kota bahkan luar pulau. Bahkan hampir semua orang tua mereka menitipkan anak anaknya pada Laras untuk di awasi. Laras tidak keberatan sama sekali, bahkan banyak mahasiswa yang kos disana sudah sangat dekat dengan Laras dan Luna. Mereka merasa nyaman dengan kebaikan dan keramahan Laras dalam memperlakukan mereka. Tapi Laras juga tetap memasang peraturan untuk di patuhi mahasiswa yang kos di sana. Untuk yang perempuan di larang keluar lebih dari jam sepuluh malam begitu juga dengan yang laki laki. Tidak boleh memasukkan tamu sembarang apalagi yang lawan jenis.
Laras juga sudah membuka toko miliknya yang tak terlalu besar tapi lengkap, sehingga para mahasiswa tidak perlu lagi jauh jauh kalau mau belanja. Bahkan Laras juga melayani mahasiswa yang mau makan di tempatnya. Awalnya Laras tidak menyediakan, tapi karena sering dan banyak yang minta Laras untuk menjual menu makanan, akhirnya Laras menyediakannya khusus untuk mahasiswa.
"Bu Laras, hari ini masak apa?" Tanya Fira yang baru pulang dari kampus. Gadis manis yang berasal dari Kalimantan timur itu selalu rajin makan di tempat Laras, lidahnya sudah sangat cocok dengan masakan Laras.
"Ada sayur asem dan penyetan." Sahut Laras yang tengah sibuk membungkus kerupuk dan di bantu oleh Luna.
"Aku makan sama sayur asam saja, Bu Laras." Sahut Fira yang ikut duduk lesehan di ruang tengah rumah nya Laras. Ruang tengah itu sudah menjadi tempat favorit untuk para anak kos, hampir setiap hari ramai anak anak berkumpul di sana saat siang menjelang sore sampai malam.
"Yasudah, ibu ambilkan. Tunggu sebentar ya Fira. Mau minumnya apa, biar sekalian ibu buatkan?" Sahut Laras yang selalu bersikap ramah pada semua anak kosnya.
"Es teh saja, Bu." Balas Fira yang sudah berselonjor di sebelah Luna. Bahkan Fira bisa dibilang paling dekat dengan Luna, Fira sangat menyayangi Luna seperti adiknya. Tak heran jika Fira lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Luna saat pulang dari kuliah. Anak pemilik tambang batu bara itu bahkan sangat loyal pada Luna, Fira bahkan tak segan membantu Luna belajar baca tulis dengan telaten.
"Lun, nanti ikut kakak ya, kakak mau belanja ke supermarket dekat kampus."
"Boleh kak, nanti jam berapa?" Balas Luna senang, dengan Fira Luna selalu merasa bahagia.
"Nanti sore saja, setelah kamu selesai ngaji. Nanti kak Fira yang antar kamu ngaji, pulangnya kamu gantian antar kakak belanja." Balas Fira sambil menatap Luna dengan lembut.
"Siap kak, beres pokoknya. Nanti aku juga mau beli sabun cuci muka dan bedak." Balas Luna dengan sikap cerianya. Dan tak lama Laras sudah membawa satu piring nasi serta lauk pauknya dan segelas es teh untuk di berikan pada Fira. Gadis cantik itu langsung melahapnya dengan wajah berbinar, Fira sangat menikmati masakan Laras yang memang sangat enak di lidahnya. Begitulah hari hari Laras saat ini, waktunya selalu berwarna bersama anak anak kosnya. Hidupnya yang dulu sepi dan penuh duka, kini berubah drastis. Selalu ramai canda tawa yang dibuat anak anak di setiap harinya. Bahkan Luna juga terlihat lebih ceria dan bahagia, karena banyak mahasiswi yang menyukai Luna dan mengajaknya bermain saat mereka lagi gak ada kegiatan.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
Namun semua berbanding terbalik dengan kehidupan Bimo saat ini. Entahlah, akhir akhir ini ada saja musibah yang menimpa dirinya. Ada saja yang membuatnya frustasi dengan masalah demi masalah yang datang. Baru seminggu Iis kehilangan suaminya dan bahkan bingung karena tak punya uang. Hingga Bimo yang harus pontang penting mencari biaya untuk acara pemakaman suami Iis. Kini Bimo harus dibuat pusing dengan musibah yang menimpa ibunya.
