Urban legend bukan sekadar dongeng tidur atau kisah iseng untuk menakuti. Bagi Klub Voli SMA Higashizaka, urban legend adalah tantangan ritual yang harus dicoba, misteri yang harus dibuktikan.
Kazoi Hikori, pemuda kelahiran Jepang yang besar di Jerman. masuk SMA keluarganya memutuskan untuk kembali ke tanah kelahirannya, namun tak pernah menyangka bergabung dengan klub voli berarti memasuki dunia gelap tentang legenda-legenda Jepang. Mulai dari puisi terkutuk Tomino no jigoku, pemainan Hitori Kakurenbo, menanyakan masa depan di Tsuji ura, bertemu roh Gozu yang mengancam nyawa, hingga Elevator game, satu per satu ritual mereka jalani. Hingga batas nalar mulai tergerus oleh kenyataan yang mengerikan.
Namun, ketika batas antara dunia nyata dan dunia roh mulai kabur, pertanyaannya berubah:
Apakah semua ini hanya permainan? Atau memang ada harga yang harus dibayar?
maka lihat, lakukan dan tamat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SkyMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
karakera onna
Malam itu Saki berjalan sendirian menuju rumahnya. sesekali dia melirik handphonenya berharap ada pesan dari Isamu. Sebagai kekasih tentu saja Saki khawatir pada Isamu yang nekat kembali ke sekolah sendirian, padahal hari sudah gelap.
Saki menghela nafas kasar. Wajahnya terus menunjukan rasa kekhawatiran. Saki terus berjalan, dia baru menyadari jika jalanan yang dia lewati sangat sepi tidak seperti biasa. Hanya suara sepatu yang bergesekan dengan tanah yang menemani Saki malam ini. Sebenarnya ini pertama kalinya dia pulang malam, mungkin saja suasana jalan ke rumahnya memang seperti ini setiap malam.
Saki tidak memperdulikan, dia kembali mengingat kencannya di Shinjuku. Tangannya, cara dia berbicara, suaranya, aroma parfumnya membuat Saki melayang memikirkan wajah Isamu yang tampan.
"Aku benar-benar mencintainya," Saki bermonolog sendiri, pipinya bersemu merah, kedua tangannya memegang pipinya yang terasa panas.
Dalam sekejap dia menggerutu kesal, kenapa handphonenya harus tertinggal di sekolah. Jika tidak tertinggal mungkin saja Isamu saat ini berjalan bersamanya, mengantarnya pulang, bertemu orangtuanya. Memikirkan itu membuat pipi Saki memerah padam. Namun dia kembali menghentakkan kakinya kesal.
Saki berbelok masuk gang kecil menuju rumahnya. Entah kenapa tiba-tiba saja udara semakin dingin. Saki mengeratkan pelukannya pada dirinya sendiri. Malam yang sepi, gelap, dan dingin, sendirian. Begitu sialnya dia malam ini andai saja Isamu tidak harus kembali ke sekolah.
Tak lama dari itu di ujung jalan terlihat seorang wanita. Tinggi, kurus, dengan rambut panjang yang menjuntai menutupi rambutnya. Gaunnya compang-camping, kotor dan robek sana sini.
Perempuan itu berjalan berlawanan dengan Saki. Dia terhenti sejenak.
Semakin mendekat dia tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupa dari wanita itu.
Hening.
Dia menelan ludah kasar. Mencoba tersenyum sopan walaupun dadanya berdetak keras. Dengan suara yang pelan dia berkata. "Sumimasen."
Saki berjalan melewati perempuan itu. Belum ada beberapa lima langkah. Perempuan itu tertawa keras memecah keheningan malam.
Karakera onna.
Saki membeku. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Udara terasa sangat berat. Nafasnya tercekat.
Suara tawanya semakin menggelegar. Saki ketakutan dia menangis dalam diam. Kakinya ingin berlari tapi tubuhnya tidak bisa digerakkan.
Tawa itu semakin menggema terdengar di segala penjuru. Seperti menertawakan ketidakberdayaan Saki.
Perempuan itu berbalik tangannya keriput. Kukunya hitam panjang. Dia mengusap rambut Saki perlahan. Air mata Saki semakin turun tak tertahankan. Dia menahan nafas. Tenggorakannya sakit dia ingin berteriak tapi tak mampu.
Suara tawa itu masih terdengar. perempuan berbisik dengan suara lirih. "Ayo pulang aku akan menemanimu," perempuan tertawa keras.
Tiba-tiba saja handphone yang dia genggam berdering. Seketika itu tubuhnya bisa digerakkan. tak menunggu waktu lama dia berlari menuju rumahnya. Rumahnya tak jauh dari jalanan itu. Saki menggedor pintu rumahnya keras, sambil terus menangis.
"Sabar," kakak laki-laki Saki yang membukakan pintu rumah. Dia kebingungan melihat Saki yang buru-buru masuk dengan wajah yang penuh air mata.
