novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUNTUHNYA DINDING ANTARA API DAN AIR
Angin panas dan dingin beradu di arena pusat Batu Sendi, menciptakan getaran samar yang merayap di permukaan tanah. Sejak guncangan yang tercipta ketika Sena dan Cai memadukan energi mereka pertama kali dalam sejarah dua dimensi para prajurit, penjelajah, bahkan tetua dari kedua kubu masih menatap ke arah cincin energi raksasa yang tersisa di udara. Cincin itu berpendar biru-merah, memantul, berkedip, seolah bernapas.
Cai berdiri sedikit terhuyung, tangannya masih gemetar. Sena berada tepat di sampingnya, napas terengah, namun matanya berbinar tajam. Mereka baru saja menghadapi pasukan infiltrator Api Merah dan bayangan entitas yang dipanggil dari kedalaman magma. Keduanya melewati batas kemampuan sendiri. Namun sesuatu yang lebih besar telah terjadi: perisai energi yang memisahkan Dimensi Api dan Air selama ribuan tahun kini retak.
Retakan halus itu terlihat seperti urat kaca pada kubah transparan yang menggantung di angkasa. Para tetua dari kedua pihak bisa merasakannya; para prajurit bisa melihatnya; tetapi hanya Cai dan Sena yang benar-benar memahami betapa berbahayanya itu.
Bukan sekadar retak.
Retakan itu membentuk pola spiral yang tampak mekar, seperti bunga yang ingin menembus batas.
Sena melangkah maju, menatap langit. “Cai… ini tidak hanya krisis siklus energi. Ini adalah runtuhnya pemisah dimensi,” lanjut Cai pelan, suaranya nyaris bergetar.
Ia merasakan tekanan dari dimensi Air: getaran ritmis, seolah lautan luas sedang menahan napas. Wadah energi biru itu kini tidak lagi stabil. Ia bisa mendengar bisikan jauh seperti suara arus dari dimensi asalnya mendesak masuk melalui retakan.
Sementara itu, Sena merasakan getaran serupa dari sisi Api. Gemuruh magma, desir angin panas, dan seruan energi purba yang menggema memasuki arena. “Jika retakan itu melebar,” ujar Sena, “kedua dimensi akan bertabrakan.”
“Dan semuanya bisa musnah,” tambah Cai.
Tetua Biru, Lysandra, berjalan mendekat. Rambut peraknya yang panjang bergerak mengikuti angin dingin yang berputar, wajahnya penuh tekanan. “Kalian telah mengubah struktur jaringan energi. Yang kalian lakukan tadi… bukan hanya pertempuran. Kalian memaksa dua elemen yang seharusnya tak bersatu untuk saling menyentuh. Dan lihatlah…”
Lysandra menunjuk langit.
Retakan itu makin membesar.
Dari sisi berlawanan, Tetua Api, Kaelion, muncul dengan tongkat obsidian yang menyala di ujungnya. “Perisai dimensi adalah penjara sekaligus perlindungan. Tanpa itu, ketidakseimbangan akan menghancurkan inti kedua dunia.”
Para prajurit Api dan air berdiri berbeda sisi, saling mencurigai, meski mereka baru bersekutu melawan ancaman yang sama. Ketegangan yang sejak ribuan tahun tersimpan kembali menguat.
Cai menelan ludah. “Apa tidak ada cara memperbaiki… perisai itu?”
Lysandra dan Kaelion saling menatap. Diam. Itu lebih menakutkan daripada jawaban apa pun.
Akhirnya Kaelion berkata dengan suara berat, “Perisai itu hanya bisa dibuat ulang oleh entitas yang memicunya pertama kali.” Ia lalu memandangi Sena dan Cai. “Dan kalian baru saja menunjukkan bahwa kalian memiliki gabungan energi yang bisa memecahkan atau memperbaikinya.”