Bu Atik, ibunya Bimo di kabarkan jatuh saat mau nyuci di sungai belakang rumahnya. Dan kabarnya perempuan berumur enam puluh lima tahun itu mengalami patah tulang di bagian tangan dan kakinya.
"Bim, bagaimana ini, mbak gak bisa pulang kampung, besok harus ke Madura ngurus selamatan mas Kalim. Miran juga sedang ada acara di rumah mertuanya. Kamu saja yang pulang dan ngurus emak ya?" Iis menatap penuh harap pada Bimo yang terlihat mengusap wajahnya kasar.
"Aku juga harus kerja mbak, kalau ijin terus aku takut bosku marah dan aku di pecat. Kemarin saja aku sudah kena peringatan." Sahut Bimo yang pusing memikirkan rumitnya masalah akhir akhir ini.
"Lha terus gimana sama emak, Bim? Dia masak sendirian di sana, meskipun ada lek Yanti tetap saja gak enak. Gak mungkin juga lek Yanti mau ngerawat emak terus terusan." Sahut Iis yang terlihat begitu khawatir.
"Aku juga bingung mbak, gimana kalau Miran saja di suruh pulang dulu. Lagian itu acara tunangan adiknya Saroh, gak begitu penting peran Miran di sana." Balas Bimo yang masih bingung dan kepalanya semakin berdenyut.
"Yasudah, aku coba telpon Miran dulu." Sahut Iis dengan lesu. Tangannya langsung meraih ponsel yang tadi tergeletak di sampingnya, dengan cepat Iis memencet panggilan telepon pada adik bungsunya.
"Ya, mbak, ada apa?" Sahut Miran di ujung sana.
"Ran, kamu bisa pulang kampung dulu sebentar. Kasihan emak, gak ada yang jagain. Bimo harus masuk kerja, gak bisa ijin libur terus. Nanti setelah aku pulang dari Madura habis selamatan mas Kalim kamu balik lagi, biar aku yang jagain Mak. Gimana, kamu bisa kan?" Sahut Iis dengan lancar, berharap adik bungsunya itu mau mengerti.
"Bagaimana ya mbak, aku gak enak sama istriku. Acaranya besok loh, masak aku harus pulang. Lagian uangku juga nipis ini, kecuali mas Bimo mau bantu uang transportasi dan keperluan buat emak di sana, nanti aku usahakan bisa pulang." Sahut Miran dengan lancarnya, dan lagi lagi Bimo yang di tuntut untuk mengeluarkan uangnya.
"Bagaimana, Bim?" Tanya Iis yang langsung melihat ke arah adiknya, Iis sengaja me loud speaker agar Bimo juga bisa mendengar obrolannya dengan Miran.
"Yasudah, nanti aku kasih uang transportnya." Balas Bimo lesu, padahal uangnya sudah sangat nipis. Tapi mau bagaimana lagi, Bimo selalu tidak pernah bisa menolak permintaan keluarganya apalagi menyangkut ibunya.
"Oke, aku akan pulang nanti sore. Uangnya transfer saja, jangan lupa buat emak juga ya mas." Sambung Miran yang terdengar semangat. Bimo hanya bisa mengiyakan tanpa bisa membantah.
"Yasudah mbak, aku pulang dulu. Nanti di jalan aku akan transfer uangnya." Pamit Bimo lesu, wajahnya begitu tak bersemangat.
"Bim, mana uang yang kamu janjikan?" Tagih Iis sebelum Bimo beranjak, lagi lagi Bimo di buat tertegun dengan sikap kakaknya. Dengan berat hati, Bimo mengeluarkan uang pecahan seratus ribuan sepuluh lembar pada kakak perempuannya.
"Makasih banyak ya, Bim. Nanti setelah Dewi pulang sekolah aku baru berangkat ke Madura. Paling tiga hari aku disana, setelah itu pulang ke kampung. Kamu harus ingat Bim, sekarang mbakmu ini janda, kamu harus ngerti kondisi mbakmu ini. Tidak ada yang mbak andalkan kecuali kamu." Sambung Iis yang selalu membebankan semua kebutuhannya pada Bimo.
"Iya mbak, aku tau kok. Yasudah, aku pamit pulang dulu." Sahut Bimo yang memijat pelipisnya. Entahlah, bagaimana kehidupan kedepannya setelah ini, gajinya tak seberapa tapi harus menanggung tiga dapur sekaligus. Istri, ibu dan juga Iis kakaknya, memikirkannya saja membuat Bimo frustasi.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..