6 tahun yang lalu, seorang lelaki telah menghancurkan impian Flora untuk menjadi seorang penyanyi. Akibat malam panas yang dilalui bersama lelaki itu, ia hamil dan harus pergi ke luar negeri untuk bersembunyi.
Kini, ia kembali lagi membawa seorang anak laki-laki yang lucu bernama Gavin. Meskipun terlihat seperti anak ceria pada umumnya, Gavin mengidap penyakit langka yaitu Anemia Aplastik.
"Mama, Gavin sakit parah, ya? Apa Gavin akan mati?" Pertanyaan itu keluar dari mulut kecil Gavin dengan kepolosannya.
Mata Flora sampai berkaca-kaca. Ia tidak tega melihat putranya yang harus terbaring di rumah sakit. "Tidak, Sayang. Kamu pasti akan sembuh!" Katanya dengan optimis.
"Mama ... sebelum mati, Gavin mau ketemu Papa. Gavin mau punya Papa," pintanya.
Usianya baru 5 tahun, namun Gavin sudah pandai mengutarakan kemauannya. Kasih sayang Flora yang besar membuatnya memutuskan untuk kembali ke negara yang pernah ia tinggalkan demi mempertemukan Gavin dengan ayah kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Rencana Busuk Kedua
"Huh! Dasar anak sialan itu! Gara-gara dia aku jadi meriyang seperti ini."
Prilly bergidik kedinginan di atas ranjang sembari memeluk selimut. Akibat kejadian di kolam renang kemarin, ia sampai mengalami flu dan demam. Kakinya yang kram dan terkilir juga masih terasa sakit. Rasanya hampir mati ia waktu itu demi menyelamatkan kalung berharganya. Ia yang berniat untuk menceburkan Gavin malah dia sendiri yang hampir tenggelam.
Prilly menempelkan koyo pada kedua keningnya. Ia memaksakan diri untuk turun dari ranjangnya setelah seharian beristirahat di kamar. Ia sangat penasaran dengan apa yang dilakukan anak Flora selama berada di rumahnya. Ia tidak terima jika sampai anak itu mampu menarik perhatian Alvaro.
"Pokoknya tidak akan aku biarkan anak sialan itu mengambil hati Alvaro. Hanya Leonard yang boleh menjadi kesayangan Alvaro," ucapnya.
Prilly berjalan menuju ke arah kamar putranya. Memang selama dua hari ini Gavin tidur bersama Leon. Ia yang masih sakit tak ada daya untuk memisahkan mereka. Ia tidak mau putranya terlalu baik kepada anak yang bisa mengancam posisi putranya sendiri.
"Setiap Papa pulang dari luar negeri, dia selalu memberikanku lego. Makanya koleksiku banyak. Pokoknya papaku yang terbaik!"
Prilly tersenyum melihat cerianya sang putra sembari menceritakan tentang ayahnya.
"Iya, Papamu memang sangat baik. Dia juga mengijinkan aku untuk memanggilnya Papa. Boleh nggak kalau Papamu jadi Papaku juga?"
Prilly langsung melotot mendengar ucapan tidak tahu diri yang terlontar dari mulut kecil Gavin. Darahnya mendidih saat anak itu mengatakan ingin memanggil suaminya dengan sebutan Papa.
"Kenapa kamu mau Papaku jadi Papamu? Papaku kan cuma Papaku, kamu punya Papa sendiri," protes Leon.
"Aku kan tidak tahu siapa Papaku. Mama tidak pernah memperlihatkan fotonya. Tapi, wajah tampanku sangat mirip dengan Papamu. Aku rasa dia cocok jadi Papaku," kata Gavin dengan polosnya.
"Heh! Anak nakal! Sembarangan minta panggil papa ke papanya gavin!" bentak Prilly.
Ia yang tidak terima dengan kemauan Gavin, langsung berjalan mendekat ke arah ke dua anak itu.
"Leon, berdiri! Jangan main sama anak ini lagi! Dia mau merebut Papamu!" pinta Prilly dengan mata yang menatap tajam ke arah Gavin.
Leon menurut. Ia meninggalkan lego yang tengah dikerjakan bersama Gavin dan memeluk ibunya.
"Sayang, makanya kamu jangan terlalu baik sama orang lain. Apalagi dia sepertinya ingin merebut Papa darimu. Dia jahat sekali, ya," kata Prilly mempengaruhi putranya. Ia memeluk sang putra sembari mengelus kepalanya dengan lembut.
