Hutang budi membuat Aisyah terpaksa menerima permohonan majikan sang ayah. Dia bersedia meminjamkan rahimnya untuk melahirkan anak Satria dengan Zahra melalui proses bayi tabung.
Satria terpaksa melakukan hal itu karena dia tidak mau menceraikan Zahra, seperti yang Narandra minta.
Akhirnya Narandra pun setuju dengan cara tersebut, tapi dengan syarat jika kesempatan terakhir yang dia berikan ini gagal, maka Satria harus menikahi Gladis dan menceraikan Zahra.
Gladis adalah anak dari Herlina, adik tiri Narandra yang selalu berhasil menghasut dan sejak dulu ingin menguasai harta milik Narandra.
Apakah usaha Satria dan Zahra akan berhasil untuk mendapatkan anak dengan cara melakukan program bayi tabung?
Yuk ikuti terus ceritaku ya dan jangan lupa berkarya tidaklah mudah, jadi kami para penulis mohon dukungannya. Terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia Fajar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. MENYAYANGI AISYAH BESERTA CALON BAYI
Satria membawakan Aisyah makanan dan segelas jus, dia ingin bayinya sehat serta cukup gizi.
Meski Satria tidak pandai memasak tapi dia ingin memberikan perhatian untuk bayinya.
"Kamu harus makan Syah, ini aku masakkan sup, aku suapi ya!"
Aisyah menggeleng, tapi Satria memaksanya dan mengacungkan semangkuk sup.
Akhirnya Aisyah pun tidak menolak dan dia memakan sesuap demi sesuap hingga sup dalam mangkuk tersebut habis.
"Bagaimana masakan ku Syah, kamu suka? Jika suka besok aku akan memasak untuk kalian lagi."
Meski rasanya masih kurang pas di lidah, tapi Aisyah tidak berkomentar. Dia merasa senang mendapatkan perhatian dari Satria.
Rasanya Aisyah tidak ingin semua ini berakhir. Dia ingin selamanya bisa merasakan kebahagiaan, menjadi makmum dari Satria meski semuanya itu hanya sebuah mimpi.
"Kenapa kamu diam Syah, masakan ku tidak enak ya?"
"E-enak kok Mas, aku suka. Cuma besok tambahkan garam sedikit lagi ya," pinta Aisyah sembari mengatupkan kedua tangannya.
"Oh, hambar ya. Maaf, ini pertama kali aku masak," ucap Satria sembari menggaruk kepalanya.
Kemudian dia memberanikan diri memegang perut Aisyah sembari berkata, "Maafkan Papa ya Sayang, Papa akan belajar lagi, biar kalian suka masakan Papa."
Airmata Aisyah menggenang, dia benar-benar bahagia, seorang Bos perusahaan besar rela memasak demi dia dan calon bayi mereka.
Dalam hatinya berkata, "Kamu sangat beruntung Mbak Zahra dicintai pria seperti Mas Satria. Apakah ada pria yang akan mencintaiku seperti Mas Satria mencintaimu?"
"Kenapa Syah, ada yang sakit?" tanya Satria saat melihat Aisyah menitikkan air mata.
Aisyah menggeleng.
"Lantas, kenapa kamu nangis, apa ada perkataan ku yang menyinggung perasaan mu?"
"Nggak ada Mas. Aku hanya terharu saja, Mas begitu mencintai bayi ini. Mas rela memasak hanya demi dia."
Satria menatap Aisyah, lalu dia mengelap air mata dengan jarinya, dalam hati Satria berkata, "Bukan hanya demi bayi kita Syah tapi juga demi kamu. Aku sangat berterimakasih karena kamu telah memberiku kebahagiaan yang tak ternilai harganya."
Aisyah tertunduk malu, dia tidak sanggup menatap mata Satria yang begitu teduh. Jantungnya seakan mau terlepas keluar dari tempatnya.
Satria memberikan kecupan di kening Aisyah, lalu berkata, "Aku akan lakukan apapun asal bisa membuat kalian bahagia."
"Sungguh Mas? bukan hanya untuk bayi ini saja?"
Akhirnya Aisyah pun memberanikan diri bertanya hal yang membuatnya merasa penasaran. Benarkah Satria juga ingin membahagiakan dirinya, bukan hanya sang baby.
Satria tersenyum lalu berkata, "Tentu Syah, jika kamu bahagia, bayi kita juga pasti akan bahagia. Karena perasaan sang ibu akan berpengaruh besar terhadap keadaan bayi dalam kandungannya, itu yang aku simak dari perkataan dokter."
Aisyah diam, perasaannya tiba-tiba sedih, berarti Satria melakukan hal itu hanya demi bayinya saja.
Tapi dia buru-buru menepis perasaannya karena Aisyah sadar, mimpinya terlalu tinggi mengharap Satria akan mencintainya.
"Sekarang kamu istirahat dulu ya Syah, jangan mengerjakan apapun, biar aku saja. Besok aku akan mencari pengganti Bibi untuk mengurus rumah. Kalau memasak biar aku saja."
