Dua keluarga yang terlibat permusuhan karena kesalahpahaman mengungkap misteri dan rahasia besar didalamnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagerNulisCerita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persidangan Awal
Setelah beberapa hari berlalu, hari ini Marvino dan ayahnya, Angga Hutomo, menghadiri pengumuman pemenang tender. Hutomo Grup menjadi salah satu peserta di dalamnya.
“Semoga ya, Pah… kita bisa memenangkan tender kali ini. Kita benar-benar butuh tender ini agar kepercayaan para pemegang saham tetap terjaga. Tapi jujur… lihat Wijaya Grup ikut bersaing, Vino jadi khawatir,” ucap Marvino.
“Papa juga berharap begitu. Tapi kalau melihat Wijaya Grup ikut andil, peluang kita sangat kecil. Perusahaan mereka sedang naik pesat sekarang,” jawab Angga pelan.
Pengumuman tender pembangunan proyek itu disampaikan pemerintah melalui BUMN terkait. Setelah pemaparan aspek penilaian mulai dari kualitas, efisiensi harga, hingga ketepatan waktu dan akhirnya pemenang diumumkan. Dan lagi-lagi, Wijaya Grup unggul di atas Hutomo Grup.
Angga tampak jelas kecewa. Ia bahkan tidak menyadari bahwa Hendra dan Micha sedang menerima ucapan selamat dari para tamu. Ketika tiba giliran mereka, Marvino tetap bersikap profesional meski ayahnya tidak.
“Selamat ya, Pak Hendra, Pak Micha. Telah memenangkan tender ini,” ujar Marvino sambil menjabat tangan mereka.
“Terima kasih banyak, Pak Vino,” balas Hendra ramah.
Sementara itu, Angga justru memilih pergi saat Hendra sudah mengulurkan tangan. Melihat sikap ayahnya, Marvino buru-buru meminta maaf.
“Maafkan sikap ayah saya ya, Pak. Beliau sepertinya sedang tidak enak hati,” ucapnya.
“Tidak apa-apa. Saya mengerti,” jawab Hendra.
Tak lama kemudian, Hendra mencoba mengejar Angga.
“Ngga… Ngga! Tunggu! Kita harus bicara!” seru Hendra sambil berlari kecil mengejar sahabat karibnya dulu.
“Bicara apa lagi? Setelah semua yang kalian lakukan? Hah!?” balas Angga penuh emosi.
“Jadi kamu masih menganggap kami pelaku pembunuhan anak dan ibumu, Ngga?” Hendra menatapnya tajam namun tetap menahan suara.
“Pernah nggak kamu mikir, dasar apa kami sampai dituduh seperti itu? Hanya karena satu kesaksian pelaku—itu pun lewat surat sebelum dia meninggal? Kami bahkan tidak kenal, tidak pernah berhubungan langsung dengan pelaku. Yang kami heran, keluarga Hutomo dan Wijaya selama ini dekat, tapi kalian percaya begitu saja tanpa penyelidikan dua sisi. Kalian bahkan terang-terangan memusuhi Wijaya dan memulai persaingan bisnis ini.” —Hendra berusaha memberi pengertian kepada Angga.
Angga terdiam, namun jelas emosinya belum mereda.
“Sekarang terserah kalian mau percaya atau tidak,” lanjut Hendra. “Kami tidak pernah merasa terlibat. Dan kami pastikan keluarga Wijaya akan bersih dari semua fitnah itu.” —Hendra memperingatkan Angga untuk terakhir kalinya.
Hendra kemudian pergi, meninggalkan Angga yang membeku tanpa satu kata pun.
Suasana Persidangan
Seminggu sebelumnya, polisi telah menetapkan Aldi bersalah. Setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan, akhirnya berkasnya masuk ke pengadilan dan hari ini Aldi menghadiri sidang pembacaan perkara sekaligus sidang putusan awal.
Suasana sidang memanas ketika Monica ibunda korban histeris saat hakim membaca berkas perkara.
“Yang mulia! Dia pembunuh! Dia harus dihukum berat! HUKUM DIA, YANG MULIA!” teriak Monica sambil menangis histeris
“Mah, tenang dulu… nanti kita diusir kalau Mama terus begini,” bisik Fauzan berusaha menenangkan sang istri.
“Saudari, mohon tenang. Hormati persidangan ini,” tegas hakim ketua.
Monica hanya mendengus sambil menyeka air mata setelah hakim memberikan peringatan kepadanya.
Sidang pertama akhirnya selesai tanpa putusan. Sidang lanjutan dijadwalkan minggu depan. Aldi kembali dimasukkan ke tahanan untuk menunggu keputusan akhir dari hasil persidangan.
