Kisah tentang para remaja yang membawa luka masing-masing.
Mereka bergerak dan berubah seperti bola kuning, bisa menjadi hijau, menuju kebaikan, atau merah, menuju arah yang lebih gelap.
Mungkin inilah perjalanan mencari jati diri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Paffpel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Hari ini, adalah hari kelulusan Arpa dan yang lainnya. Mereka diperbolehkan untuk mengelilingi sekolah, di satu hari terakhir mereka, di sekolah SMP Bayangta. Mereka bebas melakukan apa saja, asal jangan merusak fasilitas sekolah. Ini adalah cara kepala sekolah SMP Bayangta, agar murid-murid bisa mengenang dan terus mengingat masa-masa SMP mereka.
Ada murid yang berfoto-foto, keliling sekolah, ngobrol santai sambil ketawa-ketawa, dan ada juga yang saling ngasih hadiah.
Arpa dan Juan sampai di sekolah. Mata Arpa berbinar. “Gila, Jun, sekolahnya bener-bener milik kelas kita! Kelas 1 sama kelas 2 diliburkan, kita bebas ngapain aja coy,” Kata Arpa sambil.
Arpa langsung lari ke lorong kelas sambil nyengir. Juan tersentak sedikit dan nyusul Arpa. “Rap, tunggu woi.”
Di lorong kelas, Arpa dan Juan ketemu Rian yang lagi jalan santai. Arpa melambaikan tangannya. “Woi, Yan!”
Langkah Rian terhenti. Dia nengok belakang. “Oi, Rap.”
Arpa dan Juan berhenti lari dan jalan bareng Rian. Arpa ngerangkul Juan dan Rian sambil senyum lebar. “Mau kemana nih kita?”
“Ya… jalan-jalan aja ga sih? Gua masuk sekolah juga gara-gara bosen aja sih,” kata Rian.
Arpa dan Juan pun mengangguk setuju, mereka jalan-jalan mengelilingi sekolah. Tapi tiba-tiba kenangan mereka muncul. Selama keliling sekolah, mereka hanya diam sambil memperhatikan sekitar sekolah.
Ternyata kenangan yang muncul bukan kenangan yang indah. Arpa mengingat masa-masa dia dihina, merasa terlalu lemah lalu menjauh dari Juan dan Rian. Juan yang teringat dia ditinggalkan teman-temannya, rasa bersalah kepada Arpa dan rasa tidak bergunanya. Rian yang merasakan kembali dirinya yang selalu sendiri, menyakiti perasaan Arpa. Dan kecewa dengan ibunya.
Mereka pun sampai di taman sekolah. Mereka duduk di salah satu kursi. Juan nyenggol Arpa dan Rian. “Nanti kita mau sekolah dimana? Bareng kan?”
Rian diam sebentar sambil megang dagu. “Hmm, di SMA Kuantama gimana?”
Arpa ngangguk-ngangguk. “Boleh tuh, oke, berarti kita nanti sekolah di SMA Kuantama ya.”
Mereka lanjut ngobrol-ngobrol, mengenang apa saja yang telah mereka lalui.
Di tengah obrolan, tiba-tiba ada Mutia dan Talita yang menyapa mereka. “Hai, kalian lagi ngapain?”
Arpa ngelirik Mutia. “Nggak ngapa-ngapain, ngobrol-ngobrol aja, hehe,” Arpa senyum.
“Ohh, gitu, ke lantai dua yuk? Seru tau, kita bisa liat sekeliling sekolah!” Mutia melompat-lompat kecil.
“emangnya di lantai dua itu ada apa? Gua nggak pernah ke lantai dua.” Arpa memiringkan kepalanya.
Juan dan Rian ngelirik Arpa dan ngangguk. “Iya, gua juga sama,” kata Rian dan Juan.
“Lantai dua itu khusus ruangan ekskul. wajar aja kalian nggak pernah kesana, kalian aja nggak ikut ekskul apapun. tapi boleh kok kesana walaupun bukan anggota ekskul manapun.” Mutia ngangguk pelan.
Arpa, Juan dan Rian pun setuju. Mereka langsung naik tangga dan ke lantai dua. Saat di lantai dua. Arpa, Juan dan Rian. melihat langit dan sekeliling sekolah. Matanya berbinar-binar dan mulutnya terbuka sedikit. Mereka mendekat ke pagar balkon. “Wah gila. Ini keren banget!” kata Arpa sambil senyum lebar.
Tapi saat Arpa ngelirik ke arah ujung balkon, dia ngeliat Kela dan Susi. Senyumannya perlahan memudar.
Rian ngelirik Arpa, dan ngelirik Kela dan Susi. “Tenang, Rap, kayaknya mereka nggak liat kita, udah pura-pura nggak liat aja dulu,” Rian berbisik ke Arpa sambil ngusap pundak Arpa.
Arpa ngangguk dan senyum tipis. Mereka pun lanjut ngeliat sekitar dengan kagum.
Kela ngeliat Arpa. Matanya menyipit dan langsung memalingkan pandangannya. “Ada si parasit kesepian tuh.”
