Karen Aurellia tidak pernah menyangka diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, akan menikah dengan pria yang lebih tua darinya. Pria itu adalah Darren William Bratajaya, pemuda cerdas yang telah meraih gelar profesor di Universitas London.
Saat mengetahui akan dinikahi seseorang bergelar profesor, yang ada dalam bayangannya adalah seorang pria berbadan gempal dengan perut yang buncit, memakai kacamata serta memiliki kebotakan di tengah kepala seperti tokoh profesor yang sering divisualkan film-film kartun.
Tak sesuai dugaannya, ternyata pria itu berwajah rupawan bak pangeran di negeri dongeng! Lebih mengejutkan lagi, ternyata dia adalah dosen baru yang begitu digandrungi para mahasiswi di kampusnya.
Bacaan ringan, bukan novel dengan alur cerita penuh drama. Hanya sebuah kisah kehidupan Rumah Tangga pasutri baru, penuh keseruan, kelucuan, dan keuwuan yang diselipi edukasi pernikahan. Baca aja dulu, siapa tahu ntar naksir authornya 🤣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 22 : Mengakui Kekalahan
Setelah memberikan minuman ke Darren, Karen baru menyadari jika ini adalah jam makan siang. Sialnya, dia lupa menanyakan apakah suaminya sudah makan atau belum. Namun, melihat sebelumnya ada banyak mahasiswa bimbingan yang berkumpul di meja kerja suaminya, membuatnya menyimpulkan jika pria itu belum makan.
Saat sedang memikirkan makanan apa yang hendak ia belikan untuk Darren, tiba-tiba Nadya datang mengagetkannya dari arah belakang.
"Ke mana aja sih? Dari tadi aku cariin," tanya Nadya.
"Aku mau beli makan siang untuk Darren."
"Hah? Siapa?"
Sadar mulutnya baru saja blong, ia pun segera meralat. "A ... maksud aku, tadi pak Darren nyuruh aku beliin makan siang dia. Duh, nyusahin banget, kan?" jelas Karen berlagak kesal, setelah jantungnya hampir copot karena keceplosan.
Nadya malah mengayun-ayunkan pundak Karen. "Beruntung banget kamu sering disuruh-suruh sama dosen ganteng! Terus, dia minta dibeliin apa?"
Karen langsung berkata asal. "Ayam geprek!"
Karen dan Nadya lalu menuju kedai ayam geprek yang masih berlokasi di sekitaran kampus. Sebenarnya ini pertama kalinya Karen mencoba membeli makanan di kedai yang cukup ramai dengan mahasiswa.
"Bu, ayam gepreknya satu paket dibungkus, ya!" pinta Karen.
"Mau paket yang mana, Neng?" tanya ibu-ibu pemilik kedai tersebut.
Karen membaca deretan menu yang terpampang di dinding. "Paket dada sama minuman berapa, ya?"
"Harganya lima puluh tujuh ribu, Neng," jawab ibu itu yang langsung mematok harga karena melihat penampilan Karen.
"Hah? Mahal banget, Bu. Mau naik haji, ya?" Nadya yang menemani Karen, lantas terkejut. Sebab, setahunya ayam geprek selalu menjadi penolong mahasiswa yang ingin makan enak tapi murah meriah, termasuk dirinya sendiri tentunya.
"Kalau mau ada yang harganya cuma lima ribuan, tapi ayamnya digeprek di ketek. Mau?" ketus ibu itu.
Karen dan Nadya kompak menunjukkan wajah jijik.
"Ya, udah, Bu. Bungkus satu," pinta Karen kembali.
Karen lalu kembali ke fakultas tepatnya ruang dosen untuk memberikan paket makan siang Darren yang baru saja dibelinya. Sayangnya, wujud lelaki itu sama sekali tak terlihat di dalam ruangan.
"Ke mana pak Darren?" tanya Nadya bengong.
Karen yang juga mempertanyakan hal serupa dalam hati, tiba-tiba membersit. "Ah, aku tahu! Dia pasti ada di ruang penelitian."
Di sisi lain, Darren mencoba minuman bubble tea pemberian Karen. Matanya melotot diikuti kepala yang mengangguk-angguk begitu cairan tersebut melepas dahaganya.
"Hhmm ... enak juga ternyata!"
Sedang asyik menyedot bubble tea, tiba-tiba dia dikejutkan dengan aksi Marsha yang mendadak memeluknya dari belakang. Saking terperanjat, minuman yang dipegangnya sampai jatuh dan tumpah di lantai. Sontak, Darren berusaha melepaskan lingkaran tangan Marsha di pinggangnya. Namun, Marsha bersikeras untuk tetap memeluknya.
Menghela napas, Darren pun berkata, "Kamu sadar enggak apa yang kamu lakukan ini salah?"
"Sebentar saja, please," ucap perempuan itu dengan nada memelas sambil menyandarkan kepalanya di punggung Darren.
"Bahkan walaupun cuma sedetik tetap gak boleh," tangkas Darren, "aku ini sekarang udah jadi—"
"Stop! Jangan diterusin!" potong Marsha, "itu cuma bakal nyakitin perasaanku. Aku benar-benar nyesal udah lepasin kamu," lanjutnya dengan nada suara bergelombang.
Di waktu yang sama, Karen dan Nadya berjalan menuju ruang penelitian. Sialnya, dari celah tirai lipat, Karen malah memergoki Darren dan Marsha yang sedang berduaan di dalam ruangan itu. Apalagi posisi Darren seolah pasrah dipeluk oleh mantan kekasihnya. Tak ayal, hati Karen pun terasa terbakar.
