seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
serangan balasan
Pagi itu, Kapten Merlin baru saja selesai menyeduh kopi saat ponselnya berdering. Nama “Pak Jaka” tertera di layar. Ia segera mengangkat.
“Pak Jaka, ada apa pagi-pagi begini?” tanya Merlin, masih terdengar tenang.
“Saya harus bicara, Bu Kapten. Ini soal Dika,” suara Pak Jaka terdengar serius. “Saya dan Rendi baru saja menyambangi dia di tahanan. Dan... kami ingat satu hal penting.”
“Apa itu?” tanya Merlin, mulai serius.
“Nama yang nganter makanan ke rumah Ibu malam sebelum penculikan itu... dia ngaku bernama Frenki. Dika kenal dia. Mereka pernah satu aplikasi ojek online. Tapi Frenki juga pernah kena kasus manipulasi data, lalu tiba-tiba menghilang.”
“Frenki…” gumam Merlin, otaknya langsung menyusun potongan informasi.
“Bu Kapten… saya rasa Frenki dalangnya. Dia yang nyusupin data palsu Dika ke sistem server itu. Saya yakin dia bagian dari jaringan Chen.”
Wajah Merlin menegang. “Terima kasih, Pak Jaka. Info ini penting banget. Saya akan selidiki lebih dalam.”
---
Sementara itu, di ruang tahanan...
Dika duduk termenung, tangannya meremas jeruji besi, matanya kosong. Tapi ketenangan itu terganggu saat dua petugas berseragam masuk.
“Kamu dipindahkan ke Nusa Kambangan. Sekarang ikut kami,” kata salah satu dari mereka datar.
“Nusa Kambangan?” Dika kaget. “Mana surat perintahnya?”
Petugas tak menjawab. Mereka justru membuka sel dan langsung memborgol Dika.
“Hei! Mana suratnya?! Kalian nggak bisa seenaknya!” Dika berontak, tapi salah satu dari mereka menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Tubuh Dika melemas. Kepalanya terasa ringan. Pandangannya mulai kabur.
Dengan cepat, mereka menyeret tubuh Dika yang setengah sadar keluar dari kantor polisi lewat jalur belakang. Tanpa suara. Tanpa catatan resmi.
Seseorang tidak ingin dia bicara.
Merlin menutup telepon dari Pak Jaka. Ia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Nama Frenki terus bergema di kepalanya. Wajahnya yang samar mulai muncul di benaknya. Perlahan, potongan ingatan yang selama ini tertahan mulai terurai.
Malam itu... saat dia diculik...
Ada seseorang yang menyamar sebagai pengantar makanan. Wajahnya tak terlalu asing. Suaranya... agak berat. Dia memakai masker, tapi... tatapan matanya—ya, Merlin yakin sekarang.
“Itu... dia... Frenki!” desis Merlin. “Dialah yang menyuntikku dari belakang. Dia yang menculikku waktu itu.”
Merlin mencengkeram gagang kursinya. Nafasnya mulai memburu. “Frenki adalah kaki tangan Chen... dia penyusup... dan dia yang menjebak Dika!”
Tiba-tiba ponselnya kembali berdering.
Nomor tak dikenal.
Saat ia angkat, terdengar suara lirih dan penuh kepanikan dari seberang.
“Bu Kapten... Dika... Dika dibawa keluar dari kantor... bukan prosedural... dia diculik...” suara itu langsung terputus.
Merlin mendadak berdiri, matanya melebar. “Dika?!”
Ia segera menyambar jaketnya dan senjatanya, lalu berlari keluar ruangan. Sekarang semuanya mulai jelas.
Chen dan Komandan Zen bukan hanya korup—mereka sedang menyingkirkan siapa pun yang tahu terlalu banyak. Termasuk Dika.
Merlin membuka pintu ruang isolasi dengan tergesa-gesa. Reno yang duduk termenung di sudut ruangan menoleh cepat.
"Ren, dengar aku," kata Merlin cepat sambil menyambar kunci di rak, "kau harus tetap di sini. Aku akan menambah penjagaan. Dika… Dika diculik.”
Reno tersentak. “Apa?! Oleh siapa?!”
“Orang-orang Chen. Ini di luar prosedur, mereka pakai seragam tapi tidak sesuai jalur hukum. Mereka membawa Dika entah ke mana. Tapi tenang, lokasi mereka sudah kulacak.”
Merlin menoleh pada dua anggota intel yang baru masuk.
"Jaga Leo. Gunakan protokol siaga satu. Kalau ada orang asing mendekat, jangan kasih ampun."
"Siap, Kapten!" jawab mereka serempak.
Merlin lalu berbalik dan menatap Leo. “Kalau kau betul-betul ingin menebus masa lalumu, bantu kami. Selesaikan ini. Kau tahu siapa lawan kita sebenarnya.”
Leo mengangguk pelan, matanya mulai terlihat mantap.
Merlin keluar dari tempat persembunyian itu dan segera naik ke mobil dinas. Seorang agen rahasia perempuan berpakaian kasual sudah menunggunya di dalam.
