Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Puncak Amarah dan Gugatan Cerai
Atmosfer di dalam kediaman Ibu Dewi benar-benar mencapai titik didih yang memuakkan. Aroma harum masakan pesta yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini tertutup rapat oleh hawa panas penuh murka yang menyesakkan paru-paru. Varo hanya mampu terduduk lesu di atas lantai yang dingin, wajahnya pucat pasi menyerupai mayat, sementara Cilla menatap Aini dengan sorot mata yang menyala-nyala penuh kebencian. Riasan pengantin Cilla yang semula dipuja-puja kini tampak hancur berantakan; maskaranya luntur membentuk aliran hitam di pipinya, perpaduan antara keringat dingin dan luapan emosi yang tak terkendali.
Saat Aini memberikan isyarat kepada Siska untuk segera melangkah pergi meninggalkan kekacauan itu, sebuah bentakan melengking yang memekakkan telinga menghentikan langkah mereka tepat di ambang pintu masuk.
"Puas kamu sekarang, Mbak?! Puas kamu sudah membuat saya jadi bahan tertawaan satu kampung di hari yang seharusnya jadi kebanggaan saya?!" teriak Cilla dengan suara yang bergetar hebat. Ia melangkah maju dengan kasar, menghalangi jalan Aini dengan napas yang memburu tidak teratur.
Aini berbalik perlahan, menatap adiknya dengan tatapan dingin yang belum pernah dilihat Cilla sebelumnya. Sebuah senyum miring nan sinis terukir di wajah Aini. "Puas? Baru segini saja belum seberapa dibanding rasa sakit yang aku simpan, Cilla. Ini hanya uang muka kecil untuk semua air mata yang aku buang gara-gara kamu dan pria pecundang di sampingmu itu," sahut Aini dengan nada bicara yang tenang namun menusuk.
"Dasar kakak tidak tahu diri! Seharusnya kamu itu berkaca! Laki-laki mana yang betah bersama perempuan mandul seperti kamu? Mas Varo itu butuh istri yang bisa memberikan keturunan, bukan cuma asisten yang pekerjaannya hanya menuruti kata orang di kota!" bentak Cilla lagi, kali ini jarinya menunjuk tepat di depan hidung Aini.
Ibu Dewi, yang semula terdiam karena malu, kini justru ikut tersulut emosinya. Ia berjalan menghampiri Aini dengan raut wajah penuh kebencian.
"Benar kata adik kamu! Seharusnya kamu itu sadar diri! Relakan suami kamu menikah lagi daripada kamu mempermalukan keluarga seperti ini! Kamu itu cuma pembawa sial! Sudah mandul, sekarang malah menghancurkan martabat orang tua sendiri!"
Hinaan yang keluar dari mulut ibu kandungnya sendiri membuat dada Aini terasa sangat sesak seolah dihantam godam besar, namun ia menolak untuk terlihat lemah di depan semua orang.
"Ya Allah, Ibu Dewi! Istighfar! Tega benar Ibu menghina Aini seperti itu? Aini itu anak yang selama ini berkorban banyak buat Ibu dan membiayai hidup Cilla!" sahut Bu Ningsih, salah satu tetangga senior di kampung itu dengan nada bicara formal yang tegas.
"Betul itu, Ibu Dewi! Seharusnya Cilla yang dididik agar tidak menjadi perebut laki-laki orang, bukan malah Aini yang jadi sasaran fitnah kejam kalian!" timpal Bu Erna yang mulai merasa mual melihat ketidakadilan di depan matanya.
Ibu Dewi tidak peduli, ia justru melotot ke arah para tetangga.
"Kalian diam ya! Tidak usah ikut campur urusan keluarga saya! Saya menyesal punya anak seperti Aini. Lebih baik dia hilang saja dari dunia ini daripada membuat malu saya terus-menerus!"
Siska yang sudah tidak tahan melihat sahabatnya diinjak-injak langsung pasang badan. Ia menepis tangan Cilla yang menunjuk Aini dengan kasar.
"Eh, Cilla! lo jaga ya mulut kotor lo itu! Yang bikin malu itu lo sendiri, karena sudah jadi pelakor murah di rumah tangga kakak lo! Dan buat Ibu Dewi, perlu Ibu ingat, toko sembako yang Ibu banggakan itu modalnya dari pesangon dan tabungan karier Aini! Kuliah si Cilla ini juga Aini yang tanggung sampai lunas! Kalian berdua itu cuma parasit tidak tahu malu yang makan dari keringat orang yang kalian hina ini!"
"Berhenti kamu ikut campur urusan keluarga saya!" Cilla kembali berteriak histeris, ia mencoba menyerang Siska namun ditarik oleh warga.
Varo yang melihat situasi semakin tidak terkendali mencoba bangkit. Dengan suara gemetar dan wajah memelas, ia mendekati Aini. "Aini... tolong, Mas mohon. Jangan dengarkan mereka. Mas melakukan ini karena keadaan, Mas terpaksa..."
Aini mundur dengan raut wajah penuh kejijikan yang teramat sangat.
