Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Imam yang Merdu dan Pesona Spiritual
Suara adzan Maghrib mulai berkumandang, merobek ketegangan yang menyelimuti dapur. Aku dan Bunda Fatma langsung menghentikan kegiatan memasak. Aroma rendang dan gulai ayam yang kami buat memenuhi rumah, tetapi kini semua fokus beralih ke panggilan sholat.
"Sudah, Nak. Kamu wudhu dulu. Biar Bunda yang menyiapkan alas sholat," kata Bunda, nadanya bersemangat.
Aku langsung meninggalkan dapur dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah berwudhu, wajahku terasa sejuk dan damai, air wudhu menyegarkan sisa-sisa kekesalan yang ku dumel kan pada Gus Ammar Fikri tadi. Aku mengambil mukena bersih dari lemari, memakainya dengan tergesa, dan menuju musholla kecil yang ada di sudut rumah.
Ayahku, sudah duduk di sana, membaca Al-Qur'an kecil. Di sampingnya, berdiri Pak Sopir Ammar, yang juga bersiap untuk sholat. Dan kemudian, mataku tertuju pada Ammar Fikri.
Aku terkesiap. Ia tidak lagi mengenakan kemeja CEO-nya. Ia mengenakan koko berwarna gelap yang elegan, dipadukan dengan sarung yang terlihat sangat berkualitas. Pakaian itu jelas bukan milik Ayah sarung dan koko itu memancarkan gaya yang sangat rapi dan eksklusif. Aku yakin, Ammar memang membawa perlengkapan sholatnya sendiri; suatu bukti perencanaan dan kepatuhan yang konsisten.
Wajah Ammar, yang biasanya tertutup oleh ekspresi datar dan menghakimi, kini terlihat bersih dan tenang setelah wudhu.
Saat ia menoleh sedikit ke arahku, sejenak pandangan kami bertemu. Aku melihat ekspresi terkejut melintas cepat di mata Ammar.
Dia kaget.
Aku menyadari kenapa. Dalam mukena dan dengan sisa air wudhu di wajahku, aku yakin penampilanku jauh lebih polos dan mungkin... teduh sesuai dengan deskripsi yang diberikan Ayah Bimo dan Bude Luna. Wajah yang kubawa saat briefing tadi adalah wajah kesal dan tertekan. Wajahku sekarang adalah wajah Indira yang berserah diri.
Ammar segera mengalihkan pandangannya, tetapi momen singkat itu sudah cukup memberitahuku bahwa aku berhasil menjadi variable yang tidak ia duga.
Ayah Bimo segera mempersilakan Ammar untuk maju. Ammar berdiri tegak di depan, memimpin kami. Ia mulai mengangkat takbir.
"Allahu Akbar..."
Suara takbir Ammar berat, mantap, dan mendalam. Itu adalah suara pertama yang ia keluarkan yang tidak terdengar seperti laporan keuangan atau analisis risiko.
Selanjutnya, saat ia membaca Surah Al-Fatihah, dan kemudian Surah Pendek, seluruh musholla dipenuhi oleh lantunan yang sangat merdu dan fasih. Tajwidnya sempurna, makhraj hurufnya jelas, dan ia membaca dengan penuh penghayatan, seolah ia sedang berbicara langsung dengan Tuhan.
Aku, yang berdiri di belakang Ayah, secara naluriah menutup mata. Lantunan itu menghanyutkan. Di momen ini, semua gelar CEO, semua variable, semua kekesalanku semuanya lenyap. Yang tersisa hanyalah Gus Ammar Fikri, seorang pemuda yang benar-benar menguasai ilmunya, memimpin sholat kami dengan karisma spiritual yang luar biasa.
Aku langsung mengakui, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa gelar Gus memang pantas disematkan padanya.
Dia memang seorang Gus sejati.
Dalam kekaguman yang bercampur rasa malu, aku sadar betapa dangkalnya aku menghakimi dia berdasarkan sikapnya yang dingin dan profesional. Sikap dingin itu mungkin adalah tamengnya di dunia, tetapi di hadapan Tuhan, ia adalah seorang hamba yang sangat taat dan berilmu.
Sholat selesai. Kami mengucapkan salam. Ammar berdzikir sejenak, lalu menoleh ke belakang. Ayah Bimo tersenyum bangga, Bunda juga mengangguk puas.
Aku tetap mengenakan mukena hingga Ammar dan Pak Sopir selesai. Ayah Bimo menepuk bahu Ammar dengan bangga.
"Alhamdulillah, merdu sekali bacaanmu, Nak. Sungguh nikmat rasanya sholat dipimpin oleh anak yang berilmu sepertimu," kata Ayah Bimo dengan tulus, matanya memancarkan rasa syukur.
Ammar hanya tersenyum tipis, senyum yang kali ini terasa lebih asli daripada senyum public relation-nya tadi. "Terima kasih, Om. Sudah kewajiban saya."
Ayah Bimo kemudian memimpin doa. Setelah doa selesai, Ammar mengucapkan salam dengan hormat pada Ayah dan Pak Sopirnya.
Aku tahu, di momen ini, Ayah Bimo semakin yakin bahwa ia telah memilih imam yang tepat untuk putrinya. Sementara aku, di tengah kekaguman dan keterkejutan, harus berhadapan dengan kenyataan: Gus Ammar Fikri adalah pria yang sulit dibenci. Ia dingin, kalkulatif, dan mendikte, tetapi ia adalah pemegang Garis Batas Keyakinan yang sangat kuat.
Aku harus berhati-hati. Karisma spiritual Ammar ini jauh lebih berbahaya daripada uang dan kekuasaannya, karena ia bisa menembus benteng pertahananku: iman.