"Lokasi markas Chen sudah terkunci. Tim infiltrasi sudah siaga. Kita berangkat sekarang?" tanya sang agen.
Merlin menatap lurus ke depan. "Kita berangkat. Target kita cuma satu malam ini—selamatkan Dika dan bongkar semua kebusukan ini."
Hujan turun tipis saat Merlin dan dua agen menyusup ke area pelabuhan tua. Mereka menyelinap melewati kontainer yang sudah berkarat dan memantau dari kejauhan—sebuah gudang tua yang dijaga tiga orang bersenjata.
Di dalamnya, Dika terikat di kursi besi, tubuhnya penuh luka lebam. Seorang pria bertubuh besar menamparnya lagi.
“Katakan! Kamu pemilik situs itu, kan?! Ngaku saja! Kalau tidak, Kapten Merlin dan teman-temanmu yang akan mati.”
Dika mendesis lemah, “Aku… bukan dia…”
Seketika itu, lampu gudang berkedip. Di kejauhan, Merlin memberi isyarat dengan tangan. Agen perempuan mengangkat senjata dengan peredam. Mereka menyusup cepat—efisien, nyaris tanpa suara.
DOR. Satu penjaga tumbang.
Merlin meluncur masuk dari sisi belakang gudang. Agen kedua menonaktifkan CCTV dan mengunci pintu utama agar tidak ada yang kabur.
Saat penyiksa Dika mengangkat linggis lagi, BAM! pintu belakang jebol.
“Turunkan senjata, atau aku tembak kepalamu!” bentak Merlin dengan suara dingin.
Orang-orang Chen terkejut. Tapi satu orang nekat menembak.
DOR! DOR! Tembakan balasan dari agen Merlin menghantam bahu si penyerang.
Pertempuran singkat pun terjadi. Tapi tim Merlin terlatih. Tak lama, semua lawan dilumpuhkan.
Merlin langsung berlari ke arah Dika. "Dika! Kamu masih hidup?"
Dika tersenyum tipis meski penuh luka. “Kurasa… kamu datang tepat waktu.”
Merlin memotong tali di tangan Dika, lalu memeluknya sejenak. “Kita belum selesai. Tapi malam ini, kamu selamat.”
Saat Merlin berusaha membawa Dika keluar dari gudang, tiba-tiba—DOR! DOR!
Dua agen di belakangnya tumbang dengan peluru tepat di dada. Merlin menoleh cepat, tapi tak sempat bereaksi. Lampu sorot menyala dari segala arah. Suara langkah kaki menggema keras. Puluhan polisi bersenjata lengkap mengepung gudang itu.
“Angkat tangan kalian!” teriak komandan regu.
Merlin dan Dika berdiri terdiam. Mereka tak punya pilihan. Merlin melirik ke arah agen-agen yang sudah roboh—nyawa mereka tak tertolong.
Tiba-tiba, dari kejauhan, terdengar suara yang sangat familiar.
“Hilangkan semua bukti. Jangan sampai jejaknya sampai ke kantor pusat.”
Itu suara Komandan Zen.
Wajah Merlin menegang. Dika menggertakkan gigi.
Komandan Zen berjalan mendekat dari bayangan dengan langkah santai, wajahnya penuh kemenangan.
“Sayang sekali, Kapten Merlin. Kau terlalu dekat dengan kebenaran,” katanya sambil tersenyum dingin.
Dika berteriak, “Kau pengkhianat bangsa!”
Zen mendekat dan berbisik di telinga Merlin, “Kau akan jadi tersangka utama, dan tak seorang pun akan percaya ceritamu.”
Merlin hanya menatap tajam. Tapi dalam hatinya, dia tahu satu hal: ini belum akhir. Dia masih punya satu kartu terakhir.
Udara malam itu terasa berat. Di rumah kosong yang dijadikan tempat perlindungan sementara, Reno duduk mengamati layar kecil pemantau CCTV yang ia pasang diam-diam di beberapa titik strategis. “Mereka akan datang,” gumamnya, seolah yakin firasatnya akan jadi nyata.
Tiba-tiba, sistem keamanan aktif. Sensor gerak mendeteksi pergerakan mencurigakan di sekitar halaman. Reno segera mengarahkan pandangannya ke Leo. “Bersiap,” katanya.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi pintu belakang didobrak. Tapi sebelum si pembunuh bayaran melangkah lebih jauh, lantai kayu yang sudah dimodifikasi Reno runtuh. Tubuh penyerang terjerembap dalam lubang jebakan yang telah dipasangi jeruji listrik.
Leo terpaku, wajahnya pucat. “Itu... itu dia! Orang suruhan Chen!”
“Tenang,” kata Reno. “Aku sudah prediksi ini. Leo sekarang waktunya kamu bicara.”
Setelah menarik napas panjang, Leo akhirnya membuka suara. “Setiap akhir bulan, Chen dan Komandan Zen selalu bertemu. Tempatnya rahasia, nggak tercatat. Tapi aku pernah ikut sekali... di gudang tua dekat pelabuhan.”
Reno menatap Leo tajam. “Kapan mereka akan bertemu lagi?”
Leo ragu. “sekarang . Tanggal 29. Jam sebelas malam.”