Cinta beda agama membuat Wafa menjadi bimbang sendiri. Wanita ini jatuh cinta dengan seorang duda yang memiliki agama, latar belakang dan segalanya yang berbeda.
"Aku tidak bisa mengambilmu dari Tuhan-mu. Tapi, jika memang kau adalah takdirku, aku akan berusaha untuk mendapatkan dirimu, meski sainganku adalah Penciptamu." Ujar Bian.
Apakah cinta beda agama ini akan bisa bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhewhy M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis Hebat
Sekitar 10 menitan, tibalah Wafa ke yayasan. Bian dan Grietta juga ikut turun karena memang waktu mereka belum selesai dalam kebersamaan. Grietta menarik celana ayahnya, seolah bertanya mengapa kakak cantik kesayangannya terburu-buru pulang.
"Ada urusan penting, mungkin. Jadi, sebaiknya kita menunggu Kakak Wafa dulu, bagaimana?" Bian masih berharap bisa menghabiskan waktu dengan Wafa hari itu.
Bian pun tersadar sesuatu. "Eh, untuk apa aku menghabiskan waktu dengan gadis itu? Kami bukannya ... Ah, sudahlah. Demi Grietta, aku akan melakukan apapun itu supaya senyum yang telah lama hilang di bibir Grietta kembali bertahan lagi," batin pria berusia 30 tahunan itu.
Dengan langkah cepat, Wafa segera masuk ke ruang tamu tanpa mengajak Bian dan Grietta. "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!" salamnya dengan napas tersengal-sengal.
"Wa'alaikumsallam," jawab Inneke dan Qia bersamaan.
"Qia, are you okay?" tanya Wafa kala sampai di ruang tamu.
"Ya—"
"Katakan padaku, apa suamimu sering melakukan kdrt?" tanya Wafa lagi. Dia terlihat panik saat itu.
Qia hanya mengangguk pelan dengan raut wajah heran menatap sahabatnya itu. "Qia, bisakah kamu ceritakan apa yang terjadi denganmu dan suamimu? Oh, tidak! Ini bukan ranahku dan juga urusan pribadimu. Aku—"
"Hei, aku baik-baik saja, Fa. Kamu ini selalu seperti ini, deh!" sela Qia. "Kenapa kamu malah panik sendiri? Aku baik-baik saja. Lihatlah ... Aku sehat walafiat Alhamdulillah," imbuhnya.
Wafa memeriksa seluruh fisik Qia. Kemudian mengucap tahmid dan merasa lega.
"Hei, cantik. Siapa yang di luar sana? Tidak kah kau seharusnya menyuruhnya untuk duduk dulu?" sahut Inneke memecah kelegaan hati Wafa kala mendengar kabar Qia.
"Astaghfirullah hal'adzim! Pak Bian, Grietta!" Wafa baru ingat dengan mereka. "Sebanyak, kalian tunggu sebentar …"
"Wafa," Inneke menghentikan Wafa.
Wafa yang sebelumnya beranjak pun seperti membeku. Kemudian menoleh ke arah Inneke, "Eh, iya?" tanya gadis berusia 20 tahun itu.
"Aku hendak mengantar Qia pulang dulu. Sementara Sabrina dititipkan di sini saja. Kamu mau ikut apa tidak? Kebetulan, kamu bawa tamu pria juga kan, ya. Bisalah ... dibawa untuk berjaga-jaga dari temperamen suaminya Qia," Inneke memang selalu peka perasaannya.
Wafa awalnya menolak mengajak Bian sekalian. Baginya, pertemuannya dengan Bian belum bisa dikatakan lama. Pengenalan mereka juga belum akrab. Jadi, Wafa sungkan mengajak Bian sekalian. Tapi, Inneke sendiri malah yang menghampiri Bian saat itu. Mengajaknya untuk ikut serta dan menjadi saksi pelunasan hutang almarhumah ibunya Qia.
"Tuan, bagaimana? Apakah Anda mau, menemani kami? Jika saya yang kena pukul dengan suami Qia, teman kami ini, tidak masalah. Tapi, bagaimana jika Wafa yang kena pukul?" Inneke memang pandai sekali jika berakting.
Dengan polosnya, Bian langsung menatap Wafa. Dirinya juga tidak tahu mengapa hatinya langsung terketuk. "Um, iya. Saya akan mengantar kalian kesana," jawab Bian seketika.
Wafa, Inneke dan Qia menganga mendengar jawaban enteng dari Bian. Mereka sama sekali tidak menyangka jika Bian mau mengantar mereka. Dengan semangat, Inneke memanggil Vita untuk membawa Grietta masuk. Sementara gadis sipit kecil itu akan ditinggal di yayasan. Sebab, tidak mungkin juga diajak ke masalah orang dewasa.
"Baik, cantik. Ayo, kamu bersama Kak Vita dulu, ya. Ayah, Papi, atau Daddy-mu akan mengantar Kakak Wafa dulu me—aduh! Hish, pelan-pelan kali, Fa!" ucapan Inneke terhenti kala Wafa menyenggol lengannya.
Wafa pun jongkok dan berusaha menjelaskan kepada Grietta dengan pelan. "Sayang, kamu ikut Kak Vita dulu, ya. Kakak mau ajak Papi kamu dulu untuk mengantar Kakak ke rumah teman Kakak yang ini," tunjuk Wafa ke Qia.