Sebelum ia dibawa kembali ke sel, Ratri menghampiri putranya tersebut yang saat ini berseragam oranye dan tampak kucel tak terurus.
“Sayang… sabar ya. Mama pastikan kamu bisa bebas secepatnya,” ucapnya lirih sambil mengusap air mata Aldi.
“Mah… tolong Aldi. Bantu Aldi bebas, Mah… Pah… Aldi nggak mau terus mendekam di penjara,” tangis Aldi pecah dan meminta sang ayah dan ibunya untuk segera membebaskan dirinya.
“Mama dan Papa janji. Kita bakal sering jenguk kamu. Sabar ya, sebentar lagi,” Ratri mencoba tersenyum meski matanya sembab. Bagaimanapun tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya menderita.
Aldi kemudian digiring petugas kembali ke ruang tahanan dan menunggu persidangan selanjutnya.
Di luar ruang sidang, wartawan sudah berkerumun menunggu pernyataan dari pihak keluarga dan kuasa hukum.
“Bagaimana Pak/Bu? Apa sudah ada keputusan sidang hari ini?” tanya salah satu wartawan sambil mendesak.
“Terima kasih sudah menunggu ya rekan-rekan wartawan. Persidangan hari ini Alhamdulillah berjalan lancar. Namun baru sebatas pembacaan berkas perkara. Penjelasan lebih lengkap nanti disampaikan oleh kuasa hukum kami ya,” ujar Fauzan sopan sebelum pergi bersama Monica, meninggalkan tim hukumnya untuk memberi klarifikasi lanjutan.
Tak lama kemudian, Alfian, Ratri, dan tim hukum Aldi pun keluar.
“Pak! Bu! Bagaimana kondisi Aldi?”
“Apakah ada tanggapan?”
“Bisakah sedikit komentar?”
Pertanyaan bertubi-tubi, namun tim hukum hanya menjawab singkat,
“Maaf ya… no comment dulu. Terima kasih.”
Mereka segera pergi sebelum wartawan semakin membludak.
DI KANTOR WIJAYA GRUP
Hendra sedang berdiskusi dengan Micha tentang kelanjutan proyek tender yang baru mereka menangkan. Namun ia mendadak terdiam ketika membaca pesan dari detektif pribadinya.
“Selamat sore, Pak. Orang yang mengirim pesan anonim kepada Bapak ternyata bernama Shela. Ia tinggal di Jakarta, dan merupakan istri dari pelaku yang menyabotase mobil yang ditumpangi Arnold dan istri Tuan Hutomo. Untuk motif ia menghubungi bapak, saya kurang tau pak. Yang jelas saat ini Shela single parent dengan 2 anak dan terhimpit ekonomi. Untuk semua data sudah saya kirim ke email Bapak.” —Alvaro.
“Baik, terima kasih, Alvaro. Lalu bagaimana perkembangan rekaman CCTV di tol?” tanya Hendra.
“Kami belum selesai, Pak. Masih ada lima titik yang belum kami dapatkan. Secepatnya akan kami selesaikan.” —Alvaro.
Micha memperhatikan ayahnya yang terlihat melamun.
“Pah? Kenapa? Ada apa?” tanyanya pelan.
“Oh… tidak apa-apa. Oke, kita lanjutkan. Tadi sampai mana ya?” jawab Hendra berusaha fokus.
“Tadi sampai pembagian tim, Pah.”
“Oh iya… maaf. Papa kurang fokus.”
Mereka pun kembali melanjutkan diskusi yang sempat tertunda.
DI Kampus Hijau
Naura dan Tiara duduk di bawah pohon besar di taman kampus. Disana mereka tengah menikmati pemandangan Kampus Hijau yang sejuk karena cuaca yang cerah.
“Ti, Aku ingin bertanya ke kamu. Tapi kamu jawab jujur ya!, apa kamu sudah tahu sesuatu tentang keluarga kita?” tanya Naura hati-hati.
“Tahu apa, Na?” Tiara tampak bingung maksud pertanyaan Naura.
“Kamu serius nggak tahu apa-apa, Ti?” Naura makin penasaran.
“Serius… cerita deh. Jangan bikin penasaran,” balas Tiara juga ikut penasaran.
“Ini tentang keluarga Wijaya dan Hutomo,” ucap Naura perlahan.
“Keluarga Wijaya dan Hutomo?” Tiara memandangnya heran.
Naura akhirnya menjelaskan semuanya dengan detail.
Tiara terdiam, wajahnya penuh gurat ketidakpercayaan berdasarkan cerita Naura.
“Jadi… apa benar keluarga Wijaya seperti yang dituduhkan selama ini?” gumam Tiara lirih.
“Aku harus tanya langsung ke Papa atau Mama…”