"Nad, kamu aja deh yang ngasih makan siang ini sama pak Darren." Karen menyerahkan paket ayam geprek itu pada Nadya dengan raut wajah memberengut.
"Eh, eh, kamu mau ke mana?" tanya Nadya ketika Karen langsung pergi begitu saja.
Di dalam ruangan, Darren yang baru saja melepaskan pelukan Marsha terhenyak ketika mendengar suara ketukan pintu.
Begitu pintu terbuka setengah, Nadya masuk sambil memberikan sebuah bag paper. "Pak, ini titipan dari Karen. Katanya tadi bapak suruh dia beliin makan siang untuk Bapak."
Alis Darren turun sebelah. "Terus, dianya di mana?"
"Tadinya sih kita barengan. Cuma gak tahu kenapa pas di depan pintu dia tiba-tiba pergi dan minta tolong ma aku buat ngasih ini," jelas Nadya yang kemudian pamit pergi. Namun sebelumnya, ia melirik ke arah Marsha yang juga ada di ruangan itu. Ini kedua kalinya ia mendapati dua dosen muda yang lajang itu berduaan dalam satu ruangan.
Darren langsung mengambil ponsel untuk menghubungi Karen. Ia berfirasat jika perempuan yang dinikahinya itu telah melihat kebersamaan antara dirinya dan Marsha. Terbukti, panggilannya terus ditolak.
Napas kasar Darren mengembus berat. Marsha yang merasa telah terjadi sesuatu lantas bertanya pada pria itu. Sayangnya, Darren sama sekali tak merespon bahkan langsung keluar dengan ponsel yang terus ditempelkan di telinga.
Marsha tercenung cukup lama. Sikap Darren terhadapnya yang berubah setelah menikah dengan perempuan lain, membuatnya harus mengakui kekalahan. Kalah dalam hal mempertahankan cinta Darren yang begitu kuat padanya, kalah memenangkan hati Darren, dan juga kalah membuat pria itu kembali berbalik ke arahnya.
Karen berjalan cepat di halaman fakultas. Ia masih kesal dengan apa yang baru saja dilihatnya di ruangan itu. Efek dari kekesalannya, ia sampai memblokir kontak Darren dan mematikan ponselnya.
"Kenapa sih mantan selalu saja jadi pengganggu di hubungan orang? Udah kayak setan aja!" gerutu Karen dengan kaki yang terus melangkah, "Oh, iya, emang benar setan kok. Kan mantan itu singkatan dari Manis tapi Setan." Ia terus mengomel sendiri.
"Karen ...." Seseorang tiba-tiba memanggilnya dari belakang.
"Apaan sih manggil-manggil?" cetusnya marah-marah sambil berbalik. Namun, ia mendadak kaku ketika mengetahui yang memanggilnya adalah Marsha.
"Aku boleh ngomong bentar sama kamu?" tanya Marsha.
Tak mau menunjukkan kecemburuannya terhadap perempuan itu, Karen langsung mengiyakan ajakan Marsha. Kedua perempuan itu kemudian duduk di taman.
"Sebelumnya aku minta maaf karena udah lancang peluk Darren." Marsha mulai mengawali obrolan mereka.
Perkataan perempuan itu tentu mengejutkan Karen. Namun, ia masih memilih bergeming.
Marsha tersenyum getir, lalu kembali berkata, "Rasanya memalukan harus meminta maaf pada mahasiswaku sendiri. Tapi, jika aku tidak melakukannya, takutnya ada salah paham di antara kalian. Aku sadar, aku enggak boleh menjadi duri dalam rumah tangga kalian. Apalagi aku sudah enggak ada di hati Darren. Dia benar-benar pria sejati yang menghargai pernikahannya."
Pada saat ini, Karen hanya mampu menatap lamat-lamat wajah Marsha. Ia masih tak percaya apa yang baru saja diungkap perempuan itu. Tadinya dia berpikir, tindakan Marsha yang menghampirinya karena ada desakan dari Darren. Namun, sepertinya tidak begitu. Apa yang diucapkan oleh perempuan lulusan magister di Amerika itu benar-benar meminta maaf atas inisiatifnya sendiri.
Setelah melontarkan banyak kalimat, Marsha pun berdiri dan hendak beranjak.
"Bu Marsha," panggil Karen dengan pelan.
"Makasih, ya. Saya yakin, Bu Marsha bisa mendapatkan pengganti yang melebihi Darren," ucap Karen.
"No, you don't have to say that! Aku juga sedang dekat dengan beberapa pria," balasnya sambil tersenyum. Tampaknya perkataan itu agar ia tak terlihat menyedihkan di mata Karen. Kenyataannya, Darren masih menjadi lelaki terbaik versinya.
(N: you don't have to say that\= kamu gak perlu bilang kayak gitu.)
Karen kembali ke kediamannya dan langsung membanting tubuhnya di sofa lipat. Ia kelelahan setelah cukup lama terjebak macet. Saat hampir tertidur, tiba-tiba matanya membulat karena mengingat ia belum juga mengaktifkan ponselnya. Saat ponselnya aktif, puluhan pesan WhatsApp masuk secara beruntun dari orang yang sama. Siapa lagi kalau bukan dari Darren yang menganggap dirinya masih marah.
.
.
.
jangan lupa like + Komeng. gak usah vote atau gift dulu, novel ini belum kontrak. Nanti sia-sia votenya. kalau mau, kasihin ke novelku yang judulnya Never Not aja, karena itu udah masuk 10 besar dan sedang berjuang di lima besar.
keasikan baca jadi lupa kasih bintang 😂😂😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🙏🏼
notif'y ada d berbagai judul novel kak yu 😅