Sena mengerutkan alis. “Tunggu… Anda ingin kami memperbaiki perisai dimensi itu? Kami bahkan tidak bisa mengontrol perpaduan energi kami dengan stabil. Kalau kami salah sedikit saja”
“Dimensi akan meledak satu sama lain,” potong Cai dengan lirih.
Namun Lysandra menggeleng. “Kalian tidak akan melakukannya sendirian. Ada sesuatu yang harus kalian ketahui. Simpul Pusat, inti dari semua aliran energi, berada tepat di antara dua dimensi. Tempat yang tak pernah bisa dicapai makhluk apa pun sejak perisai dipasang.”
“Dan sekarang,” Kaelion menambahkan, “karena retakan itu, Simpul Pusat bisa diakses kembali.”
Cai merinding. Sena juga.
Karena meski mereka tidak pernah melihatnya, legenda tentang Simpul Pusat adalah inti dari semua cerita larangan tempat asal kekacauan, tempat kelahiran nyala pertama dan tetesan air pertama yang membangun dua dunia.
Tempat yang bahkan para tetua sekalipun tak berani dekati.
“Untuk memperbaiki perisai dimensi,” lanjut Lysandra, “kalian harus pergi ke Simpul Pusat dan menstabilkan energi inti.”
Sena menghela napas tajam. “Dan bagaimana kami masuk ke sana?”
Retakan di langit tiba-tiba bergetar keras, memuntahkan aliran cahaya biru-merah yang melengkung ke segala arah. Tanah berguncang.
Kaelion menunjuk ke atas. “Itu jalannya.”
Arena terdiam. Para prajurit mundur beberapa langkah saat pusaran energi mulai terbentuk tepat di bawah retakan. Warna biru dan merah berpadu dalam tarian yang mengancam, seperti dua naga yang saling lilit.
Cai menggeleng pelan, wajahnya ngeri. “Tapi pusaran itu tidak stabil. Masuk ke sana berarti”
“berisiko hilang di antara dimensi,” lanjut Sena.
Mereka saling menatap. Dalam tatapan itu ada ketakutan, tetapi juga keberanian. Karena mereka tahu: siapa lagi yang bisa melakukannya selain mereka yang telah memecah batas itu pertama kali?
Namun sebelum mereka bisa membuat keputusan, tanah di belakang prajurit Api bergetar kuat dan retakan kecil muncul. Dari retakan itu, sosok-sosok Api Merah bermunculan. Mereka tampak kacau, tubuh mereka diselimuti api liar yang tidak terkontrol.
“Energi inti yang rusak mempengaruhi mereka,” gumam Kaelion. “Jika dibiarkan, seluruh pasukan Api Merah bisa berubah menjadi entitas liar tanpa kesadaran.”
Prajurit Air mulai bersiaga.
Para Api Merah itu tersentak, lalu saling menyerang satu sama lain tanpa tujuan jelas. Mereka bukan lagi prajurit mereka adalah bayangan dimensi yang mulai runtuh.
“Cai, kita harus pergi sekarang,” desis Sena.
Cai mengangguk, benar-benar memahami urgensi itu. “Kalau tidak… semuanya akan terlambat.”
Tetua Biru dan Tetua Api berdiri di sisi pusaran energi, membentuk lingkaran perlindungan, walau keduanya tahu itu tak akan bertahan lama.
Lysandra menatap Cai. “Ingat. Jangan paksa energimu keluar. Biarkan ia mengikuti ritmenya sendiri.”
Kaelion menatap Sena. “Dan kau… kendalikan amarahmu. Api yang kau bawa adalah kekuatan yang sama yang menghancurkan batas ini. Gunakan dengan tujuan.”
Sena tidak menyahut, namun sorot matanya tajam, penuh tekad.
Pusaran energi mulai menarik udara dengan gemuruh. Cahaya biru dan merah berputar cepat dan liar.
Cai mengambil napas panjang. “Sena… kalau kita gagal”
“Kita tidak akan gagal.” Sena memotongnya, menggenggam tangan Cai. “Bersamamu, aku tidak pernah takut pada apa pun.”