"Aku tinggal dulu ya, ada beberapa helai pakaian yang harus di cuci," ucap Satria sembari menyelimuti kaki Aisyah.
"Nggak usah Mas, biar nanti aku saja yang mencuci. Rasa pusing di kepalaku juga sudah berkurang. Istirahat sebentar pasti pulih."
"Nggak boleh, kamu di sini saja. Kamu dengar kata dokter tadi kan, jika awal kehamilan merupakan kondisi yang rentan. Nih, kamu main hape saja biar nggak bosan jika belum mau tidur."
Aisyah pun menurut, lalu dia mengotak-atik ponselnya, sedangkan Satria langsung menuju kamar mandi untuk menyelesaikan tugasnya.
Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, Satria pun kembali menemani Aisyah. Dia memijat kaki Aisyah sembari bercerita tentang masa kecilnya saat sang mama masih hidup.
Tidak lama, Satria pun mendengar bunyi bel pintu, "Pasti itu Papa yang datang Syah. Sebentar ya, aku bukakan pintu dulu."
Satria pun bergegas keluar, tapi saat pintu terbuka dia begitu kaget, bukan Narandra yang datang tapi Zahra yang pulang.
Zahra langsung menghambur ke pelukan Satria dan berkata, "Surprise!"
Satria membalas pelukan Zahra, mereka sama saling rindu.
Zahra menyalim tangan Satria, lalu Satria pun mendaratkan beberapa ciuman di kening dan di pipi Zahra.
Adegan keduanya di saksikan oleh Aisyah yang ternyata menyusul Satria untuk menyambut kedatangan Narandra.
Aisyah berdiri mematung, dia merasakan perasaan aneh. Aisyah cemburu melihat kemesraan keduanya.
Dia hendak meredam perasaannya dengan kembali ke kamar, tapi keburu Zahra melihatnya dan memanggil, "Syah, kesini dong! Aku juga merindukanmu."
Aisyah tersenyum, lalu menghampiri Zahra sembari mengulurkan tangan.
Zahra tidak menyambut uluran tangan Aisyah, melainkan langsung memeluknya.
"Selamat pulang kembali Mbak, aku juga rindu Mbak Zahra. Kenapa Mbak lama sekali di sana, kasihan Mas Satria merindukan kepulangan Mbak Zahra. Iya kan Mas?"
Satria hanya mengulas senyum, jujur dia rindu Zahra tapi dia juga tidak ingin membuat Aisyah cemburu.
Dia harus bisa menjaga perasaan kedua istrinya, dan tentu saja menjaga perasaan Aisyah yang kata dokter perasaan wanita hamil lebih sensitif.
"Ayo kita masuk! Kami punya kabar baik buat kamu!" ucap Satria sembari meminta koper dari tangan Zahra."
"Kamu hamil ya Syah?" tanya Zahra, yang langsung menebak, jika kabar yang Satria maksud pasti tentang kehamilan Aisyah.
Aisyah mengangguk sembari tersenyum, kembali Zahra memeluk Aisyah sembari mengucap selamat. Lalu diapun memeluk Satria sembari menangis dan berkata, "Akhirnya, kita akan jadi orangtua. Selamat ya Mas!"
Setelah melepaskan pelukannya, Zahra pun mengatupkan kedua tangannya, "Terimakasih ya Syah, kamu memang sumber kebahagiaan untuk keluarga Narandra. Papa pasti senang mendengar berita ini. Kalian sudah memberitahu Papa 'kan?"
Belum lagi menjawab, terdengar ucapan salam dari luar, ternyata Papa Narandra juga telah sampai.
Satria membukakan pintu, sementara Zahra mengajak Aisyah ke kamar. Dia ingin mendengar cerita Aisyah tentang bagaimana rasanya ngidam atau mabuk saat hamil.
Zahra begitu antusias, tiada kebahagiaan lain yang ditunggunya selain kehamilan Zahra. Dia mengelus perut Zahra sembari menitikkan airmata.
Meski Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk hamil, tapi Zahra bersyukur Satria diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjadi ayah.
"Hallo Sayang, kenalkan ini Bunda. Kamu baik-baik saja di dalam sana ya, jangan nyusahin mama kamu."
"Kami menyayangimu dan kami tidak sabar ingin segera melihatmu tumbuh, lahir melihat indahnya dunia ini."
Zahra mencium perut Aisyah seperti halnya yang dilakukan oleh Satria. Dia begitu bersemangat, seperti dirinya yang sedang dikaruniai kehamilan.
Dari ambang pintu muncullah Narandra dengan senyum merekah di bibirnya.
"Papa," sapa Zahra dan Aisyah berbarengan.
Narandra pun mengulurkan tangan, memberi ucapan selamat kepada Aisyah. Lalu beliau memberikan sebuah kotak kecil sebagai kado atas berita baik tersebut.
Bersambung.....