"Terpaksa kamu bilang, Mas? Kamu lupa?! Demi kamu, aku rela melepaskan karier cemerlangku di perusahaan besar! Aku lepas posisi jabatanku di kantor pusat hanya demi menjadi istri yang berbakti buat kamu! Aku yang mendukungmu, aku yang mengurus semuanya supaya kamu bisa fokus kerja, jadi karyawan tetap, sampai akhirnya kamu naik jabatan jadi Manajer dengan gaji puluhan juta itu! Kamu pikir selama ini aku tidak tahu. Kalau kamu sudah naik jabatan? Aku sudah tahu semuanya."
Aini melanjutkan dengan suara yang menggelegar ke seluruh tenda, membuat suasana seketika hening.
"Tapi apa balasan kamu, Mas? Begitu kamu sudah mapan, begitu kamu sudah jadi Manajer dengan gaji tinggi, kamu justru memberi aku nafkah cuma satu juta sebulan seolah aku ini pengemis di rumah sendiri! Kamu tega biarkan aku menghemat segala hal demi supaya kamu bisa berfoya-foya sama Cilla?! Aku rela dihina Ibu Sarah sebagai menantu tidak berguna, aku rela dicaci karena tidak kunjung hamil, padahal kamu tahu sendiri dari hasil lab kalau kamu yang tidak subur! Kamu tega biarkan aku menanggung beban malu itu sendirian selama bertahun-tahun, Mas?!"
"Tidak, Sayang... Mas masih cinta sama kamu... tolong jangan begini," Varo berlutut, mencoba merengkuh kaki Aini.
"Cinta tapi tidur sama adik ipar? Najis sekali kamu, Varo!" Siska menyela dengan sinis.
Cilla yang melihat Varo berlutut semakin histeris dan tidak terkendali. Ia menarik kerah baju Varo agar berdiri.
"Mas! Berhenti memohon-mohon kepada perempuan itu! Biarkan saja dia pergi! Kita sudah sah menikah secara agama, sebentar lagi juga anak kita lahir! Biarkan perempuan mandul ini membusuk sendirian selamanya!"
Tanpa sadar, Cilla mengakui kehamilannya di hadapan seluruh tamu undangan yang hadir. Kesunyian sesaat langsung pecah dengan makian warga desa yang sudah tidak bisa membendung amarah.
"Perempuan tidak benar! Ternyata sudah berzina sebelum menikah!" umpat seorang warga dari kerumunan.
"Pantas saja terburu-buru, ternyata sudah hamil duluan! Memalukan sekali keluarga ini!" teriak warga lainnya.
Kondisi berubah menjadi keributan massal. Beberapa ibu-ibu yang geram mulai melemparkan sisa makanan dan buah-buahan dari meja katering ke arah pelaminan. Ibu Sarah dan Pak Wijaya hanya bisa menunduk malu, tidak sanggup membela anak mereka lagi. Siska dan Aini terjepit di tengah kekacauan, namun mereka merasa puas melihat Varo dan Cilla yang kini menjadi sasaran kemarahan publik.
"Sudah! Cukup!" bentak Pak RT yang baru saja tiba bersama pihak keamanan.
"Aini, bagaimana keputusanmu setelah ini?"
Aini menatap Varo dengan tatapan yang sangat tajam seolah ingin menguliti pria itu.
"Aku akan segera mengurus perceraian kita ke pengadilan, Mas. Dan kalau kamu berani menolak atau mempersulit, video mesum kalian di rumah bakal aku sebar ke semua grup WhatsApp warga dan kantormu! Aku tidak akan pernah main-main dengan ucapanku!"
Varo hanya bisa tertunduk lesu, air mata penyesalan yang sudah terlambat mulai membasahi pipinya. Ia menyadari telah kehilangan berlian paling berharga demi sepotong kaca pecah yang kotor.
Sore harinya, setelah keributan sedikit mereda, Aini dan Siska berpamitan dengan Bude Marni di rumahnya yang tenang.
"Bude, kami pamit pulang dulu ya. Makasih banyak sudah mau berdiri di pihak Aini," ucap Aini sambil memeluk Bude Marni erat, air mata kelegaan akhirnya jatuh.
"Sama-sama, Nak Aini. Ingat pesan Bude, kamu itu wanita hebat yang mandiri. Jangan pernah merasa sendirian. Dunia ini sangat luas, dan kamu berhak mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya tanpa parasit-parasit itu," bisik Bude Marni dengan lembut dan penuh kasih.
Aini dan Siska pun masuk ke dalam mobil. Mesin menderu kuat, dan mereka langsung meninggalkan desa tersebut. Saat mobil sudah melaju jauh dari kerumunan, Aini menghela napas panjang.
"Akhirnya kita lepas dari drama gila ini, Sis. Makasih ya sudah nemenin gue sejauh ini," ucap Aini lega sambil menatap sahabatnya.
"Santai aja, Ai. Gue nggak akan biarin lo berjuang sendiri lawan manusia-manusia nggak tahu diri itu. Lo hebat tadi, asli!" jawab Siska mantap. Perjalanan pulang ke Jakarta kali ini tidak lagi terasa berat; beban di pundak Aini seolah terbang bersama debu jalanan yang tertinggal jauh di belakang mereka.
BERSAMBUNG...