Susi ngelirik Arpa. Alisnya narik sedikit ke tengah. Dia menggigit pelan bibirnya. “Ngomong-ngomong lu ke sekolah mau ngapain, Kel? Masa cuman ngeliatin sekolah dari sini doang, hehe… “
“ya apalagi kalau bukan buat ngasih paham si parasit kesepian?” Kela senyum miring sambil menyilangkan tangannya.
Arpa yang lagi ngobrol tiba-tiba terhenti. “Gua ke kamar mandi dulu ya, hehe.”
Arpa pun jalan menuju tangga. Kela yang ngeliat Arpa jalan ke tangga, tiba-tiba dapet ide. Dia nyengir dan langsung lari ke arah Arpa.
Susi ingin menarik Kela, tapi tidak sempat. Seolah dia tau apa yang ingin di lakukan Kela. Dia pun langsung lari, ingin menghentikan Kela.
Arpa melangkah turun ke tangga, Tapi… dia ditabrak oleh Kela, Arpa terjatuh dari tangga, dan kepalanya terbentur. Dia pingsan.
Kela yang melihat Arpa terjatuh dan pingsan langsung terdiam. Matanya melotot dan bibirnya bergetar.
Mata Susi melebar dan mulutnya terbuka. “Kel…? Lu… ngapain?”
Juan, Rian, Mutia dan Talita, mendengar suara jatuh yang keras. Mereka menengok.
Juan terdiam tidak bisa bergerak sesaat. Matanya terbuka lebar dan dia menatap Kela.
Mata Rian terbuka lebar lalu mengkerut, dia menatap tajam Kela. Dia berlari ke arah Kela.
Rian mengepalkan tangannya. “Lu ngapain hah?!” dia menabrak Kela hingga terjatuh.
Rian menatap Arpa yang pingsan, dan langsung turun dengan cepat. Dia langsung mengangkat Arpa dan berlari ke UKS.
Juan perlahan-lahan menggerakkan badannya dan berlari menyusul Rian tanpa menengok Kela lagi.
Mutia menghampiri Kela dengan mata yang berkaca-kaca. Badannya terjatuh di lantai. Dia… menangis. “Kamu kenapa sejahat itu? Padahal Arpa, dia orang yang baik,” Mutia terus-menerus mengusap-usap matanya.
Kela melihat Mutia yang menangis. Tangannya bergetar dan dia menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba Kela terbangun dan langsung berlari. “Gua… ngapain?” pikir Kela sambil berlari.
Talita memeluk dan menepuk punggung Mutia yang sedang menangis.
Untungnya masih ada beberapa guru untuk mengawasi murid-murid. Arpa berbaring di kasur UKS. Ada Rian yang duduk di samping Arpa dan ada bu Tuti.
Juan membuka pintu UKS dengan keras. Matanya masih membesar. “Si Rap… gimana?”
Rian menatap Juan dengan mata setengah kosong. Lalu menundukkan kepalanya. “Dia… pingsan.”
Juan melangkah pelan menuju Arpa. Bu Tuti memegang tangan Arpa. “Ini awalnya… kenapa? Rian, Juan?”
Rian menundukkan kepalanya dan nggak ngejawab. Sedangkan Juan, dia… hanya berdiri kaku sambil menatap Arpa.
Mutia dan Talita pun datang dan masuk. Langkah Mutia pelan dan bulu matanya masih basah. “Kela… yang ngedorong Arpa bu.”
Mulut bu Tuti terbuka sedikit dan langsung memalingkan mukanya. “Gitu ya… yaudah, ibu telepon orangtua Arpa dulu ya, nanti ibu telepon orangtua Kela juga.”
Ibu dan ayah Arpa pun datang. Tapi Arpa, masih belum sadar. Alis ibu Arpa naik dan menyatu di tengah. Tubuhnya condong ke Arpa, dia menggenggam tangan Arpa, tangannya bergetar.
Tapi, tiba-tiba pintu terbuka sangat pelan. Ternyata itu… Susi.
Susi berjalan pelan ke arah mereka. Matanya sedikit redup dan sering memalingkan pandangannya.
Rian yang melihat Susi, langsung terbangun dari duduknya dan berjalan cepat ke arah Susi. Dia menarik kerah baju Susi dan menggenggamnya. Dia mendorong Susi hingga menabrak tembok. Rian menatap tajam Susi. “Dimana rumah si Kela? Jawab?!”
Ibu Arpa menghampiri mereka. Dia menyentuh bahu Rian dengan lembut. “Nak, sabar,” kata ibu Arpa dengan nada yang lembut.
Rian menatap ibu Arpa. Genggaman Rian melemah dan matanya melembut. Rian melepaskan genggamannya dan kembali duduk.
Bahu Susi merosot. Dia menundukkan kepala dan badannya. “Saya minta maaf… andai saya bisa menghentikan Kela saat itu, andai saya bisa merubah Kela menjadi lebih baik, andai saya… bisa menyelamatkan Arpa sebelum dia terjatuh. Saya minta maaf.” Susi menggenggam erat roknya.
Ibu Arpa mengusap punggung dan bahu Susi. “Nak, nggak apa-apa, kan bukan kamu yang salah. Tenang aja, Arpa itu anak yang kuat,” Ibu Arpa tersenyum hangat.