"Mbak Vita," panggil Wafa.
"Iya, Mbak?" sahut Vita.
"Kamu jaga kesehatan. Baru keluar rumah sakit, belum seharusnya juga kamu keluar rumah sakit. Jadi, tolong jaga kesehatan," tutur Wafa dengan kelembutannya.
Vita mengangguk. "InsyaAllah saya akan menjaga diri, Mbak," jawabnya.
Gadis kecil itu hanya diam saja menatap Wafa. Sedangkan Wafa sendiri juga ikut diam, memberikan waktu kepada Grietta mencerna perkataannya. Setelah beberapa menit, barulah sipit kecil itu mengangguk dengan senyuman.
"Alhamdulillah, terima kasih, ya, Sayang. Nanti, kita lanjut lagi jalan-jalannya, oke?" lanjut Wafa tenang.
Grietta mengangkat jempolnya. Membuat Bian semakin heran karena putrinya paham dengan ucapan Wafa dibandingkan dengan ucapannya, ayahnya sendiri. "Heh, astaga. Sebenarnya Putriku ini anaknya siapa? Kenapa dengan Nona Wafa malah patuh sekali seperti itu? Apa yang dikatakan oleh gadis ini, Grietta pasti mengerti?" batin Bian.
Vita pun membawa Grietta masuk ke yayasan untuk bermain dengan anak-anak yang lainnya. Lalu, Inneke menarik tangan Bian untuk segera masuk ke mobilnya. Saat itu, mereka ke rumah Qia dengan baik mobilnya Bian yang mewah.
Di dalam mobil, mereka berempat hanya diam saja. Masing-masing tidak tahu harus membahas apa, terutama Wafa dan Bian yang masih bingung harus bersikap bagaimana. Mereka malah lebih terlihat seperti pasangan selingkuh yang tertangkap basah sedang memadu kasih. Suasana canggung itu membuat Inneke tidak tenang. "Astaga, kenapa setenang ini, woy! Bicara apa kek, kenapa dah, dengan kalian!" serunya.
"Di mana rumahmu, Qia?" tanya Wafa.
"Setelah lampu merah itu, maju sedikit, ada masjid belok kiri. Nanti ada rumah pertama warna hijau, di situlah rumah suamiku," jawab Qia.
Pertanyaan Wafa itu mewakili pertanyaan Bian. Usahawan kaya raya itu mengangguk paham dan memperhatikan benar-benar setiap arah yang ditunjukkan eh Qia.
Sekitar tujuh menitan, mereka sampai di rumah mertua atau suaminya Qia. Rumah yang lumayan besar itu, membuat Wafa dan Inneke terheran-heran. Mengapa mereka berdua heran? Ya, bagaimana lagi. Keadaan Qia ini tidak sama dengan keadaan rumah suaminya yang bisa dikatakan mampu.
"Qi, ini beneran rumah suamimu?" tanya Inneke.
"Ke ..." sahut Wafa.
"Nanya doang, Wafa!" ketus Inneke.
"Iya, itu rumah suamiku," jawab Qia. "Pasti kalian salah fokus, ya? Keadaanku yang seperti ini, harus banting tulang dan mengurus anak, tapi keadaan suamiku, istri pertamanya dan juga mertuaku sangat baik," lanjutnya.
"Ke, kamu sudah tahu ceritaku, bukan? Jadi, yah ... memang seperti ini keadaannya. Kalian berhak untuk menjauhiku jika malu memiliki teman seperti aku." tukas Qia, tiba-tiba menjadi sedih.
Inneke pun kesal. "Bodo amat, Qia. BODO AMAT!" serunya games. "Tidak mengurus kamu mau jadi istri kedua atau istri siri. Tapi, sekarang alangkah baiknya kalau kita tuntaskan perkara hutang ini. Ayo, turun semua!"
Semangat Inneke membuat Wafa juga ikutan semangat. Dia memiliki rasa solidaritas tinggi, sehingga membuatnya tidak tega harus melihat sahabatnya menderita.
"Bapak bisa nunggu di sini dulu saja. Jika ada apa-apa nanti, saya akan segera memanggil Bapak, bagaimana?" usul Wafa.
"Buset, dah! Kamu ma—" lagi-lagi ucapan Inneke terhenti saat Wafa mengangkat tangannya, tanda jika memang dirinya harus diam.
"Pak Bian, saya akan memanggil Bapak jika keadaan genting nanti. Tapi, alangkah baiknya, jika Bapak menunggu di sini dulu, hm?"
Tatapan mata Wafa yang indah itu membuat Bian semakin tidak berkutik dan tidak bisa menolak apa yang dikatakan oleh Wafa. Bian sendiri bingung mengapa dirinya seperti tersihir kala mendengar Wafa bicara.
ya Allah sungguh egois, walaupun itu pemilik pondok tapi jika apa yang dilakukan anaknya saja dipersulit maka jika anaknya sendiri membangkang ya jangan salahkan anaknya dong
salahkan sendiri Abi, aku tau karena aku dididik memilih dg pilihan yang aku inginkan dg tanggungjawab yg aku pilih, dibebaskan memilih itu tak hanya untuk kita belajar tanggungjawab tapi juga jalan yang diberkahi
sukses kak Dhewhy