"Kau kenapa?"
Saki menangis sesegukan, dia di peluk kakaknya untuk menangkan. Mendengar keributan ayah dan ibu Saki berjalan menghampiri Saki.
"Ada apa. Kamu kenapa?" Ibunya menarik Saki untuk datang ke pelukannya. di cerca banyak pertanyaan bukannya menjawab Saki malah semakin menangis menjadi-jadi.
Mereka pindah ke ruang tamu mendudukkan Saki ke sofa. Ayahnya datang dari dapur membawa segelas air. Mereka menatap Saki penasaran, mengharapkan jawaban segera dari Saki.
"Aku melihat hantu," Saki masih terisak.
"Itulah. Mamah kan sudah bilang jangan pulang malam, apalagi kamu perempuan. Bukan hanya kejahatan tapi roh dari arwah penasaran bisa mengganggu kamu."
Di ingatkan oleh ibunya, Saki hanya bisa menangis. Bagaimana lagi nasi sudah menjadi bubur. Lalu ibunya menyuruh Saki untuk ke kamar beristirahat.
Tanpa memikirkan apapun, Saki langsung tertidur tidak mengganti pakaiannya, karena masih takut.
*****
Esok harinya Saki pergi ke sekolah seperti biasa. Dia berjalan menuju klub voli, dia tidak mendapatkan kabar dari Isamu dari semalam. Langkahnya semakin cepat karena ingin bertemu dengan kekasihnya.
Di ruang ganti dia berdiam sejenak menatap lokernya. Rasanya seperti ada yang mengawasi tapi di sini tidak ada siapa-siapa. Saki bergegas mengambil sepatunya dan berjalan cepat menuju lapangan.
Saki bergabung dengan teman-temannya, dia melihat ke arah anggota laki-laki yang belum berkumpul sepenuhnya. Tapi, di sana sudah ada Shin dan teman-teman Isamu. Tapi, Isamu tidak ada di sana.
"Oy, Saki ada apa?" Tegur Haya.
Saki hanya menggeleng. Dia tidak memperdulikan teman-temannya yang sedang membicarakan Yume, yang keluar dari klub karena takut lehernya kembali terluka.
Hari ini, jadwal latihan cukup ringan. Tapi, semangatnya sudah tidak ada.
Saki berdiri dia menghampiri Shin. "Shin, dimana Isamu?"
"Dia tidak masuk, sakit. Aku denger kemarin malam dia bertemu yokai. Aku tahu dari Ryota, sekarang dia demam tinggi."
Saki mengalihkan pandangannya pada Ryota yang berada di samping Shin.
"Apa benar?" Saki semakin khawatir.
"Yah, saat aku menjemputnya kemarin malam. Wajahnya pucat lalu dia bercerita bertemu roh yang sangat menyeramkan. Pagi tadi aku ke rumahnya, ibunya bilang dia demam tinggi."
"Boleh aku minta alamat Isamu-kun?"
"Tentu aku kirim lewat line."
Tanpa mengatakannya apapun lagi Saki segera menemui Anami sensei untuk izin tidak ikut latihan hari ini.
Dia menuju rumah Isamu yang dia dapatkan dari Ryota. Membutuhkan waktu dua puluh menit dengan naik kereta. Setelah sampai di depan rumah Isamu, sebuah rumah sederhana di sudut perumahan yang cukup sepi. Sejenak dia mematung, lalu menekan bel rumah Isamu.
Tak lama seorang bocah laki-laki kisaran umur enam tahun membukakan pintu kayu bercat putih.
"Mencari siapa?" Tanya anak itu.
"Aku teman Isamu, aku datang untuk menjenguk."
"Ohh ayo masuk, ke kamar Isamu-nii," anak itu berjalan tegap seperti pasukan baris berbasis. Menuntun Saki masuk menuju kamar Isamu.
Dia kemudian membuka kamar Isamu. Agak berantakan tapi Saki maklum karena itu kamar laki-laki.
Saki melihat Isamu yang terbaring dengan kain kompres di dahi. Setelah Saki masuk, bocah laki-laki itu langsung menutup pintu kamar Isamu keras.
Saki sedikit terkejut tapi dia tak hiraukan. Saki menghampiri Isamu. Dia menatap lekat wajah yang merah padam perlahan Saki mengusap pipi Isamu. Panas yang dia rasakan telapak tangannya membuat Saki semakin khawatir.
Tanpa sadar dia mengeluarkan air matanya tapi berusaha untuk tidak bersuara supaya tidak membangunkan Isamu.
Saki duduk di samping kasur Isamu. Tangannya menggenggam tangan Isamu.
"Gomennasai."
Saki masih menangis dia menelungkupkan kepalanya di atas kasur. Saki menangis dalam diam perlahan matanya tertutup menuju alam mimpi.
To be continued