Mendengar ucapan ibunya, timbul rasa marah di hati Leon. Ia sangat kesal membayangkan ayah kesayangannya akan direbut oleh teman main yang baru dua hari dikenalnya.
"Dasar anak tidak tahu diri! Sudah baik kami memberi tumpangan kamu di sini malah ngelunjak mau menjadi anaknya Papa Alvaro! Ini pasti ajaran dari ibumu yang murahan itu!" maki Prilly.
Gavin ikut berdiri dari tempatnya. Anak itu tidak menyangka jika ucapannya akan membuat orang semarah itu kepada dirinya.
"Leon, maafkan aku kalau kamu tidak suka. Aku hanya ingin punya papa, bukan mau merebut papamu," ucap Gavin dengan raut wajah merasa bersalah.
Sebenarnya pemikiran Gavin sangat sederhana. Ia hanya ingin punya papa. Akan sangat menyenangkan jika punya teman main dan papa yang sama.
"Jangan percaya dia, Sayang! Anak ini sangat licik. Kemarin saja sebenarnya dia yang mendorong mama ke kolam. Dia mau menyakiti mamamu ini, Sayang," kata Prilly. Ia menatap serius kedua mata putranya. Ia terus berusaha mempengaruhi putranya agar berada di pihaknya.
"Benarkah itu, Mama?" tanya Leon memastikan. Ia mengkhawatirkan kondisi mamanya saat hampir tenggelam di kolam. Apalagi karena kejadian itu mamanya sampai sakit. Ia tidak menyangka jika yang melakukannya adalah Gavin.
"Benar, Sayang. Dia nakal sekali, waktu itu mendorong mama sampai terjatuh dan hampir mati." Prilly memasang muka memelas untuk menarik simpati putranya.
"Gavin, itu tidak benar! Mamamu terjatuh sendiri, aku tidak mendorongnya," kilah Gavin.
"Dia anak yang pandai berbohong, Sayang. Dia dan mamanya ingin mengambil papa dari kita. Apa kamu akan membiarkan papamu diambil oleh dia?" hasut Prilly.
Tentu saja Leon tidak terima. Kemarahannya sudah memuncak. Ia berbalik dan menatap sinis ke arah Gavin. Wajah yang awalnya penuh dengan keceriaan dan kepolosan anak-anak, kini berubah seperti serigala yang hendak memangsa.
"Tante, kenapa bicara seperti itu? Gavin tidak bermaksud begitu," kata Gavin. Ia sudah melihat aura permusuhan yang ditunjukkan Leon kepadanya.
"Pintar sekali kamu berbohong! Gara-gara kamu Leon jadi kurang perhatian dari papanya! Kamu pasti akan merebutnya dari kami!" Prilly berbicara dengan nada memaki.
Leon melepaskan pelukan dari ibunya. Ia berjalan dan mendorong Gavin hingga Gavin terjatuh. Anak itu terlihat sangat kesal.
"Aduh!" pekik Gavin yang merasa pant atnya sakit.
Melihat perbuatan anaknya, Prilly tak berusaha menghentikannya. Ia justru tersenyum senang merasa putranya kini ada di pihaknya.
"Pergi kamu dari sini! Aku tidak akan membiarkanmu mengambil Papa dan menyakiti Mama!" umpat Leon dengan nada marahnya.
"Leon, aku tidak begitu." Gavin masih berusaha menjelaskan.
"Aku tidak percaya! Kamu pasti mau Papaku karena kamu tidak punya papa!"
Leon tidak puas hanya mendorong Gavin. Ia mendekat dan memberikan beberapa pukulan kepada Gavin. Gavin tak berusaha membalas, ia hanya mencoba bertahan dari serangan pukulan yang Leon berikan.
Leon secara agresif memberikan pukulan yang lebih banyak. Meskipun Gavin merengek dan meminta Leon berhenti, ia terus dipukuli.
"Ayo, Sayang! Kamu memang jagoan Mama. Jangan biarkan dia merebut papa kita, Sayang!"
Prilly menyemangati putranya untuk terus memukuli Gavin. Ia seperti seorang ibu yang gila melihat anaknya berkelahi. Ia merasa puas rencananya berhasil untuk mempengaruhi putranya sendiri.
makasih author
tapi Aq suka
semangat thorr 💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