Ucapan itu begitu sederhana, tapi terasa seperti api hangat yang menyentuh hati Cai. Ia merasakan kekuatan kecil dalam dadanya, seperti denyut air yang membelai dari dalam.
Keduanya melangkah maju tetapi sebelum mereka masuk, suara berat menggema dari balik arena.
“Jangan kira kalian satu-satunya yang bisa masuk.”
Muncul dari balik bebatuan yang runtuh, sesosok tubuh tinggi dengan luka membara pada dada dan lengan: Rhazka, mantan komandan Api Merah yang dipikir telah hilang dalam gelombang ledakan energi sebelumnya.
Tubuhnya bergetar hebat, seolah bergumul dengan sesuatu yang menguasai tubuhnya.
Cai menyipitkan mata. “Rhazka?”
Wajah Rhazka berubah, seperti diseret oleh dua entitas yang berebut. “Energi inti… merasukiku… aku” Ia mencengkeram kepalanya, mengerang. “Aku harus masuk… sebelum kalian…”
Sena maju, api merah pekat muncul di telapak tangannya. “Rhazka! Kalau kau masuk ke sana dalam keadaan seperti itu”
“Aku tahu,” Rhazka menggeram. “Itu sebabnya aku harus masuk. Aku… bisa menjadi katalis. Aku bisa menstabilkan sebagian pusaran, setidaknya cukup lama untuk kalian lewat. Tanpa itu, kalian akan hancur sebelum mencapai Simpul Pusat.”
Cai menelan ludah. “Tapi kau bisa mati.”
Rhazka menatap keduanya. Mata yang biasanya menyala angkuh kini dipenuhi kesadaran menyakitkan. “Dimensi kita, Sena. Dimensi kalian, Cai. Aku tidak mau semuanya berakhir. Ini… satu-satunya hal yang bisa kulakukan.”
Sena mengertakkan gigi. “Kau tidak harus mati”
“Aku sudah setengah mati,” Rhazka menyela, suara melemah. “Biar aku memilih bagaimana sisanya.”
Dan sebelum siapa pun sempat bergerak, Rhazka meloncat ke pusaran energi.
Seketika pusaran itu meledak cahaya. Warna merah pekat muncul seperti sumbu yang dinyalakan. Energi masih liar, tapi pola mulai terbentuk. Putaran menjadi lebih stabil beberapa detik cukup bagi Lysandra berteriak:
“SEKARANG! MASUK!”
Cai menggenggam tangan Sena lebih erat, dan bersama-sama mereka melompat ke dalam cahaya yang berputar.
Tubuh mereka ditarik, diputar, dililit oleh arus energi yang terasa seperti sentuhan panas dan dingin sekaligus. Mereka tak bisa membedakan atas dan bawah. Suara air, suara api, gema dari jutaan percikan dan bara, semua menyatu dalam jeritan dimensi yang retak.
Sena memeluk Cai, dan Cai menutup mata, membiarkan energinya mengalir mengikuti arus, seperti nasihat Lysandra.
Sena menyalurkan api dengan fokus tinggi, seperti pesan Kaelion.
Mereka bergerak lebih dalam…
dan lebih dalam…
melewati lapisan-lapisan yang terasa seperti waktu yang terpecah.
Hingga akhirnya
Cahaya besar menyambut mereka.
Di hadapan mereka terbentang ruang yang tidak pernah digambarkan dalam legenda mana pun dengan benar. Ruang yang bukan langit, bukan daratan, bukan air, bukan api tetapi inti dari semuanya.
Sena dan Cai mendarat bersamaan di permukaan yang berkilau seperti kaca cair.
Dan suara besar, suara yang bukan berasal dari makhluk melainkan dari struktur dimensi itu sendiri, berbisik:
“Selamat datang di Simpul Pusat.”
Cai dan Sena saling menatap, napas mereka tercekat.
Misi mereka baru saja dimulai.